Ini Makam Syekh Abdusshamad Al Palimbani Bin Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad Al-Mahdani di Thailand Selatan tepatnya di daerah Pattani
Beliau Sahabat Datuk kalampayan Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari dan sesama murid Syekh Samman Al Madani yg dikenal dengan 4 Serangkai dari Tanah Jawi bersama Syekh Abdul Wahab Bugis ( Menantu datuk kalampayan suami Syarifah) dan Syekh Abdurrahman Al Masri (kakeknya Habib utsman Betawe Pengarang Kitab sifat 20) yang hidup antara 1700-1800 M
Makam beliau di tengah hutan karena beliau dulu ikut serta dalam perjuangan melawan kerajaan Siam Budha Thailand yg ingin merebut tanah Melayu Pattani yg sekarang menjadi bagian negara Thailand
As-Sheikh Abdul Samad Al-Palembangi mati syahid ketika berjuang bersama tentera Melayu Kedah melawan Tentara Kerajaan Siam Budha Thailand.
Beliau pengarang Kitab Hidayatussalikin (Bahasa Arab Melayu) dan kitab Siarus Salikin yang banyak diajarkan saat majlis2 pengajian di Kalimantan Selatan
Manakib Belliau:
Bila berbicara perjuangan atau penyebaran Islam di Nusantara, salah satu nama yang akan disebut dan dibahas yakni Syekh Abdul Samad. Seorang ulama besar pada masanya yang dilahirkan di Palembang pada 1116 Hijiriyah atau 1704 Masehi.
Masyarakat Palembang, termasuk pula keturunannya, menyebut namanya Syekh Abdul Samad Al-Falembani. Namun ada tiga nama lain yang menyebutkan ulama besar ini. Yakni berdasarkan Ensiklopedia Islam, namanya Abdus Samad Al-Jawi Al-Falembani. Lalu berdasarkan sumber sumber-sumber Melayu, seperti ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya 'Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994)', namanya Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Falembani. Ketiga, masih menurut Azyumardi Azra, apabila merujuk pada sumber-sumber Arab, namanya Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi.
Lalu, dari garis keturunan bangsa apa sebenarnya Syeikh Abdul Samad ini? Bila dilihat garis bapak, dia masih keturunan Arab. Nama bapaknya Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad Al-Mahdani. Bapaknya seorang ulama dari Yaman. Yang sebelum datang ke Palembang, sempat mampir dahulu di Kedah, Malaysia. Di sana, dia menikahi Wan Zainab, puteri Dato Sri Maharaja Dewa.
Sementara ibu Syekh Abdul Samad adalah Radin Ranti, seorang perempuan Palembang. Jadi jika dilihat garis keturunan ibu, Syeikh Abdul Samad keturunan Palembang. Seperti para ulama di masanya, Syekh Abdul Samad ini banyak melakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu. Baik di Nusantara maupun di negeri yang jauh, seperti Arab.
Mencari Ilmu
Guru pertama Syekh Abdul Samad yakni bapaknya sendiri, Syekh Abdul Jalil. Selanjutnya dia disekolahkan ke pondok pesantren di negeri Patani (Thailand). Pada masa itu Patani adalah salah satu tempat menempa ilmu-ilmu ke-Islaman dengan sistem pondok.
Mungkin saja Syekh Abdul Samad bersama saudara-saudaranya seperti Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir telah memasuki pondok-pondok yang terkenal saat itu, seperti Pondok Bendang Gucil di Kerisik, Pondok Kuala Bekah atau Pondok Semala.
Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas hanyalah Syekh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Beliau juga mempelajari ilmu sufi daripada Syekh Muhammad bin Samman, selain mendalami kitab-kitab tasawuf dari Syekh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani, kedua-duanya dari Aceh.
Dari Patani, Syekh Abdul Samad belajar ke Mekah dan Madinah. Di sini dia banyak bergaul dengan para ulama asal Nusantara lainnya seperti Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Walaupun menetap di Mekah, Syekh Abdul Samad, menurut Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.
Gurunya di Mekah antara lai Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun'im Al-Damanhuri. Kemudian dia berguru dengan Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri.
Ulama Kritis
Meskipun mendalami tasawuf, Syekh Abdul Samad dikenal kritis. Dia mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara berlebihan. Beliau selalu mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak kesesatan di Aceh.
Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syeikh Al-Palembani menulis semula intipati dua kitab karangan ulama dan ahli falsafah abad pertengahan, yakni Imam Al-Ghazali yakni kitab 'Lubab Ihya' Ulumud Diin' (Intisari Ihya' Ulumud Diin), dan 'Bidayah Al-Hidayah' (Awal Bagi Suatu Hidayah). Dua karya Imam Al-Ghazali ini dapat membantu membimbing mereka yang mempraktikkan aliran sufi.
Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syekh Al-Palembani mengambil jalan tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran 'wahdatul wujud' Ibnu Arabi; bahwa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam fenomena alam yang serba aneka dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu 'melihat' Allah SWT sebagai 'penguasa' mutlak.
Di Palembang, di masa Kesultanan Palembang, Syekh Abdul Samad sangat membenci Belanda. Apalagi Belanda memegang pengaruh besar di lingkungan Islam dan pemerintahan Palembang. Dia pun memutuskan meninggalkan Palembang. Guna melakukan perjalanan, dia bersama murid-muridnya menebang kayu di hutan untuk membuat perahu atau kapal kecil. Dia pergi ke Makkah.
Walaupun sebenarnya beliau bukanlah seorang tukang yang pandai membuat perahu, namun beliau sanggup mereka bentuk perahu itu sendiri untuk membawanya ke Mekah. Tentunya ada beberapa orang muridnya mempunyai pengetahuan membuat perahu seperti itu. Ini membuktikan Sheikh Abdus Shamadal-Falimbani telah menunjukkan keteguhan pegangan, tawakal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dilupakan.
Membela Patani
Setelah kembali ke Makkah, Syekh Abdul Samad al-Falimbani tetap ingin pulang ke Nusantara. Dia telah lama bercita-cita untuk ikut serta dalam salah satu peperangan melawan para penjajah di Nusantara. Namun setelah dipertimbangkan, dia lebih tertarik membantu umat Islam di Pattani dan Kedah melawan keganasan Siam.
Dalam peperangan itu, dia memegang peranan penting dengan beberapa panglima Melayu lainnya. Ada catatan menarik mengatakan beliau bukan berfungsi sebagai panglima sebenarnya tetapi beliau bertindak sebagai seorang ulama sufi yang sentiasa berwirid, bertasbih, bertahmid, bertakbir dan bersalawat setiap siang dan malam.
Misteri Kematiannya
Sulit sekali menemukan tahun pasti wafatnya Syeikh Abdul Samad. Menurut Dr M Chatib Quzwain dalam bukunya "Mengenal Allah Suatu Studi Mengenal Ajaran Tasauf Sheikh Abdus Shamad al-Palimbani" pada tahun 1244 hijriyah atau 1828 masehi dikatakan umur Syekh Abdul Samad 124 tahun.
Sementara Dr Azyumardi Azra menulis, "Meskipun saya tidak dapat menentukan secara pasti angka-angka tahun di seputar kehidupannya, semua sumber bersatu kata bahwa rentang masa hidup Al-Palimbani adalah dari dasawarsa pertama hingga akhir abad kedelapan belas.
Al-Baythar menyatakan, Al-Palimbani meninggal setelah 1200 hijriyah atau 1785 Masehi. Tetapi kemungkinan besar dia meninggal setelah 1203 Hijriyah atau 1789 Masehi, setelah dia menulis karya terkenalnya 'Sayr Al-Salikin'. Saat itu usianya berkisar 85 tahun.
Berdasarkan sumber di Jedah, dia dikatakan terbunuh dalam perang melawan Thailand pada 1244 Hijriyah atau 1828 Masehi. Lalu di mana Syekh Abdul Samad dimakamkan? Dr M Chatib Quzwain
menyebut bahwa makam Syekh Abdul Samad di Palembang, tapi di Palembang belum didapatkan informasi di mana makamnya di Palembang. Sedangkan Dr Azyumardi Azra menulis, "Ada kesan kuat dia meninggal di Arabia".
Tetapi, yang jelas, seperti ditulis penyair Malaysia yakni Muhammad Abdulloh bin Suradi dalam artikelnya "Syekh Abdul Samad Al-Falimbani, Ulama, Sufi dan Syuhada" masyarakat di Patani mengklaim telah menemukan makam Syeikh Abdul Samad di antara kampung Sekom dengan Cenak, di kawasan Tiba, Patani Utara, Thailand.
Daftar Karya Syekh Abdul Samad al-Falembani:
1. Zahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid, 1178 H/1764 M.
2. Risalah Pada Menyatakan Sebab Yang Diharamkan Bagi Nikah, 1179 H/1765 M.
3. Hidayatus Salikin fi Suluki MaslakilMuttaqin, 1192 H/1778 M.
4. Siyarus Salikin ila ‘Ibadati Rabbil 'Alamin, 1194 H/1780 M-1203 H/1788 M.
5. Al-'Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
6. Ratib Sheikh 'Abdus Shamad al-Falimbani.
7. Nashihatul Muslimina wa Tazkiratul Mu’minina fi Fadhailil Jihadi wa
Karaamatil Mujtahidina fi Sabilillah.
8. Ar-Risalatu fi Kaifiyatir Ratib Lailatil Jum’ah
9. Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafi'ah fi Jihadi fi Sabilillah
10. Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabbil 'Alamin
11. 'Ilmut Tasawuf
12. Mulkhishut Tuhbatil Mafdhah minar Rahmatil Mahdah 'Alaihis Shalatu was Salam
13. Kitab Mi'raj, 1201 H/1786 M.
14. Anisul Muttaqin
15. Puisi Kemenangan Kedah.( fy)
http://web.facebook.com/ photo.php?fbid=123362394370 984&set=a.123357097704847. 9486.100000916734947&type= 1&ref=nf
Beliau Sahabat Datuk kalampayan Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari dan sesama murid Syekh Samman Al Madani yg dikenal dengan 4 Serangkai dari Tanah Jawi bersama Syekh Abdul Wahab Bugis ( Menantu datuk kalampayan suami Syarifah) dan Syekh Abdurrahman Al Masri (kakeknya Habib utsman Betawe Pengarang Kitab sifat 20) yang hidup antara 1700-1800 M
Makam beliau di tengah hutan karena beliau dulu ikut serta dalam perjuangan melawan kerajaan Siam Budha Thailand yg ingin merebut tanah Melayu Pattani yg sekarang menjadi bagian negara Thailand
As-Sheikh Abdul Samad Al-Palembangi mati syahid ketika berjuang bersama tentera Melayu Kedah melawan Tentara Kerajaan Siam Budha Thailand.
Beliau pengarang Kitab Hidayatussalikin (Bahasa Arab Melayu) dan kitab Siarus Salikin yang banyak diajarkan saat majlis2 pengajian di Kalimantan Selatan
Manakib Belliau:
Bila berbicara perjuangan atau penyebaran Islam di Nusantara, salah satu nama yang akan disebut dan dibahas yakni Syekh Abdul Samad. Seorang ulama besar pada masanya yang dilahirkan di Palembang pada 1116 Hijiriyah atau 1704 Masehi.
Masyarakat Palembang, termasuk pula keturunannya, menyebut namanya Syekh Abdul Samad Al-Falembani. Namun ada tiga nama lain yang menyebutkan ulama besar ini. Yakni berdasarkan Ensiklopedia Islam, namanya Abdus Samad Al-Jawi Al-Falembani. Lalu berdasarkan sumber sumber-sumber Melayu, seperti ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya 'Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994)', namanya Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Falembani. Ketiga, masih menurut Azyumardi Azra, apabila merujuk pada sumber-sumber Arab, namanya Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi.
Lalu, dari garis keturunan bangsa apa sebenarnya Syeikh Abdul Samad ini? Bila dilihat garis bapak, dia masih keturunan Arab. Nama bapaknya Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad Al-Mahdani. Bapaknya seorang ulama dari Yaman. Yang sebelum datang ke Palembang, sempat mampir dahulu di Kedah, Malaysia. Di sana, dia menikahi Wan Zainab, puteri Dato Sri Maharaja Dewa.
Sementara ibu Syekh Abdul Samad adalah Radin Ranti, seorang perempuan Palembang. Jadi jika dilihat garis keturunan ibu, Syeikh Abdul Samad keturunan Palembang. Seperti para ulama di masanya, Syekh Abdul Samad ini banyak melakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu. Baik di Nusantara maupun di negeri yang jauh, seperti Arab.
Mencari Ilmu
Guru pertama Syekh Abdul Samad yakni bapaknya sendiri, Syekh Abdul Jalil. Selanjutnya dia disekolahkan ke pondok pesantren di negeri Patani (Thailand). Pada masa itu Patani adalah salah satu tempat menempa ilmu-ilmu ke-Islaman dengan sistem pondok.
Mungkin saja Syekh Abdul Samad bersama saudara-saudaranya seperti Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir telah memasuki pondok-pondok yang terkenal saat itu, seperti Pondok Bendang Gucil di Kerisik, Pondok Kuala Bekah atau Pondok Semala.
Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas hanyalah Syekh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Beliau juga mempelajari ilmu sufi daripada Syekh Muhammad bin Samman, selain mendalami kitab-kitab tasawuf dari Syekh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani, kedua-duanya dari Aceh.
Dari Patani, Syekh Abdul Samad belajar ke Mekah dan Madinah. Di sini dia banyak bergaul dengan para ulama asal Nusantara lainnya seperti Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Walaupun menetap di Mekah, Syekh Abdul Samad, menurut Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.
Gurunya di Mekah antara lai Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun'im Al-Damanhuri. Kemudian dia berguru dengan Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri.
Ulama Kritis
Meskipun mendalami tasawuf, Syekh Abdul Samad dikenal kritis. Dia mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara berlebihan. Beliau selalu mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak kesesatan di Aceh.
Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syeikh Al-Palembani menulis semula intipati dua kitab karangan ulama dan ahli falsafah abad pertengahan, yakni Imam Al-Ghazali yakni kitab 'Lubab Ihya' Ulumud Diin' (Intisari Ihya' Ulumud Diin), dan 'Bidayah Al-Hidayah' (Awal Bagi Suatu Hidayah). Dua karya Imam Al-Ghazali ini dapat membantu membimbing mereka yang mempraktikkan aliran sufi.
Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syekh Al-Palembani mengambil jalan tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran 'wahdatul wujud' Ibnu Arabi; bahwa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam fenomena alam yang serba aneka dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu 'melihat' Allah SWT sebagai 'penguasa' mutlak.
Di Palembang, di masa Kesultanan Palembang, Syekh Abdul Samad sangat membenci Belanda. Apalagi Belanda memegang pengaruh besar di lingkungan Islam dan pemerintahan Palembang. Dia pun memutuskan meninggalkan Palembang. Guna melakukan perjalanan, dia bersama murid-muridnya menebang kayu di hutan untuk membuat perahu atau kapal kecil. Dia pergi ke Makkah.
Walaupun sebenarnya beliau bukanlah seorang tukang yang pandai membuat perahu, namun beliau sanggup mereka bentuk perahu itu sendiri untuk membawanya ke Mekah. Tentunya ada beberapa orang muridnya mempunyai pengetahuan membuat perahu seperti itu. Ini membuktikan Sheikh Abdus Shamadal-Falimbani telah menunjukkan keteguhan pegangan, tawakal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dilupakan.
Membela Patani
Setelah kembali ke Makkah, Syekh Abdul Samad al-Falimbani tetap ingin pulang ke Nusantara. Dia telah lama bercita-cita untuk ikut serta dalam salah satu peperangan melawan para penjajah di Nusantara. Namun setelah dipertimbangkan, dia lebih tertarik membantu umat Islam di Pattani dan Kedah melawan keganasan Siam.
Dalam peperangan itu, dia memegang peranan penting dengan beberapa panglima Melayu lainnya. Ada catatan menarik mengatakan beliau bukan berfungsi sebagai panglima sebenarnya tetapi beliau bertindak sebagai seorang ulama sufi yang sentiasa berwirid, bertasbih, bertahmid, bertakbir dan bersalawat setiap siang dan malam.
Misteri Kematiannya
Sulit sekali menemukan tahun pasti wafatnya Syeikh Abdul Samad. Menurut Dr M Chatib Quzwain dalam bukunya "Mengenal Allah Suatu Studi Mengenal Ajaran Tasauf Sheikh Abdus Shamad al-Palimbani" pada tahun 1244 hijriyah atau 1828 masehi dikatakan umur Syekh Abdul Samad 124 tahun.
Sementara Dr Azyumardi Azra menulis, "Meskipun saya tidak dapat menentukan secara pasti angka-angka tahun di seputar kehidupannya, semua sumber bersatu kata bahwa rentang masa hidup Al-Palimbani adalah dari dasawarsa pertama hingga akhir abad kedelapan belas.
Al-Baythar menyatakan, Al-Palimbani meninggal setelah 1200 hijriyah atau 1785 Masehi. Tetapi kemungkinan besar dia meninggal setelah 1203 Hijriyah atau 1789 Masehi, setelah dia menulis karya terkenalnya 'Sayr Al-Salikin'. Saat itu usianya berkisar 85 tahun.
Berdasarkan sumber di Jedah, dia dikatakan terbunuh dalam perang melawan Thailand pada 1244 Hijriyah atau 1828 Masehi. Lalu di mana Syekh Abdul Samad dimakamkan? Dr M Chatib Quzwain
menyebut bahwa makam Syekh Abdul Samad di Palembang, tapi di Palembang belum didapatkan informasi di mana makamnya di Palembang. Sedangkan Dr Azyumardi Azra menulis, "Ada kesan kuat dia meninggal di Arabia".
Tetapi, yang jelas, seperti ditulis penyair Malaysia yakni Muhammad Abdulloh bin Suradi dalam artikelnya "Syekh Abdul Samad Al-Falimbani, Ulama, Sufi dan Syuhada" masyarakat di Patani mengklaim telah menemukan makam Syeikh Abdul Samad di antara kampung Sekom dengan Cenak, di kawasan Tiba, Patani Utara, Thailand.
Daftar Karya Syekh Abdul Samad al-Falembani:
1. Zahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid, 1178 H/1764 M.
2. Risalah Pada Menyatakan Sebab Yang Diharamkan Bagi Nikah, 1179 H/1765 M.
3. Hidayatus Salikin fi Suluki MaslakilMuttaqin, 1192 H/1778 M.
4. Siyarus Salikin ila ‘Ibadati Rabbil 'Alamin, 1194 H/1780 M-1203 H/1788 M.
5. Al-'Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
6. Ratib Sheikh 'Abdus Shamad al-Falimbani.
7. Nashihatul Muslimina wa Tazkiratul Mu’minina fi Fadhailil Jihadi wa
Karaamatil Mujtahidina fi Sabilillah.
8. Ar-Risalatu fi Kaifiyatir Ratib Lailatil Jum’ah
9. Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafi'ah fi Jihadi fi Sabilillah
10. Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabbil 'Alamin
11. 'Ilmut Tasawuf
12. Mulkhishut Tuhbatil Mafdhah minar Rahmatil Mahdah 'Alaihis Shalatu was Salam
13. Kitab Mi'raj, 1201 H/1786 M.
14. Anisul Muttaqin
15. Puisi Kemenangan Kedah.( fy)
http://web.facebook.com/
No comments:
Post a Comment