Babul Ilat
Demi memahami dan mengetahui sumber ajaran Islam yang berbahasa Arab tersebut, hendaknya (minimal) mengetahui bahasa Arab disamping ilmu-ilmu lain yang erat hubungannya dengan bahsa Arab tersebut. Kemudian lebih jauh lagi dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah atau maksud dari keduanya (maqasid al-syari’ah) diperlukan beberapa cara, diantaranya yaitu pemahaman terhadap nash baik dhohir, hakikat atau esensinya, ataupun yang berpegang pada keduanya. Dalam pemahaman seperti muncul kemudian istilah qiyas (menurut pendapat dari banyak ulama yang salah satunya adalah illat. Illat atau ta’lil bukan berarti menggugah makna, tetapi merupakan dasar bagai dibinanya hukum dan dapat dijadikan untuk menentukan bagai dibinanya hukum dan dapat dijadikan untuk menentukan ada atau tidaknya hukum.
B. Rumusan Masalah
- Pengertian illat
- Pembagian illat
- Syarat-syarat Illat
- Manalik al Illah
C. Tujuan Penulisan
- Mengetahui pengertian illah
- Mengetahui pembagian illat
- Mengetahui syarat-syarat illat
- Mengetahui manalik al illah
Pengertian Al-Ta’lil
Secara bahasa, kata al-ta’alil adalah mashdar dari ‘allala-yu’alilu-ta’lilan, berarti “sesuatu yang berubah keadaannya karena sampainya sesuatu yang lain padanya.” Sakit adalah ‘illat karena tubuh berubah keadaanya dengan adanya sakit. Oleh karena itu, si fulan dikatakan ber-‘illat apabila keadaanya berubah dari sehat menjadi sakit.[1]
Secara terminology, Wahab Khallaf berpendapat, ‘illat adalah suatu sifat pada asal yang di bina atasnnya hukum dan diketahui dengannya hukum pada sesuatu.[2] Al-Bazdawi menyatakan, ‘illat merupakan hukum qiyas dalam arti suatu sifat yang pada asal sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada far’u yang belum ditetapkan hukumnya.[3] Dipahami bahwa ‘illat itu suatu keadaan atau sifat yang jelas, dan mengandung relevansi sehingga kuat dugaan dia-lah yang menjadi alasan penetapan sesuatu ketentuan syar’I guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.
Dalam memandang’illat, para ulama terbagi menjadi tiga golongan :
(1) Mazhab Hanafiyah dan Jumhur yang berpendapat bahwa nash-nash hukum pasti melihat ‘illat. Mereka mengatakan, sesuangguhnya sumber hukum asal adalah ‘illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (‘illat) lain yang menentukan. Kelompok ini dianut oleh madzhab Malikiyah dan Hambaliyah dengan tokohnya Ibn Taimiyah dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah
(2) Golongan yang beranggapan bahwa nash-nash hukum itu tidak ber-‘illat kecuali ada dalil yang menentukan adanya ‘illat.
(3) Ulama yang menentang qiyas yang mengangap tidak adnya ‘illat hukum seperti golongan Zhahiriyah.
Pembagian ‘Illat
Para ulama ushul fiqih membagi ‘illat itu menjadi beberapa segi, diantaranya adalah segi cara mendapatkanya dan bisa tidaknya ‘illat itu diterapkan pada kasus hukum lainya.
Dari segi cara mendapatkanya, ‘illat itu, menurut ulama ushul fiqh, ada dua macam, yaitu :
a) ‘Illah Manshushah adalah ’illat yang di kandung langsung oleh nash. Jadi, apabila dalam nash terdapat ‘illat yang menyatakan begini, atau sebab begini, atau karena begini, maka sifat itu adalah ‘illat yang berdasar nash itu. Seperti firman Allah dalam memberi ‘illat terutusnya para Rasul, yang disebutkan dalam al-Quran surat al-Nisa’ ayat 165: “(Mereka kami Utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alas an bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu.
b) ‘Illah Mustabathah adalah ‘illat yang digalli oleh para mujtahid dari nash sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditentukan dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.[4] Misalnya menjadikan perbuatan mencuri sebagai ‘illat bagi hukum potong tangan.
Dari segi cakupanya, illat itu ada dua macam yaitu :
1) ‘Illah Muta’addiyah adalah ‘illat yang ditetapkan suatu nash dan bisa diterapkan pada kasus hukum lainya. Misalnya, ‘illat memabukkan dalam minuman khamr juga terdapat pada wisky, karena unsure memabukkan dalam wisky juga ada. Oleh sebab itu, maka antara wisky dan khamr hukumnya sama, yaitu haram diminum. ‘illat ini dapat dijadikan sifat dalam menetapkan suatu hukum.
2) ‘Illah Qashirah adalah ‘illat yang terbatas pada suatu nash saja; tidak terdapat dalam kasus lain, baik ‘illat itu manshushah maupun musthanbathah. Misalnya, Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah, dan mayoritas ahli kalam menyatakan bahwa ‘illat riba dalam memperjual belikan barang yang sejenis adalah nilainya.
C. Syarat-syarat ‘Illat
Syarat-syarat ‘illat yang telah disepakati, menurut Abu Zahrah, yaitu :
(1) Ia merupakan sifat yang nyata, yakni bersifat material yang bisa dijangkau oleh panca indra. Karena ‘illat membatasi hukum pada cabang, maka ia harus terdiri atas hal yang nyata dan bisa terjangkau wujudnya pada cabang. Misalnya, memabukan bisa dijangkau oleh rasa pada khamar dan dengan rasa itu dapat nyata wujudnya pada arak lain yang memabukkan.
(2) Hendaknya sifat yang pasti (tertentu dan terbatas) dapat dibuktikan wujudnya pada cabang dengan membatasi. Asas qiyas adalah bersamaan cabang dengan ashal pada ‘illat. Sehinnga dapat menjatuhkan hukum bahwa kedua kejadian itu adalah sama ‘illat-nya, seperti pembunuhan sengaja oleh ahli waris kepada yang mewariskanya.
(3) Hendaknya sifat yang sesuai. Terdiri dari empat dugaan mewujudkan hikmah hukum, artinya bahwa hubungan hukum dengan sifat itu pada ada atau tidaknya illat, harus diwujudkan apa yang menjadi tujuan syar’I dalam membentuk hukum.
(4) Bukan sifat yang terbatas pada ashal. Harus sifat yang diwujudkan pada beberapa individu dan bisa didapat pada selain asal. Tujuan pemberian ‘illat hhukum asal ialah jangkauan hukum asal itu sendiri pada cabang (far’). Bila hukum itu diberi ‘illat dengan yang tidak didapat pada selain asal, tidak dapat dijadikan asal qiyas. Sifat memabukkan bukan hanya ada pada asal tetapi bias pada yang lainya.
Masalik Al-‘Illah
Masalik al-‘illah ialah cara-cara mengetahui ‘illat atau cara-cara mengetahui hal-hal yang dianggap oleh syar’I sebagai ‘illat dan tidak dianggap sebagai ‘illat. Para Ulama fiqh telah menetapkan bahwa cara untuk mengetahui sifat yang dijadikan sebagai ‘illat merupakan cara yang telah dipraktekkan oleh para sahabat dalam menetapkan hukum terhadap hal yang tidak ada nash hukumnya.[5]
Berdasarkan penelitian para ulama, ‘illat hukum itu lahir dari nash (al-Quran dan hadis), ijma’ dan al-sibr wa al-taqsim.
1. ‘Illat diperbolehkan berdasarkan nash
Diantara ‘illat yang ditetapkan berdasarkan nash ialah seperti surat al-Nisa’ ayat 165 :
رُسُلاً مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئًلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلٰى اللهِ حُجَّةٌ بَعْدَالرُّسُلِ وَكَانَ اللهُ عَزِيْزًاحَكِيْمًا
Kata لِئًلَّا (supaya) yang diiringi denngan kalimat sesudahnya dalam ayat tersebut, merupakan ‘illat bagi ketentuan Allah dalam mengutus para rasul selaku pembawa berita gembira dan peringatan bagi manusia. ‘illat dalam ayat tersebut jelas dan tidak mengandung kemungkinan lain. Contoh diatas, alasan hukumnya, ditetapkan berdasarkan ayat yang sharihah qath’iyah, namun terkadang memang ada nash yang menunjukan ‘illat secara implisit atau mengandung pegertian selain ke-‘illat-an. Maka nash atas ke-‘illat-an sifat tersebut adalah sharihah zhanniyah (jelas dan bersifat dugaan).
2. ‘Illat diperbolehkan berdasarkan ijma’.
Maksudnya ialah ‘illat ditetapkan dengan ijma’ misalnya belum balig menjadi ‘illat dikuasainya harta anak yatim (yang belum balig) oleh wali. Hal ini disepakati para ulama. Berdasarkan ijma’ ulama, dalam hal kewalian, seorang bapak berhak menjadi wali atas harta dan jiwa anaknya, karena status kebapakannya. Beradasar ijma’ ini, menurut jumhur fuqaha melalui pendekatan qiyas-nya, kakek juga memiliki hak kewalian yang sama dengan bapak.
3. ‘Illat diperbolehkan berdasar al-sibr wa al-taqsim.
Apabila datang suatu nash mengenai suatu kejadian dan tidak terdapat dalil nash atau ijma’ yang menunjukan ‘illat hukummnya, maka mujtahid harus menempuh jalan untuk dapat mengetahui ‘illat hukum ini dengan jalan al-sibr wa al-taqsim. Al-sibr artinyapercobaan; al-taqsim berartimerijngkas sifat-sifat yang baik untuk menjadi ‘illat pada asal. Kata al-sibr berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan dan al-taqsim berarti menyelesaikan atau memisah-misahkan. Al-sibr wa al-taqsim maksudnya ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian, kemudian memisahkan atau memilih dianntara sifat-sifat itu yang paling tepat dijadikan sebgai ‘illat hukum.
A. Kesimpulan
Pengertian illat, Pembagian Illat, Syarat illat dan Macam-macamnya - ‘Illat merupakan salah satu dari rukun qiyas, sedangkan ta’lil adalah sebuah penalaran yang menggunakan ‘illat tersebut sebagai ‘illat utamanya. Hamper seluruh ulama menerima dan mengamalkan ‘illat dalam tujuan menggali dan menetapkan hukum kecuali golongan Zahiriyah yang tidak menerima prinsip qiyas.
‘illat dilihat dari segi cara mendapatkannya ada dua macam yaitu (1) ‘illat manshuhah, (2) ‘illat mustabathah. Sedangkan macam ‘illat dilihat dari segi cakupannya dibagi menjadi dua yaitu ‘illat muta’addiyah dan ‘illat qashirah.
B. Penutup
Demikianlah makalah illat yang kami buat, kami mohon kritik dan sarannya kembali karena tentunya masih banyak kekurangan dalam makalah ini, kami telah berusaha untuk menyusunnya. Semoga dapat meemberikan manfaat dan tambahan ilmu bagi pembacanya. AMIN
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Syamsul Bahri, M.Ag, dkk. 2008. Metodologi Hukum Islam. Yogjakarta : TERAS.
Abdul Wahab Khallaf. 1978. ‘Ilmu Ushul Fiqh, Kaidah Hukum Islam. Jakata : Pustaka Amani.
[1] Al-Zuhaily, al-Washith fi Ushul al-Fiqh al-Islamy, Damaskus : Dar al-Kitab, 1978, hal. 207
[2] Abdul Wahab Khallaf, ‘ilmu ushul fiiqh, Kairo : Darul Qalam, 1978, hal. 63
[3] Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, hal. 188
[4] Nasrun Haruoen, Ushul Fiqih 1, hal. 81
[5] Abu Zahroh, Op.Cit. hal. 243
No comments:
Post a Comment