Inilah Jalan Sufi Headline Animator
Pencerahan Bid'ah
Saturday, July 12, 2014
Kisah ulama yang fajir dan abid yang jahil
Siapa saja yang sudah mengenal al-haq tapi tidak mengamalkannya bahkan menyelisihinya, maka dia serupa dengan Yahudi. Dan siapa saja yang menginginkan kebaikan, beribadah tetapi tanpa didasari ilmu, maka dia serupa dengan Nashara. Sufyan Ats-Tsauri berkata:
“Siapa yang rusak di antara ulama kita maka dia serupa dengan orang Yahudi, dan siapa yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka dia serupa dengan orang Nashara.” Hal itu dikarenakan orang-orang Yahudi melakukan penyelisihan (penyimpangan) sesudah datang ilmu dan keterangan pada mereka; sudah mengetahui al-haq tapi tidak mengamalkannya. Sedangkan orang-orang Nashara tersesat karena kebodohannya; mereka beramal tanpa ilmu.
Di antara bentuk kerusakan ulama adalah berakhlak dengan akhlak orang-orang Yahudi, seperti: - men-tahrif (mengubah-ubah) ayat/ hadits dari makna yang sebenarnya, - menyembunyikan apa-apa yang diturunkan oleh Allah, apabila di dalamnya terdapat sesuatu yang menghalangi ambisi/tujuan mereka, - dengki kepada orang yang diberi karunia oleh Allah dan ingin membunuhnya, - membunuh orang-orang yang selalu menganjurkan bersikap adil di antara manusia dan yang mengajak kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka, - melakukan tipu muslihat (hilah) untuk meraih sesuatu yang diharamkan oleh Allah dengan berbagai cara, - mencampuradukkan al-haq dengan kebatilan dan lain-lain.
Sedangkan kerusakan ahli ibadah –seperti orang-orang Nashara– ialah dengan: - beribadah kepada Allah dengan hawa nafsunya, bukan dengan sesuatu yang dibawa oleh Rasul-Nya, - melampaui batas (ghuluw) terhadap para tuan guru (masyayikh) sehingga menempatkan mereka pada posisi rububiyah (memiliki sifat-sifat dan kemampuan layaknya Allah seperti mengetahui perkara ghaib, memberi keselamatan, karunia, dan sebagainya, pen.). Walhasil, orang yang berilmu, apabila dia melakukan penyelewengan atau penyimpangan berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya, berarti dia telah mengenal al-haq tapi menentangnya. Bisa jadi karena mengikuti hawa nafsu, atau mencari dunia, atau karena mengkhawatirkan dirinya sendiri.
Sedangkan ahli-ahli ibadah yang tersesat, mereka itu tidak mengenal al-haq, mengada-adakan bid’ah lalu menambah dan mengurangi sebagian dari ajaran Allah. Tentang Bal’am bin Ba’ura Memang, kisah ini bersumber dari cerita-cerita Israiliyat. Di mana kita tidak bisa begitu saja secara mutlak menerima dan mendustakannya. Tetapi tipe atau karakter yang disebutkan dalam kisah ini banyak kita lihat dalam kenyataan di sekitar kita. Apalagi setelah kita mengenal bentuk-bentuk kesesatan orang-orang Yahudi dalam uraian sebelumnya.
Allah berfirman: “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (Al-A’raf: 175-176) Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar menceritakan sebuah kisah kepada Ahli Kitab tentang seseorang yang keluar dengan kekafirannya seperti lepasnya ular dari kulitnya.
Dia dikenal dalam kitab-kitab tafsir dengan nama Bal’am bin Ba’ura, salah seorang ulama dari kalangan Bani Israil di zaman Nabi Musa. Dia termasuk salah seorang yang diberi ilmu tentang Ismul A’zham (Nama Allah Yang Paling Agung). Di dalam majelisnya terdapat 12.000 tinta untuk menuliskan uraian-uraian yang disampaikannya. Malik bin Dinar mengatakan bahwa dia termasuk orang yang terkabul doanya. Mereka (orang-orang Bani Israil) mengajukannya setiap kali ditimpa kesulitan.
Suatu ketika, dia diutus oleh Nabi Musa mengajak salah seorang penguasa Madyan kembali kepada Allah. Raja itu memberinya harta, lalu diapun meninggalkan ajaran Musa dan mengikuti agama raja itu. Sebagian mufassir mencantumkan kisah-kisah ini dalam kitab-kitab tafsir mereka. Ada yang hanya sekadar memberi gambaran atau contoh atas apa yang dimaksud dalam ayat, sebagaimana yang diterangkan Qatadah yang dinukil oleh Ath-Thabari. Ada pula yang menjadikannya sekaligus sebagai sebab turunnya ayat tersebut. Ketika menerangkan ayat ini (Al-A’raf: 175-176), Ibnu Katsir menyebutkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa dia adalah seorang laki-laki Bani Israil, bernama Bal’am bin Abar. Demikian riwayat Syu’bah dan ulama lain yang tidak hanya satu orang, dari Manshur dengan sanad ini. Adapun menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, dan Mujahid, dia adalah Bal’am bin Ba’ura.
Beliau menukilkan pula adanya riwayat lain dari Abdullah bin ‘Amr, melalui jalur yang sahih sampai kepada beliau, bahwa yang dimaksud adalah Umayyah bin Abi Ash-Shilt. Seolah-olah, beliau hendak menunjukkan bahwa Umayyah menyerupai Bal’am. Karena dia mempunyai ilmu tentang syariat umat terdahulu dan mendapati zaman Rasulullah, namun semua itu tidak berguna baginya. Selanjutnya, Ibnu Katsir menyatakan bahwa yang masyhur tentang sebab turunnya ayat ini ialah bahwa ayat ini menceritakan tentang seorang laki-laki yang hidup di kota penguasa yang bengis. Dia bernama Bal’am. Melalui jalur ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas, beliau mengisahkan: Ketika Nabi Musa datang ke wilayah kekuasaan seorang penguasa yang bengis bersama para pengikutnya, para kerabat dan anak paman Bal’am datang menemui Bal’am lalu berkata: “Musa itu orang yang keras dan mempunyai pasukan yang besar.
Kalau dia menang tentulah dia akan membinasakan kami. Maka doakanlah kepada Allah agar Dia menjauhkan Musa beserta pasukannya.” Kata Bal’am: “Sesungguhnya, kalau aku berdoa kepada Allah agar menghalau Musa dan orang-orang yang bersamanya, tentulah hilang dunia dan akhiratku.” Tapi mereka terus menerus membujuknya hingga diapun menuruti permintaan mereka. Dikisahkan, setiap kali dia mendoakan kejelekan terhadap Nabi Musa dan pasukannya, maka doa itu justru menimpa Bal’am dan orang-orang yang membujuknya. Begitu seterusnya, wallahu a’lam. Menyadari hal itu, merekapun menegurnya, mengapa dia justru mendoakan kejelekan terhadap mereka? “Begitulah, setiap aku mendoakan kejelekan buat mereka tidak dikabulkan doaku. Tapi aku akan tunjukkan kepada kamu satu hal yang semoga saja dapat menjadi sebab kebinasaan mereka.
Sesungguhnya Allah membenci perzinaan, dan kalau mereka jatuh dalam perbuatan zina, niscaya mereka pasti binasa, dan aku berharap Allah menghancurkan mereka. Maka keluarkanlah para wanita menemui mereka. Karena mereka itu para musafir, mudah-mudahan mereka terjerumus dalam perzinaan lalu binasa.” Setelah sebagian besar mereka terjerumus dalam perbuatan zina, Allah kirimkan wabah tha’un sehingga menewaskan tujuhpuluh ribu orang dari mereka. Wallahu a’lam. Waspadailah Fitnah Orang Alim yang Fajir dan ‘Abid yang Jahil Demikianlah keadaan orang alim yang lebih mementingkan urusan dunia daripada akhirat. Adapun ‘abid (ahli ibadah) yang jahil (bodoh terhadap urusan diennya), maka kerusakannya ialah berupa sikap menjauhnya dia dari ilmu dan hukum-hukumnya, dikuasai oleh khayalan dan perasaannya, serta apa-apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Oleh sebab itulah Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Jauhilah fitnah orang alim yang fajir (jahat) dan fitnah ‘abid yang jahil, karena fitnah keduanya adalah fitnah bagi segenap orang yang terfitnah.
Yang satu dengan kejahilannya, dia menghalangi manusia dari ilmu dan konsekuensinya. Dan yang satu dengan kesesatannya (ghay), dia mengajak manusia kepada perbuatan-perbuatan keji.” Allah telah memberikan perumpamaan contoh jenis kedua, dengan firman-Nya: “(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia: ‘Kafirlah kamu’, maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah Rabb semesta alam.’ Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zalim.” (Al-Hasyr: 16-17) Ibnu Katsir menceritakan: Konon, di zaman Bani Israil dahulu ada seorang rahib yang tekun beribadah selama 60 tahun.
Setan ingin menggodanya tapi selalu gagal. Akhirnya setan mendatangi seorang wanita lantas membuatnya gila. Wanita itu sendiri mempunyai beberapa saudara laki-laki. Setan kemudian membisikkan kepada saudara-saudaranya agar membawanya kepada rahib tersebut untuk diobati. Wanitapun diobati rahib itu dan tetap tinggal di sana. Suatu hari, ternyata wanita itu menarik hati si rahib. Diapun menggaulinya hingga wanita itu hamil. Melihat kenyataan ini si rahib takut namanya tercemar lalu membunuh wanita tersebut. Kemudian datanglah saudara-saudara wanita itu. Ternyata saudara mereka pun dibunuh oleh rahib itu.
Akhirnya, setan datang menemui si rahib dan mengatakan: “Aku temanmu, kamu selalu membuatku payah, dan akulah yang mengatur kejadian ini. Kalau kamu menaatiku pasti aku selamatkan kamu. Sujudlah kamu kepadaku.” Rahib itupun sujud kepadanya dan setelah dia sujud, setan berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah Rabb semesta alam.” Demikianlah sepenggal kisahnya. Jadi, pangkal kekafiran kaum Yahudi adalah tidak mengamalkan ilmu yang sudah dimiliki. Mereka sudah mengetahui al-haq tapi tidak membuktikannya dalam bentuk kerja nyata (amal). Adapun kekafiran kaum Nashara dari sisi pengamalan mereka yang tidak didasari ilmu. Mereka bersungguh-sungguh dalam berbagai jenis ibadah tanpa dasar syariat dari Allah dan mengatakan sesuatu terhadap Allah tanpa ilmu.
Semoga Allah merahmati Ibnul Mubarak yang mengatakan: Aku melihat dosa itu mematikan hati terus menerus berbuat dosa mewariskan kehinaan Meninggalkan dosa (sebab) hidupnya hati menentangnya lebih baik bagi dirimu Tiadalah yang merusak dien ini melainkan para raja ulama jahat dan para pendetanya Maka bersungguh-sungguhlah wahai saudaraku menjadi ulama akhirat yang cerdas. Dan jauhilah kedunguan orang-orang yang dangkal pikirannya, pendeknya akal ahli dunia yang bebal. Alangkah indahnya ungkapan Al-Imam Asy-Syafi’i berikut ini: Sungguh Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas Yang tinggalkan dunia karena takut fitnahnya Mereka cermati dunia, dan setelah tahu Kiranya dunia bukan tempat kehidupan (sejati) Mereka jadikan dia bak gelombang dan siapkan amalan shalih sebagai perahu menyeberanginya. Wallahu a’lam.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment