Inilah Jalan Sufi Headline Animator

Whatsap Saya

Pencerahan Bid'ah

Thursday, February 28, 2013

kejujuran_dan_kemurnian_hati_Amir_Azizan



Pemimpin umno wajib baca kisah budak 13 tahun ini

Dicatat oleh Tuk Kiyai


Batu Pahat: Usianya baru 13 tahun namun kejujuran dan kemurnian hati Amir Azizan Hashim mungkin jauh mengatasi orang dewasa apabila dia memulangkan semula beg tangan berisi RM37,500 (SG$15,000) milik seorang wanita warga Singapura yang tercicir.

“Saya mengayuh basikal selaju mungkin mengejar kereta dinaiki wanita itu bagi mengembalikan beg tangannya,” katanya mengimbas kejadian itu yang berlaku berhampiran sebuah pasar raya di Taman Soga, di sini, awal Januari lalu.



Pelajar tingkatan satu Sekolah Menengah Kebangsaan (SMK) Dato’ Syed Esa, di sini, ditemui selepas menerima sijil penghargaan atas kelakuan terpujinya itu daripada pihak sekolah, semalam.

Sijil penghargaan itu disampaikan Guru Penolong Kanan Hal Ehwal Murid (HEM) SMK Dato’ Syed Esa, Mohd Taat Kasran. -hmetro.com.my

P/s: Sungguh mulia dan jujur hati anak ini...Tidak pula anak ini merembat duit tersebut seperti puak-puak umno merembat duit rakya
t...

Wednesday, February 27, 2013

Penjelasan_Ikhtiari_dan_Idhtirari

Bismillah 

Penjelasan Ikhtiari dan Idhtirari

Gerak hati ada 2 bentuk :

i) Idhtirari - Gerak rasa atau cetusan rasa atau disebut juga 'khatir' (lintasan perasaan) yang datang secara tiba2 tanpa diusahakan dengan kemahuan.

ii) Ikhtiari - Gerak rasa atau cetusan rasa yang terbit dari kemahuan diri atau kehendak diri.


Dalam syarak, perasaan atau dorongan nafsu kejahatan yang datang secara tiba2, bukan atas kemahuan diri, iaitu dorongan yang bersifat “Idhtirari” dimaafkan. Kerana ianya diluar kawalan seseorang. Seperti perasaan marah, benci, dendam, ria’, takabbur, cinta dunia, cinta berahi kepada lelaki/wanita ajnabi dan lain-lainnya.

Tetapi…..

Apabila ini berlaku (cetusan rasa hati yang mendorong kepada kejahatan atau menyebabkan kelalaian), maka wajib cepat2 istighfar dan kembalikan perasaan hati kepada kesucian hati dan Tauhid kepada Allah. Kerana gerak rasa kejahatan adalah bisikan nafsu dan Iblis. Maka wajib dijauhkannya daripada menguasai hati. Jika dia dapat berbuat demikian maka selamatlah hati dia daripada terjatuhn kedalam kejahatan bisikan nafsu dan syiatan.

Sebaliknya apabila seseorang yang didatangi gerak rasa kejahatan yg bersifat 'idhtirari' tidak berusaha membuangnya, sebaliknya melanjutkan/melayan rasa hati tersebut dengan berkhayal, merupa-rupakan perlakuan jahat, keji dsb. serta mengekali kelalaian hati maka masuklah ia kepada daerah "ikhtiari".

"Ikhtiari" adalah hal yang diusahakan dengan kemahuan diri, keinginan diri dan perlakuan tersebut berada didalam kemampuan dan usaha ikhtiarnya. Maka perlakuan seperti ini iaitu melanjutkan gerak hati kejahatan/ kekejian/kelalaian ini dengan adalah haram.

Kita bawa beberapa contoh :

Contoh 1 : Sifat Ria’

Sifat ria’ dalam amal (suka menunjuk2 atau keinginan untuk menunjuk-nunjuk) adalah perkara lumrah yang berlaku kepada orang2 Islam terutama mereka2 yang sangat rajin beribadat.

Asalnya ia Cuma lintasan perasaan, iaitu gerak rasa yang datang secara tiba2 (idhtirari). Maka ini di maafkan kerana ianya diluar kawalan seseorang. Tapi wajib hentikan perasaan tersebut pada ketika itu juga dan istighfar serta kembalikan hati kepada kesucian Tauhid.

Sebaliknya apabila dia melayani perasaan tersebut, melanjutkan lagi perasaan ria’ tersebut (ikhtiari) maka jatuh kepada syirik khafi yang merosakkan amal dan ibadah.



Contoh 2 : Perasaan marah.!

Dalam kehidupan harian adakalanya kita didatangi perasaan marah kepada seseorang atau pada sesuatu. Perasaan ini datang dengan dengan tiba2 tanpa disedari. Maka perasaan ini hasil dari gerak rasa, “idhtirari”.

Seseorang yang didatangi perasaan marah ini wajib segera menghentikan sifat marahnya dengan membaca ‘ta’awwudz’ atau segera berwudhu. Maka perasaan marah tadi dimaafkan kerana bersifat diluar kawalannya atas sifat kemanusiaannya.

Sebaliknya seseorang yang enggan berbuat demikian sebaliknya melanjutkan perasaan marah itu, maka jatuh haram dan berdosa kerana ‘melanjutkan perasaan marah’ adalah bersifat “ikhtiari” atas daya upaya nya yang boleh dihentikan. Mengapa berdosa? Kerana dia membiarkan syiatan munguasai hatinya sedangkan Allah memerintahkan untuk melawan pengaruh dan tipudaya syaitan.


Demikian halnya semua gerak hati yang dikeji pada syara' wajib dihentikan /diperangi seperti sifat marah, benci, dendam, takabbur, ujub dll



Wallahu A'lam

Oleh Pak Arab-www.Halaqah.net

Ciri_ciri_sifat_kaum_wahabi_sudah_dikabarkan

Semua Ciri-ciri sifat kaum wahabi sudah dikabarkan oleh rosululoh ! allahu akbar..allahu akbar...allahu akbar !

Jaga keluarga anda dari sekte ini :

Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda ;

سيخرج في آخر الزمان قوم أحداث الأسنان سفهاء الأحلام يقولون قول خير البرية يقرؤون القرآن لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية ، فإذا لقيتموهم فاقتلوهم ، فإن قتلهم أجراً لمن قتلهم عند الله يوم القيامة

“ Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda, berucap dengan ucapan sbeaik-baik manusia (Hadits Nabi), membaca Al-Quran tetapi tidak melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari agama Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya, maka jika kalian berjumpa dengan mereka, perangilah mereka, karena memerangi mereka menuai pahala di sisi Allah kelak di hari kiamat “.(HR. Imam Bukhari : 3342)

Nabi menginformasikan pada kita beberapa cirri khas sekte menyimpang ini (wahabi-salafi) sebagaimana hadits di atas :

1. Mereka pada umumnya masih berusia muda tetapi lemah akalnya, atau itu adalah sebuah kalimat majaz yang bermakna orang-orang yang kurangberpengalaman atau kurang berkompetensi dalammemahami Al Qur’an dan As Sunnah. Subyektivitas dengan daya dukung pemaham yang lemah dalam memahaminya, bahkan menafsiri ayat-ayat Al-Qur`an dengan mengedepankan fanatik dan emosional golongan mereka sendiri.

2. Sering membawakan hadits-hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan juga ayat-ayat Al-Quran, namun semua itu hanya sebatas di lisan mereka saja tidak membekas di hati mereka. Artinya mereka memang pandai membawakan ayat-ayat Al-Quran demikian juga hadits-hadits Nabi lengkap beserta sanad dan nomer haditsnya, namun karena mereka tidak memiliki kapasitas di dalam memahami kandungan-kandungan makna dan maksud yang sebenarnya, maka ayat dan hadits itu menjadi bencana bagi mereka dan menjadi fitnah bagi kaum muslimin lainnya yang menyebabkan retaknya ukhuwwah Islamiyyah sebagaimana sabda Nabi di atas “Mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al-Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka “.

Atau ayat dan hadits yang mereka ucapkan hanya sebatas gambaran di lisan mereka saja tidak membawa bekas di hati mereka, sehingga perilaku lahir mereka bertentangan dengan bathin mereka, sehingga terkadang kita melihat mereka tidak memiliki adab di dalam membaca al-Quran atau meletakkan al-Quran, sebagaimana hadits Nabi lainnya :

سيكون في أمتي اختلاف وفرقة ، قوم يحسنون القيل ويسيئون الفعل

“ Akan ada perselisihan dan perseteruan pada umatku, suatu kaum yang memperbagus ucapan dan memperjelek perbuatan “.

3. Mempunyai slogan kembali pada Al-Quran. Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَدْعُونَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ وَلَيْسُوا مِنْهُ فِى شَىْءٍ

" Mereka mengajak pada kitab Allah tetapi justru mereka tidak mendapat bagian sedikitpun dari Al-Quran ". (Sunan Abu Daud : 4765)

Tanda mereka ini sangat nyata dan kentara kita ketahui pada realita saat ini, kaum wahabi selalu teriak kepada kaum muslimin untuk kembali pada Al-Quran. Ahlus sunnah selalu mengajak pada Al-Quran karena ajaran mereka memang bersumber dari Al-Quran, namun kenapa Allah menjadikan sifat ini sebagai tanda pada kaum neo khawarij (wahabi) ini?? Sebab merekalah satu-satunya kelompok yang dikenali dikalangan awam yang selalu teriak mengajak pada Al-Quran sedangkan Al-Quran sendiri berlepas diri dari mereka. Sehingga hal ini (yad’uuna ilaa kitabillah; mengajak kepada Al-Quran) menjadi tanda atas kelompok ini bukan pada kelompok khawarij lainnya. Tidak ada satu pun khawarij atau kelompok ahli bid’ah yang selalu koar-koar kembali pada Al-Quran dan sunnah selain kelompok wahabi ini yang masih terus eksis hingga saat ini dengan slogannya tersebut...

Monday, February 25, 2013

Sahabt_Yg_Dijamin_Masuk_Syurga

Sepuluh orang Sahabat Rasulullah SAW yang dijamin masuk surga berdasarkan hadits berikut: Tercatat dalam “ARRIYADH ANNADHIRAH FI MANAQIBIL ASYARAH“ dari sahabat Abu Dzar ra, bahwa Rasulullah masuk ke rumah Aisyah ra dan bersabda: “Wahai Aisyah, inginkah engkau mendengar kabar gembira?”Aisyah menjawab : “Tentu, ya Rasulullah.” Lalu Nabi SAW bersabda, ”Ada sepuluh orang yang mendapat kabar gembira masuk surga, yaitu : Ayahmu masuk surga dan kawannya adalah Ibrahim; Umar masuk surga dan kawannya Nuh; Utsman masuk surga dan kawannya adalah aku; Ali masuk surga dan kawannya adalah Yahya bin Zakariya; Thalhah masuk surga dan kawannya adalah Daud; Azzubair masuk surga dan kawannya adalah Ismail; Sa’ad masuk surga dan kawannya adalah Sulaiman; Said bin Zaid masuk surga dan kawannya adalah Musa bin Imran; Abdurrahman bin Auf masuk surga dan kawannya adalah Isa bin Maryam; Abu Ubaidah ibnul Jarrah masuk surga dan kawannya adalah Idris Alaihissalam.” 

dakwatuna – “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang petama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dengan mereka dan mereka ridho kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (Qs At-Taubah : 100)

عن عبد الرحمن بن عوف قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أبو بكر في الجنة وعمر في الجنة وعثمان في الجنة وعلي في الجنة وطلحة في الجنة والزبير في الجنة وعبد الرحمن بن عوف في الجنة وسعد في الجنة وسعيد في الجنة وأبو عبيدة بن الجراح في الجنة 

Berikut ini 10 orang sahabat Rasul yang dijamin masuk surga (Asratul Kiraam). 

1. Abu Bakar Siddiq ra. 
Beliau adalah khalifah pertama sesudah wafatnya Rasulullah Saw. Selain itu Abu bakar juga merupakan laki-laki pertama yang masuk Islam, pengorbanan dan keberanian beliau tercatat dalam sejarah, bahkan juga didalam Quran (Surah At-Taubah ayat ke-40) sebagaimana berikut : “Jikalau tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seseorang dari dua orang (Rasulullah dan Abu Bakar) ketika keduanya berada dalam gua, diwaktu dia berkata kepada temannya:”Janganlah berduka cita, sesungguhya Allah bersama kita”. Maka Allah menurunkan ketenangan kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Abu Bakar Siddiq meninggal dalam umur 63 tahun, dari beliau diriwayatkan 142 hadiets. 

2. Umar Bin Khatab ra. 
Beliau adalah khalifah ke-dua sesudah Abu Bakar, dan termasuk salah seorang yang sangat dikasihi oleh Nabi Muhammad Saw semasa hidupnya. Sebelum memeluk Islam, Beliau merupakan musuh yang paling ditakuti oleh kaum Muslimin. Namun semenjak ia bersyahadat dihadapan Rasul (tahun keenam sesudah Muhammad diangkat sebagai Nabi Allah), ia menjadi salah satu benteng Islam yang mampu menyurutkan perlawanan kaum Quraish terhadap diri Nabi dan sahabat. Dijaman kekhalifaannya, Islam berkembang seluas-luasnya dari Timur hingga ke Barat, kerajaan Persia dan Romawi Timur dapat ditaklukkannya dalam waktu hanya satu tahun. Beliau meninggal dalam umur 64 tahun karena dibunuh, dikuburkan berdekatan dengan Abu Bakar dan Rasulullah dibekas rumah Aisyah yang sekarang terletak didalam masjid Nabawi di Madinah. 

3. Usman Bin Affan ra. 
Khalifah ketiga setelah wafatnya Umar, pada pemerintahannyalah seluruh tulisan-tulisan wahyu yang pernah dicatat oleh sahabat semasa Rasul hidup dikumpulkan, kemudian disusun menurut susunan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw sehingga menjadi sebuah kitab (suci) sebagaimana yang kita dapati sekarang. Beliau meninggal dalam umur 82 tahun (ada yang meriwayatkan 88 tahun) dan dikuburkan di Baqi’. 

4. Ali Bin Abi Thalib ra. 
Merupakan khalifah keempat, beliau terkenal dengan siasat perang dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Selain Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib juga terkenal keberaniannya didalam peperangan. Beliau sudah mengikuti Rasulullah sejak kecil dan hidup bersama Beliau sampai Rasul diangkat menjadi Nabi hingga wafatnya. Ali Bin Abi Thalib meninggal dalam umur 64 tahun dan dikuburkan di Koufah, Irak sekarang. 

5. Thalhah Bin Abdullah ra. 
Masuk Islam dengan perantaraan Abu Bakar Siddiq ra, selalu aktif disetiap peperangan selain Perang Badar. Didalam perang Uhud, beliaulah yang mempertahankan Rasulullah Saw sehingga terhindar dari mata pedang musuh, sehingga putus jari-jari beliau. Thalhah Bin Abdullah gugur dalam Perang Jamal dimasa pemerintahan Ali Bin Abi Thalib dalam usia 64 tahun, dan dimakamkan di Basrah. 

6. Zubair Bin Awaam 
Memeluk Islam juga karena Abu Bakar Siddiq ra, ikut berhijrah sebanyak dua kali ke Habasyah dan mengikuti semua peperangan. Beliau pun gugur dalam perang Jamal dan dikuburkan di Basrah pada umur 64 tahun. 

7. Sa’ad bin Abi Waqqas 
Mengikuti Islam sejak umur 17 tahun dan mengikuti seluruh peperangan, pernah ditawan musuh lalu ditebus oleh Rasulullah dengan ke-2 ibu bapaknya sendiri sewaktu perang Uhud. Meninggal dalam usia 70 (ada yang meriwayatkan 82 tahun) dan dikuburkan di Baqi’. 

8. Sa’id Bin Zaid 
Sudah Islam sejak kecilnya, mengikuti semua peperangan kecuali Perang Badar. Beliau bersama Thalhah Bin Abdullah pernah diperintahkan oleh rasul untuk memata-matai gerakan musuh (Quraish). Meninggal dalam usia 70 tahun dikuburkan di Baqi’. 

9. Abdurrahman Bin Auf 
Memeluk Islam sejak kecilnya melalui Abu Bakar Siddiq dan mengikuti semua peperangan bersama Rasul. Turut berhijrah ke Habasyah sebanyak 2 kali. Meninggal pada umur 72 tahun (ada yang meriwayatkan 75 tahun), dimakamkan di baqi’. 

10. Abu Ubaidillah Bin Jarrah 
Masuk Islam bersama Usman bin Math’uun, turut berhijrah ke Habasyah pada periode kedua dan mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah Saw. Meninggal pada tahun 18 H di urdun (Syam) karena penyakit pes, dan dimakamkan di Urdun yang sampai saat ini masih sering diziarahi oleh kaum Muslimin.

Thursday, February 21, 2013

Barangsiapa_yang_memusuhi_seorang_waliKu

Hadis 38 

أبي هریرة قال: قال رسول الله : إن الله تعالى قال: من عادى لي وليا فقد آذنته
بالحرب، وما تقرب إليَّ عبدي بشيء أحب إليَّ مما افترضته عليه، ولا یزال عبدي یتقرب
إليَّ بالنوافل حتى أحبه، فإذا أحببته آنتُ سمعه الذي یسمع به، وبصره الذي یبصر به،
ویده التي یبطش بها، ورجله التي یمشي بها، ولئن سألني لأعطينه ولئن استعاذني لأعيذنه
رواه البخاري
 


Daripada Abu Hurairah r.a. beliau berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: 
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi seorang waliKu, maka Aku akan isytiharkan perang terhadapnya. Seorang hambaKu tidak bertaqqarub (iaitu menghampirkan dirinya) kepadaKu dengan suatu amalan yang lebih Aku sukai lebih daripada amalan yang Aku fardhukan ke atasnya. Seseorang hamba sentiasa bertaqqarub dirinya kepadaKu, dengan amalanamalan sunat sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku sudah mencintainya, maka jadilah Aku pendengarannya yang dia mendengar sesuatu dengannya, jadilah Aku penglihatannya yang dia melihat sesuatu dengannya, jadilah Aku tangannya yang dengannya dia melakukan kerja, jadilah Aku kakinya yang dengannya dia berjalan. Sekiranya dia meminta daripadaKu Aku akan kurniakannya dan sekiranya dia meminta perlindungan dariKu nescaya Aku akan melindunginya.

Sunday, February 17, 2013

Wahabiyyi_Megubah_Isi_Kitab_Ulama_Terdahulu

NAH FAKTA HALAL DAN LEGAL WAHABI MERUBAH & MEMBUANG ISI KITAB ULAMA (HIANAT ILMIYAH)


Wazir auqof Wahabi Syaikh sholih bin abdil aziz alu syaikh menuqilkan dari syaikh bin baz bahwa para imam dakwah [maksudnya ulama wahabi] telah sengaja membuang sesuatu yang menceritakan haq imam agung dalam cetakan pertama kitab assunnah karya abdullah bin Al imam Ahmad.dan itu katanya termasuk pada bab siyasat syar’i dan menjaga kemaslahatan dan bukan termasuk khiyanat ilmiyah sedikit pun…

Maka dengan alasan ini….WAHABI MEMBOLEHKAN MELAKUKAN KHIYANAT ILMIYAH TERHADAP KARYA ULAMA DGN MEMBUANG ATAU MERUBAH SEBAGIAN ISINYA,MEREKA BERALASAN BAHWA ITU ADALAH SIYASAT SYAR” IYAH DAN MENJAGA KEMASLAHATAN…LAH PANTESAN BANYAK MERUBAH N MEMALSUKAN KITAB KITAB ULAMA…LIHAT BUKTINYA DALAM KITAB syarah AQIDAH THOHAWIYAH PEGANGAN WAHABI, YANG ADA WARNA KUNING,hususnya yang ada kotak merah.!!

PLOTOTIN BAIK BAIK YA JIKA WAHABI MENGHALALKAN YANG HARAM MENHARAMKAN YANG HALAL ALIAS ANAK ANAK DAJAL MERUSAK KEASLIAN KITAB ULAMA MUKTABAR !! 

UNTUK YANG SATU INI ADMIN BERANI MENGATAKAN WAHABI ITU BANGSAT !! DARI SEGALA BANGSAT KARNA MERUSAK GENERASI KEDEPAN YANG SUDAH TIDAK TAHU LAGI MANA YANG SALAH MANA YANG BENAR KARNA BACA KITAB ASLI TAPI PALSU !!

Saturday, February 16, 2013

Aqidah Wahabyyi

Penulis : Von Edison Alouisci



Dalam kitab “Al-Wahabiyah Fi Al-‘Ara’” hal. 10 dijelaskan sbb:

Imam besar Ahlussunnah wal Jama’ah Al-Hafizh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari berkata dalam kitabnya An-Nawadir, “Siapa yg meyakini bahwa Allah berbentuk, maka dia tidak mengetahui siapa tuhannya dan sesungguhnya dia KAFIR.”


Imam Syafi’i mengatakan dalam kitabnya Al-Ghuniyah, ”…..atau menetapkan bahwa tidaklah Allah terhalang darinya dengan beragam warna, atau menetapkan baginya penyambung dan pemisah, jadilah ia seorang KAFIR.”


Guru dari para guru sufi dan cendikiawan ahli haqiqat dan thariqat Sayid Al-Ahmad Rifa’i Al-Kabir mengatakan dalam kitab Al-Burhan Al-Muayyad, “Kebenaran pengetahuan tentang Allah adalah meyakini keberadaan Allah itu tanpa [ tanpa ada gambaran] bagaimana dan [dimana] tempat.


Syeikh Abdul Ghoni At-Tabalisi mengatakan dalam hal. 124 dari kitab Al-Fath Ar-Rabbani, “Barangsiapa menyakini bahwa Allah memenuhi langit dan bumi atau meyakini bahwa Sesungguhnya Allah berbentuk orang yanglagi duduk diatas Al-‘Arsy maka dia telah KAFIR meskipun dia mengaku muslim.”


Dan telah dicapai kesepakatan antara ulama salaf dan ulama khalaf bahwa sesungguhnya barangsiapa yang meyakini sesungguhnya Allah dalam satu arah maka dia telah KAFIR.

Sebagaimana ucapan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, dan Imam Al-Baqilani. Demikian yang telah disebutkan Mula Ali Al-Qari dalam kitab Syar Al-Misykah juz 3 hal. 300 cetakan Dar Al-Fikr.


Pada hal. 9 kitab Al-Wahabiyah Fi Al-‘Ara’ menjelaskan juga tentang perkataan Imam Sihabuddin Ahmad bin Hajar Al-Haitami mengenahi ucapan 4 Imam Madzhab yaitu Imam Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah tentang KEKAFIRAN orang yang mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala itu berarah dan berbentuk.

Ungkapan Ibnu Hajar Al-Haitami ini terdapat dalam kitab Al-Minhaj Al-Qawim dalam muqaddimahnya hal. 224. dari kitab Al-Fath Ar-Rabbani,

“Barangsiapa menyakini bahwa Allah memenuhi langit dan bumi atau meyakini bahwa Sesungguhnya Allah berbentuk orang yanglagi duduk diatas Al-‘Arsy maka dia telah KAFIR meskipun dia mengaku muslim.”

Dan telah dicapai kesepakatan antara ulama salaf dan ulama khalaf bahwa sesungguhnya barangsiapa yang meyakini sesungguhnya Allah dalam satu arah maka dia telah KAFIR. Sebagaimana ucapan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, dan Imam Al-Baqilani. Demikian yang telah disebutkan Mula Ali Al-Qari dalam kitab Syar Al-Misykah juz 3 hal. 300 cetakan Dar Al-Fikr.


Pada hal. 9 kitab Al-Wahabiyah Fi Al-‘Ara’ menjelaskan juga tentang perkataan Imam Sihabuddin Ahmad bin Hajar Al-Haitami mengenahi ucapan 4 Imam Madzhab yaitu Imam Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah tentang KEKAFIRAN orang yang mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala itu berarah dan berbentuk.

Ungkapan Ibnu Hajar Al-Haitami ini terdapat dalam kitab Al-Minhaj Al-Qawim dalam muqaddimahnya hal. 224.

semua pendapat ulama diatas berdasarkan pendapat Rasulullah sendiri bahwa ' ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TIDAK BERARAH "

Sekarang mari kita pahami akidah raslulullah yang notabenya lebih tahu maksudnya ketimbang ahli agama manapun.


Perhatikan AKIDAH RASULULLAH !!

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud.sanad sahih).

Rosulalloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda sesungguhnya allah subhanahu wata'ala itu wujud dan tak ada sesuatu apa pun selainnya ruang dan waktu. (h.r bukhori sanad sahih)

Rosulalloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda :

فَقُولُوا اللَّهُ كَانَ قَبْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ خَالِقٌ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ كَائِنٌ بَعْدَ كُلِّ شَيْءٍ "

katakanlah allah subhanahu wata'ala wujud sebelum ada sesuatu apa pun, dan dia yang menciptakan segala sesuatu dan ia tetap (seperti sebelumya tak membutuhkan ruang dan waktu) meskipun setelah ada sesuatu. (h.r baihaqi.Disahihkan imam Bukhari ).

Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).

Rasulullah telah melarang kita untuk memahami Al Qur’an dengan akal pikiran kita sendiri
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)


PERHATIKAN AKIDAH SAHABAT


Pendapat rasulullah di ikuti sahabat rasulullah (kulafou` rasydin)

Sahabat rasulullah 'ali bin abi thalib ra

berkata :"Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir."
Seorang bertanya kepadanya :"Wahai Amirul Mu'minin, apakah sebab kekufuran mereka. Adakah karena membuat ajaran baru? Atau karena pengingkaran?
Sahabat Ali bin Abi Thalib menjawab :"MEREKA MENJADI KAFIR KARENA PENGINGKARAN. MEREKA MENGINGKARI PENCIPTA MEREKA (ALLAH SWT) DAN MENSIFATINYA DENGAN SIFAT-SIFAT BENDA DAN ANGGOTA-ANGGOTA BADAN." ("Najm al-Muhtadi wa Rajm al-Mu'tadi).

Dari ibn umar rodliayallohu 'anhu

berkata” sesungguhnya rosulalloh shollallohu 'alaihi wasallam berkata : hai dzat yang wujud (ada) sebelum ada sesuatu dan yang menciptakan akan segala sesuatu.(h.r. Baihaqi fiil asmai wasifat)


BANDINGKAN DENGAN AKIDAH WAHABI BERIKUT INI

AKIDAH GOLONGAN WAHABI :

1.dalam kitab wahhabi : fathul majid syarh kitab at-tauhid karangan abdur rahman bin hasan al as-syeikh disohihkan oleh abdul aziz bin abdullah bin baz .
Cetakan pertama tahun 1992 bersamaan 1413 maktabah darul faiha dan maktabah darul salam.
Cetakan ini pada hal 356 yg tertera kenyatan kufur yg dianut oleh Wahhabi sebagai hadis ( pd hakikatnya bukan hadis Nabi ) adalah tertera dalam bahasa arabnya berbunyi:
” IZA JALASA AR-ROBBU ‘ALAL KURSI “.

2.Dalam kitab Ibnu Taimiah Majmu Fatawa Jilid 4 / 374 :
إن محمدًا رسول الله يجلسه ربه على العرش معه
“SESUNGGUHNYA MUHAMMAD RASULULLAH, TUHANNYA MENDUDUKKANNYA DIATAS ARASY BERSAMANYA”.
3. Dalam Kitab Ibnu Taimiyah berjudul Syarh Hadith Nuzul cetakan Darul Asimah :
إذا جلس تبارك و تعالى على الكرسي سُمِع له أطيط كأطيط الرَّحل الجديد
Artinya: ”

APABILA TUHAN DUDUK DI ATAS KURSI MAKA AKAN TERDENGARLAH BUNYI SEPERTI KURSI BARU DIDUDUKI”.


Lihatlah! Yahudi berkata Allah Duduk…Ibnu Taimiyah berkata Allah Duduk.


PERHATIKAN BAHWA AKIDAH WAHABI TIDAK SAMA DENGAN AKIDAH RASULULLAH. SAHABAT.TABIIN DAN TABIUN !!

AKIDAH WAHABI SAMA DENGAN AKIDAH KAUM KAFIR YAHUDI DAN KRISTEN !!


BUKTI KESAMAANNYA ??

PERHATIKAN AKIDAH YAHUDI

AKIDAH YAHUDI :

Dalam kitab Yahudi Safar Al-Muluk Al-Ishah 22 Nomor 19-20, Yahudi menyatakan akidah kufur di dalamnya :
قال فاسمع إذاً كلام الرب قد رأيت الرب جالسًا على كرسيه و كل جند السماء وقوف لديه عنيمينه و عن يساره
“Berkata :

DENGARKANLAH ENGKAU KATA-KATA TUHAN,TELAH KU LIHAT TUHAN DUDUK DI ATAS KURSI DAN KE SEMUA TENTERA LANGIT BERDIRI DI SEKITARNYA KANAN DAN KIRI” .

PERHATIKAN AKIDAH KRISTEN

AKIDAH KRISTEN :


Kalau kita lihat dalam website Kristiani : http://www.hesenthisword.com/lessons/lesson5.htm
Lihat pada :
عاشرا: ذكر عنه ما ورد عن الله في العهد القديم
Kristiani berkata pada nomor 7 :
“الله جالس على الكرسي العالي” (اش 6 :1-10) .
Artinya: “ALLAH DUDUK DI ATAS KURSI YANG TINGGI”.

SAMA TOH ?? SAMA SAMA MUJASIMAH !! TUHAN SEPERTI MAKHLUK !!

MAKA PANTAS JIKA PARA ULAMA KELAS KAKAP MENGATAKAN WAHABI ITU JUSTRU KUFUR MESKIPUN MENGAKU MUSLIM .

(INTAHA )

Friday, February 15, 2013

قال تعالى: (وجاء ربك والملك صفا صفا) سورة الفجر

Makna : قال تعالى: (وجاء ربك والملك صفا صفا) سورة الفجر


قوله تعالى : وجاء ربك والملك صفا صفا وجيء يومئذ بجهنم يومئذ يتذكر الإنسان وأنى له الذكرى قوله تعالى : وجاء ربك أي أمره وقضاؤه قاله الحسن وهو من باب حذف المضاف . وقيل : أي جاءهم الرب بالآيات العظيمة وهو كقوله تعالى : إلا أن يأتيهم الله في ظلل من الغمام ، أي بظلل . وقيل : جعل مجيء الآيات مجيئا له ، تفخيما لشأن تلك الآيات . ومنه قوله تعالى في الحديث : يا بن آدم ، مرضت فلم تعدني ، واستسقيتك فلم ص: 49 ] تسقني ، واستطعمتك فلم تطعمني وقيل : وجاء ربك أي زالت الشبه ذلك اليوم ، وصارت المعارف ضرورية ، كما تزول الشبه والشك عند مجيء الشيء الذي كان يشك فيه . قال أهل الإشارة : ظهرت قدرته واستولت ، والله - جل ثناؤه - لا يوصف بالتحول من مكان إلى مكان ، وأنى له التحول والانتقال ، ولا مكان له ولا أوان ، ولا يجري عليه وقت ولا زمان ; لأن في جريان الوقت على الشيء فوت الأوقات ، ومن فاته شيء فهو عاجز . 

قوله تعالى : والملك أي الملائكة . صفا صفا أي صفوفا . 

وجيء يومئذ بجهنم قال ابن مسعود ومقاتل تقاد جهنم بسبعين ألف زمام ، كل زمام بيد سبعين ألف ملك ، لها تغيظ وزفير ، حتى تنصب عن يسار العرش وفي صحيح ، مسلم عن عبد الله بن مسعود قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : يؤتى بجهنم ، لها سبعون ألف زمام ، مع كل زمام سبعون ألف ملك يجرونها وقال أبو سعيد الخدري لما نزلت وجيء يومئذ بجهنم تغير لون رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وعرف في وجهه . حتى اشتد على أصحابه ، ثم قال : " أقرأني جبريل كلا إذا دكت الأرض دكا دكا الآية وجيء يومئذ بجهنم " . قالعلي رضي الله عنه - : قلت : يا رسول الله ، كيف يجاء بها ؟ قال : " تؤتى بها تقاد بسبعين ألف زمام ، يقود بكل زمام سبعون ألف ملك ، فتشرد شردة لو تركت لأحرقت أهل الجمع ثم تعرض لي جهنم فتقول : ما لي ولك يا محمد ، إن الله قد حرم لحمك علي " فلا يبقى أحد إلا قال نفسي نفسي ! إلا محمد صلى الله عليه وسلم - فإنه يقول : رب أمتي ! رب أمتي ! 

قوله تعالى : يومئذ يتذكر الإنسان أي يتعظ ويتوب . وهو الكافر ، أو من همته معظم الدنيا . 

وأنى له الذكرى أي ومن أين له الاتعاظ والتوبة وقد فرط فيها في الدنيا . ويقال : أي ومن أين له منفعة الذكرى . فلا بد من تقدير حذف المضاف ، وإلا فبين يومئذ يتذكر وبين وأنى له الذكرى تناف ، قاله الزمخشري 

http://rouhaniettesahbi.top-me.com/t617-topic

http://travel.maktoob.com/vb/travel531080/

http://www.youtube.com/watch?v=XTOFCYOE2xc

http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=3750&idto=3750&bk_no=48&ID=3235

http://www.a7bash.com/textshow-992.html


بسم الله الرحمن الرحيم المعطي الكريم الجواد الحليم الودود الرحيم والصلاة والسلام على من كان بالمومنين رؤوف رحيم سيدنا مجمد سيد ولد آدم اجمعين وعلى آله وصحابته المنتجبين
اما بعد
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته حيا الله جميع الاخوة الاعضاء اعضاء هذا الملتقى المبارك
اليوم باذن الله اضع بين ايديكم اعراب قوله تعالى وجاء ربك والملك صفا صفا
بعد ان استشرت عدد من الاساتذة والمشايخ وكان من بين هاؤلاء الشيخ جمال الشرباتي حفظه الله
اولا ساضع الاعراب المشهور لقوله تعالى وجاء ربك والملك صفا صفا
الواو:لما سبق
جاء:فعل ماض مبني على الفتح
ربك:فاعل مرفوع بالضمة الضاهرة على اخره وهو مضاف والكاف مضاف اليه
و:واو وعطف
الملك:معطوف على -رب-مرفوع بالضمة الظاهرة على اخره
صفا صفا:مصدر منصوب بالفتحة في موضع حال
هذا اعراب من جهة والاعراب الاخر
و:الواو لما سبق
جاء:فعل ماض
ربك:فاعل مرفوع بالضمة والكاف مضاف اليه
و:الواو هنا واو الحال
الملك:مبتدا مرفوع بالضمة الظاهرة على اخره وخبره محذوف وجوبا تقديره مصطفون والفاعل ضمير مستتير فيه جوازا
صفا صفا:مصدر منصوب في موضع حال
والله تعالى اعلم
وارجوا من الاخوة اهل العلم التصويب ان كان في هذا الاعراب خطا وانا لكم من الشاكرين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Wednesday, February 13, 2013

Apa Itu Bid'ah

BID'AH

apa itu bid'ah yang selama ini kalian dengar mari kita bahas sama-sama baca dengan baik,sabar dab teliti setelah faham maka bagikan kepada yang lain,penjelasan ini kami buat sejalas-jelasnya dengan segala sumber dan pemahaman kata

★ﺑﺴﻢ ﷲ ﺍﻟﺮّﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮّﺣﻴﻢ★

olehAbu Nawas Majdub

★ﺻَﻞّ ﷲٌ ﻋَﻞِ ﺳَﻴﺪِﻧَﺎ ﻣٌﺤﻤّﺪ ★

Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah: 

مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ 

“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”. 

Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut: 

اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ 

“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. 

Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. 

Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. 

Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). 
Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. 

Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). 
Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. 

Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, 
artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). 
Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, 
menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” 
(Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36). 

Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah: 

اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ. 

“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278) 

Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut: 

لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ. 

“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”. 

Macam-Macam Bid’ah 

Bid’ah terbagi menjadi dua bagian: 
Pertama: 
Bid’ah Dlalalah. 
Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. 
Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah. 

Kedua: Bid’ah Huda 
disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. 
Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah. 

Al-Imam asy-Syafi’i berkata : 

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ) 

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469). 

Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata: 

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ. 

“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari) 

Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. 

Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti 
al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya. 

Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: 

1.Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) 

2.Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela). 

Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda: 

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم) 

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim) 

Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak. 

Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya. 

Menurut al-Imam Abu Muhammad Izzudin bin Abdissalam, 

bid’ah adalah: 
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah di kenal(terjadi) pada masa Rasulullah SAW”. 
(qawa’id al- Ahkam fi mashalih al-Anam, juz 11, hal 172) 

Sebagian besar ulama membagi Bid’ah menjadi lima macam: 

1) Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’. Seperti mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain-lain.Sebab, hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW secara sempurna. 

2) Bid’ahn Muharramah, 
Yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’. Seperti madzhab Jabariyyaah dan Murji’ah. 

3) Bid’ah Mandubah, 
yakni segala sesuatu yang baik, tapi tak pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Misalnya, shalat tarawih secara berjamaah, mendirikan madrasah dan pesantren. 

4) Bid’ah Makruhah, 
seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan. 

5) Bid’ah Mubahah, 
seperti berjabatan tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat. 
(Qawa’id al-Ahkam Fi Mashalih al-Anam, Juz, 1 hal, 173) 

Maka tidak heran jika sejak dahulu para ulama telah membagi bid’ah menjadi dua bagian besar. 

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’I RA yang dikutip dalam kitab Fath al-Bari: 

“Sesuatu yang diada – adakan itu ada dua macam. (Pertama), sesuatu yang baru itu menyalahi al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Atsar sahabat atau Ijma’ulama. Ini disebut dengan bid’ah dhalal (sesat). Dan (kedua, jika) sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan yang tidak menyalahi sedikitpun dari hal itu (al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’). Maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak dicela”. (Fath al-Bari, juz XVII, hal 10) 

Syaikh Nabil Husaini menjelaskan sebagai berikut: 

“Para ahli ilmu telah membahas persoalan ini kemudian membaginya menjadi dua bagian. Yakni bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Yang dimaksud dengan bid’ah hasanah adalah perbuatan yang sesuai kepada kitab Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW. Keberadaan bid’ah hasanah ini masuk dalam bingkai sabda nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Siapa saja yang membuat sunnah yang baik (Sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang-orang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa yang merintis sunnah jelek (sunnah sayyiah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa-dosa yang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka”. 

Dan juga berdasarkan Hadist Shahih yang mauquf, yakni ucapan Abdullah bin Mas’ud RA ,”Setiap sesuatu yang dianggap baik oleh semua muslim, maka perbuatan tersebut baik menurut Allah SWT, dan semua perkara yang dianggap buruk orang-orang Islam, maka menurut Allah SWT perbuatan itu juga buruk”. Hadist ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Amah” (al-Bid’ah al-Hasanah, wa Ashluha min al-Kitab wa al-Sunnah, 28) 

Dari uraian diatas maka secara umum bid’ah terbagi menjadi dua. 

Pertama, bid’ah hasanah, 
yakni bid’ah yang tidak dilarang dalam agama karena mengandung unsur yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Masuk dalam kategori ini adalah bid’ah wajibah, mandubah, dan mubahah. Dalam konteks inilah perkataan sayyidina Umar bin Khattab RA tentang jama’ah shalat tarawih yang beliau laksanakan: 
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni shalat tarawih dengan berjama’ah)”. (Al-Muaththa’ [231] ) 

Contoh, bid’ah hasanah 
adalah khutbah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membuka suatu acara dengan membaca basmalah di bawah seorang komando, memberi nama pengajian dengan istilah kuah(dhliah shubuh, pengajian ahad atau titian senja, menambah bacaan subhanahu wa ta’ala (yang diringkas menjadi SWT) setiap ada kalimat Allah, dan subhanahu alaihi wasallam (yang diringkas SAW) setiap ada kata Muhammad. Serta perbuatan lainnya yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW, namun tidak bertentangan dengan inti ajaran agam,a Islam. 

Kedua, bid’ah sayy’ah(dhalalah), 
yakni bid’ah yang mengandung unsur negatif dan dapat merusak ajaran dan norma agama Islam. Bid’ah muharramah dan makruhah dapat digolongkan pada bagian yang kedua ini. Inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi Muhammad SAW: 
“Dari ‘A’isyah RA, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang melakukan suatu yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak”. (Shahid Muslim, [243]) 

Dengan adanya pembagian ini, dapat disimpulakan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikawatirkan akan menghancurkan sendi – sendi agama Islam. Sedangkan amaliyah yang akan menambah syi’ar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini, sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama Islam akan selalu relevan di setiap waktu dan tempat (Shalih li kuli zaman wa makan). 

Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah 

Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28): 

1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27: 

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27) 

“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27) 

Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah. 

Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah. 

2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, 

bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda: 

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم) 

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim) 

Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya. 

3. Hadits ‘Aisyah, 

bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda: 

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم) 

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim) 

Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas:“Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”. 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: 

Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. 

Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah. 

4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya 

disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah. 

Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah: 

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ 

5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud 

disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan: 

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ. 

Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata:“Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. 

6. ‘Abdullah ibn ‘Umar 
menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata: 

إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح) 

“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih) 

Dalam riwayat lain, tentang shalat Dhuha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan: 

بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة) 

“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah) 

Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih. 

7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, 

bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata: 

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ 

Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata: 

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ 

“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”. 

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287). 

7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, 

tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut: 

هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ. 

“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254). 

Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah 

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya: 

1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. 

Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata: 

فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ) 

“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf) 

Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang. 

Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab: 

صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ. 

“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358) 

2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. 

(HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah). 

3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. 

Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya. 

Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman. Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya. 

Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?! 

4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, 

orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! 

Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?! 

5. Peringatan Maulid Nabi 

adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya. 

6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan 

adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya. 

7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah 

termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan:“Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”. 

8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. 

Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya. 

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah. 

di antaranya sebagai berikut: 

1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), 

di antaranya seperti: 

A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. 

Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur. 

B. Bid’ah Jahmiyyah. 

Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak. 

C. Bid’ah kaum Khawarij. 

Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar. 

D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah. 

2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. 

Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah. 

Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah 

1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: 

“Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda: 

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود) 

Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat . 

Jawab: 
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154). Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”. 

Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman: 

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25) 

Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”. 

Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah. 

2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: 

“Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”. 

Jawab: 
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan: 

لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ 

“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”. 

Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”. 

Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka. 

3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: 

“Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”. 

Jawab: 

Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan: 

اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ 

“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”. 

Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?! 

4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: 

“Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”. 

Jawab: Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut: 

فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ. 

“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”. 

As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah: 

قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا. 

“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”. 

Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut: 

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ. 

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253). 

Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu. 

Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali. 

5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: 

“Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”. 

Jawab: 

Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah. 

Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?! 

Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”. Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah: 

مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه) 

“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi (hasan) dan Ibn Majah) 

Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’. 

6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: 

“Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”. 

Jawab: 

Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”. Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada. 

Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan: 

التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم 

“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”. 

Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram. Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya. 

Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama. 

HADITS TENTANG SEMUA BID’AH ADALAH SESAT 

Kalau memang Bid’ah terbagi menjadi dua, lalun bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa semua bid’ah itu sesat? 

Untuk memahami al-qu’ran ataupun hadits, tidak bisa hanya dilihat secara parsial atau hanya melihat arti lahiriah sebuah tek’s. Ada banyak hal yang harus diperhatikan ketika membaca serta menafsirkan al-Qur’an atau al-Hadits. Misalnya kondisi masyarakat ketika ayat tersebut diturunkan. Termasuk pula meneliti teks tersebut dari aspek kebahasaannya, yakni dengan perangkat Ilmu Nahwa, sharaf, Balaghah, Mantiq, dan sebagainya. 

Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama dalam mendefinisikan bid’ah. Perbedaan cara pendekatan para ulama disebabkan, apakah kata bid’ah selalu dikonotasikan dengan kesesatan, atau tergantung dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran Islam. Hal ini disebabkan arti bid’ah secara bahasa adalah : sesuatu yang asing, tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW. Sehingga inti pengertian bid’ah yang sesat secara sederhana adalah: segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam, seperti membaca ayat-ayat al-Qur’an atau shalawat disertai alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan/faham kaum Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini, dan lain-lain. Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam sebagaimana disebutkan dalam kitab tuhfatul akhwadzi juz 7 hal 34 menyatakan: “Apabila pengertian bid’ah ditinjau dari segi bahasa, maka terbagi menjadi lima hukum : 

Haram, seperti keyakinan kaum Qodariyah dan Mu’tazilah. 

Makruh, seperti membuat hiasan-hiasan dalam masjid. 

Wajib, seperti belajar ilmu gramatikal bahasa arab (nahwu). 

Sunnah, seperti membangun pesantren atau madrasah. 

Mubah, seperti jabat tangan setelah shalat. 

Alhasil, menurut Imam ‘Izzuddin, “Segala kegiatan keagamaan yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah SAW, hukumnya bergantung pada tercakupnya dalam salah satu kaidah hukum Islam, haram, makruh, wajib, sunnah, atau mubah. Sebagai contoh, belajar ilmu bahwu untuk menunjang dalam belajar ilmu syariat yang wajib, maka hukum belajar ilmu nahwu menjadi wajib.”.Risalatu Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah hal. 6-8. 
Penjelasan tentang bid’ah bisa kita ketahui dari dalil-dalil berikut : 

1.Hadits riwayat sayyidatina A’isyah : 
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم 

“Dari ‘Aisyah RA. Ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak” HR.Muslim. 

Hadits ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua bentuk perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW. Padahal maksud yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Para ulama menyatakan bahwa hadits ini sebagai larangan dalam membuat-buat hukum baru yang tidak pernah dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadits, baik secara eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu ibadah murni kepada Allah SWT sebagai bagian dari ajaran agama. Oleh karena itu, ulama membuat beberapa kriteria dalam permasalahan bid’ah ini, yaitu : 

Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar dalil-dalil syar’i yang kuat, baik yang parsial (juz’i) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah. Namun jika tidak ada dalil yang dapat dibuat sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang. 

Kedua, memperhatikan pada ajaran ulama salaf (ulama pada abad l, ll dan lll H.). Apabila sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bid’ah. 

Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni, mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong bid’ah muharromah. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka perbuatan baru itu tergolong wajib. Dan begitu seterusnya. Risalatu Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah hal.6-7. 

2. Hadits riwayat Ibn Mas’ud : 

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه ابن ماجه 

“Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “ Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru . dan setiap perbuatan yang baru itu adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” HR. Ibnu Majah. 

Hadits inipun sering dijadikan dasar dalam memvonis bid’ah segala perkara baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW, para sahabat atau tabi’in dengan pertimbangan bahwa hadits ini menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya. 

Namun, dalam menanggapi makna hadits ini, khususnya pada kalimat وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, terdapat perbedaan pandangan pandangan di kalangan ulama’. 

Pertama, ulama’ memandang hadits ini adalah kalimat umum namun dikhususkan hanya pada sebagian saja (عام مخصوص البعض ), 
sehingga makna dari hadits ini adalah “bid’ah yang buruk itu sesat” . 
Hal ini didasarkan pada kalimat kullu, karena pada hakikatnya tidak semua kullu berarti seluruh atau semua, adakalanya berarti kebanyakan (sebagian besar). 

Sebagaimana contoh-contoh berikut : 
Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 : 

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ 

“Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30. 

Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini: 

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ 

“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. QS. Ar-Rahman:15. 

Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah ciptakan dari air. 

Hadits riwayat Imam Ahmad : 

عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ 

Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad) 

Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah. 

Kedua, ulama’ menetapkan sifat umum dalam kalimat kullu, namun mengarahkan pengertian bid’ah secara syar’iyah yaitu perkara baru yang tidak didapatkan di masa Rasulullah SAW, dan tidak ada sandarannya sama sekali dalam usul hukum syariat. Telah kita ketahui bahwa perkara yang bertentangan dengan syariat baik secara umum atau isi yang terkandung di dalamnya, maka haram dan sesat. Dengan demikian, makna hadits di atas adalah setiap perkara baru yang bertentangan dengan syariat adalah sesat, bukan berarti semua perkara baru adalah sesat walaupun tidak bertentangan dengan syai’at. 

Oleh karena itu, jelas sekali bahwa bukan semua yang tidak dilakukan di zaman Nabi adalah sesat. Terbukti, para sahabat juga melaksanakan atau mengadakan perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Misalnya, usaha menghimpun dan membukukan al-Qur’an, menyatukan jama’ah tarawih di masjid, adzan Jum’ah dua kali dan lain-lain. Sehingga, apabila kalimat kullu di atas diartikan keseluruhan, yang berarti semua hal-hal yang baru tersebut sesat dan dosa. Berarti para sahabat telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Oleh karena itu, sungguh tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung dan begitu luas pengetahuannya tentang al-Qur’an dan Hadits tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah SAW.Mawsu’ah Yusufiyyah juz ll hal 488. 

kata Kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua, namun adakalanya berarti sebagian, 

Contoh lain adalah firman Allah SWT: 
“Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap – tiap perahu”. (QS.al-Kahfi, 79) 

Ayat ini menjelaskan bahwa di hadapan Nabi Musa AS dan Nabi Kidhir AS ada seorang raja lalim yang suka merampas perahu yang bagus. Sedangkan perahu yang jelek tidak diambil. Buktinya perahu yang ditumpangi kedua hamba pilihan itu dirusak oleh Nabi Khiddir AS agar tidak diambil oleh raja lalim tersebut. Kalau semua perahu dirampas, tentu Nabi Khiddir AS tidak akan merusak bagian tertentu dari perahu yang mereka tumpangi. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak semua perahu dirampas oleh raja tersebut. Juga menjadi petunjuk bahwa kullu pada ayat itu tidak dapat diartikan keseluruhan, tapi berarti sebagian saja, yakni perahu – perahu yang bagus saja yang dirampas. 

Maka demikian pula dengan hadits tentang bid’ah itu. Walaupun menggunakan kata kullu, bukan berarti seluruh bid’ah dilarang. Karena yang terlarang adalah sebagian bid’ah saja, tidak semuanya. Ini bisa dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga banyak melaksanakan perbuatan serta membuat kebijakan yang tidak pernah ada pada waktu Rasulullah SAW masih hidup. Misalnya, usaha untuk membukukan al-Qur'an, menambah jumlah adzan menjadi dua kali pada hari jum’at, shalat tarawih secara berjamaah dan masih banyak lagi hasil ijtihad para sahabat yang ternyata tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW. 

Nah, kalau kullu pada hadits itu diartikan keseluruhan, yang berarti semua bid’ah dilarang, berarti para sahabat telah melakukan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang – orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan Allah SWT dan Rasul – ny Na. Bahkan di antara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Maka tidak mungkin kalau para sahabat Nabi SAW tidak mengetahui, apalagi tidak mengindahkan larangan dalam hadits itu. 

Kembali ke Hadist yang berbunyi Rasulullah saw bersabda, 'Sebaik-baiknya perkataan/berita adalah Kitabullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk dari Muhammad. Sementara itu, sejelek-jelek urusan adalah membuat-buat hal yang baru (muhdastatuha) dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka." [Lihat misalnya Shahih Muslim, Hadis Nomor [HN] 1.435; Sunan al-Nasa'i, HN 1560; Sunan Ibn Majah 

Syarh Sunan al-Nasa'i li al-Suyuti memberikan keterangan apa yang dimakud dengan "muhdastatuha" dalam hadis yang di atas. Disebut muhdastatuha kalau kita membuat-buat urusan dalam masalah Syari'at atau dasar-dasar agama (ushul). Dalam Syarh Shaih Muslim, Imam Nawawi menjelaskan lebih lanjut bahwa para ulama mengatakan bid'ah itu ada lima macam: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah." 

"Yang wajib adalah mengatur argumentasi berhadapan dengan para pelaku bid'ah. Yang mandub (sunnah) adalah menulis buku-buku agama mengenai hal ini dan membangun sekolah-sekolah. Ini tidak ada dasarnya dalam agama namun diwajibkan atau disunnahkan melakukannya. Yang dianggap mubah adalah beraneka ragam makanan sedangkan makruh dan haram sudah nyata dan jelas contohnya. 

Jadi kata bid'ah dalam hadis di atas dipahami oleh Suyuti dan Nawawi sebagai kata umum yang maksudnya khusus. Kekhususannya terletak pada persoalan pokok-pokok syari'at (ushul) bukan masalah cabang (furu'). 

"Jika kita menganggap hadis itu tidak berlaku khusus maka semua yang baru (termasuk tekhnis pelaksanaan ibadah) juga akan jatuh pada bid'ah. Kedua kitab Syarh tersebut juga mengutip ucapan Umar bin Khattab soal shalat tarawih di masanya sebagai 'bid'ah yang baik' (ttg ucapan Umar ini lihat Shahih Bukhari, HN 1871). 
Dengan demikian Umar tidak menganggap perbuatan dia melanggar hadis tersebut, karena sesungguhnya yang di-"modifikasi" oleh Umar bukan ketentuan atau pokok utama shalatnya, melainkan tekhnisnya. Mohon dicatat, penjelasan mengenai hadis ini bukan dari saya tetapi dari dua kitab syarh hadis dan keduanya saling menguatkan satu sama lain" 

"Kita juga harus berhati-hati dalam menerima sejumlah hadis masalah bid'ah ini. Sebagai contoh, hadis mengenai bid'ah yang tercantum dalam Sunan al-Tirmizi, HN 2701 salah satu rawinya bernama Kasirin bin Abdullah. Imam Syafi'i menganggap dia sebagai pendusta, Imam Ahmad menganggap ia munkar, dan Yahya menganggapnya lemah. Hadis masalah bid'ah dalam Sunan Ibn Majah, HN 48 diriwayatkan oleh Muhammad bin Mihshanin. Tentang dia, Yahya bin Ma'yan mengatakan dia pendusta, Bukhari mengatakan dia munkar, dan Abu Hatim al-Razi mengatakan dia majhul. Ibn Majah meriwayatkan hadis dalam masalah ini [HN 49], diriwayatkan oleh dua perawi bermasalah. Abu Zar'ah al-Razi mengatakan bahwa Bisyru bin Mansur tidak dikenal, Zahabi mengatakan Abi Zaid itu majhul. Kedua hadis Ibn Majah ini tidak dapat tertolong karena hanya diriwayatkan oleh Ibn Majah sendiri, yaitu "Allah menolak amalan pelaku bid'ah, baik shalatnya, puasanya...dst. 
Namun Saya tidak bilang semua hadis ttg bid'ah itu lemah 

Ketahuialah "Yang disebut asal/pokok/dasar Agama adalah ibadah mahdhah yang didasarkan oleh nash al-Qur'an dan Hadis yang qat'i. Dia berkategori Syari'ah, bukan fiqh. 
Kalau sebuah amalan didasarkan pada dalil yang ternyata dilalahnya (petunjuknya) bersifat zanni maka boleh jadi amalan tersebut akan berbeda satu dengan lainnya. Ini disebabkan zanni al-dalalah memang membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat. Sementara kalau dilalah atau dalalahnya bersifat qat'i maka dia masuk kategori Syari'ah dan setiap hal yang menyimpang dari ketentuan ini dianggap bid'ah. Jadi, sebelum menuduh bid'ah terhadap amalan saudara kita, mari kita periksa dulu apakah ada larangan dari Nabi yang bersifat qat'i (tidak mengandung penafsiran atau takwil lain) terhadap amalan tersebut?" 

"Jikalau tidak ada larangan, namun dia melanggar ma'lum minad din bid dharurah (ketentuan agama yang telah menjadi aksioma), maka dia jatuh pada bid'ah. Kalau tidak ada larangan, dan tidak ada ketentuan syari'at yang dilanggar, amalan tersebut statusnya mubah, bukannya bid'ah!" 

contoh praktisnya: 

Apakah ada larangan memakai alat untuk berzikir (kita kenal dg tasbih atau rosario utk agama lain) ? Meskipun Nabi tidak pernah mencontohkannya, bukan berarti tidak boleh! Adalah benar dalam masalah ibadah berlaku kaidah, 'asal sesuatu dalam ibadah itu haram kecuali ada dalil yg membolehkan atau mewajibkan'. Nah, apakah memakai tasbih itu termasuk ibadah mahdhah atau tidak? Indikasinya adalah apakah zikir kita tetap sah kalau tidak pakai tasbih? tentu saja tetap sah, karena yang disebut ibadah adalah zikirnya, bukan cara menghitung 33 atau 99nya. Tasbih memang dipakai dalam zikir tetapi dia hanya masalah tekhnis. 

http://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=243970262405040&id=223037647831635