Inilah Jalan Sufi Headline Animator

Whatsap Saya

Pencerahan Bid'ah

Wednesday, August 29, 2018

KISAH SEORANG HAMBA ALLAH YANG MEMFITNAH HABIB UMAR BIN HAFIDZ HAFIZAHULLAH

KISAH SEORANG HAMBA ALLAH YANG MEMFITNAH HABIB UMAR BIN HAFIDZ HAFIZAHULLAH.

“Habib... Maafkanlah saya yang telah memfitnah Habib dan ajarkan saya sesuatu yang boleh menghapuskan kesalahan saya ini.”

Aku berusaha menjaga lisanku, tak ingin sedikitpun menyebarkan kebohongan dan menyinggung perasaan Habib.lagi, detik kata hatiku. 

Habib Umar tersenyum ..,“Apa kau serius?” katanya.

Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan “Saya serius, Habib, Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”

Habib Umar terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan oleh Habib Umar kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan satu perintah atau pekerjaan, atau apa saja yang boleh menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku.

Beberapa detik kemudian, Habib Umar mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar sangkaanku....

“Apakah kamu mempunyai sebuah bulu ayam (pengibas habuk) di rumahmu?”
Aku benar-benar hairan kerana Habib Umar jestru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.
“Maaf, Habib?” Aku berusaha untuk memahami maksud Habib Umar.
Habib Umar tertawa, seperti Habib Umar yang biasanya. Di hujung tawanya, ia sedikit terbatuk sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku,
“Ya, carikan satu bulu ayam yakni pengibas habuk di rumahmu,” katanya.
Nampaknya Habib Umar benar-benar serius dengan permintaannya.

“Ya, saya ada bulu ayam yakni pengibas habuk di rumah, Habib. Apa yang harus saya lakukan dengannya?” aku bertanya minta kepastian.

Habib Umar tersenyum....,“Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabut sehelai demi sehelai bulu-bulu dari pengibas habuk itu. Setiap kali kamu mencabut sehelai bulu, ingatkan setiap perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kamu lalui.”
Aku hanya menganggukkan kepala dan aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud Habib Umar adalah agar aku merenung semua kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan oleh angin…
“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata Habib Umar Ada senyum yang sedikit memberi keyakinan di wajahku.
Keesokan harinya, aku menemui Habib Umar dengan sebuah pengibas habuk yang sudah tidak memiliki sehelai bulupun pada tangkainya. Aku segera menyerahkan batang pengibas habuk itu pada beliau.

“Ini, Habib..., bulu-bulu dari pengibas habuk ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingati semua perkataan buruk saya tentang Habib.

Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Habib yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang....... Maafkan saya, Habib. Maafkan saya…”

Habib Umar mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya, lalu dia bersuara......, “Seperti aku katakan kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kamu hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar sesuatu…,” katanya.
Aku hanya terdiam mendengar perkataan Habib Umar yang lembut, menyejukkan hatiku. “Kini pulanglah…” kata Habib Umar.
Ketika aku baru saja hendak melangkah pulang sambil mencium tangannya, tetapi Habib Umar melanjutkan kata-katanya.....
"Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kamu menuju ke pondokku tadi…”
Aku terkejut mendengarkan permintaan Habib Umar kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu dari pengibas habuk tadi kau cabut satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang dapat kamu kumpulkan.”

Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Habib Umar. “Kamu akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” Habib Umar mengakhiri kata-katanya.
Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu dari pengibas habuk yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit untukku menemukan bulu-bulu itu. Ia tentu saja telah ditiup angin, atau menempel di beberapa kenderaan yang sedang menuju kota yang jauh, atau disapu ke mana saja tempat yang kini tak mungkin aku ketahui.
Tapi aku harus menemukan bulu-bulu tersebut..., Aku harus terus mencari di setiap sudut jalanan, lorong-lorong sempit, ke mana saja!

Aku terus berjalan... Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku tercunga-cungap..., kerongkongku kering.
Di tanganku, kugenggam lima helai bulu pengibas habuk yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.

Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan bulu ayam yang ku cabut dan ku jatuhkan dalam perjalanan ketika pergi bertemu Habib, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut sepangjang perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai...,.

Hari berikutnya aku menemui Habib Umar dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu ayam yang telah ku kutip itu pada Habib Umar : "Ini, Habib..., hanya ini saja yang berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyerahnnya pada Habib Umar. Habib Umar tersenyum.....,"Kini kamu telah belajar sesuatu,” katanya.
Aku mengerutkan dahiku, ingin tahu....“Apa yang telah aku pelajari, Habib?” Aku benar-benar tak mengerti.

“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Habib Umar.

Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.

“Bulu-bulu ayam yang kamu cabut dan kamu jatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kamu sebarkan. Walaupun kamu benar-benar menyesali di atas perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu.
Ia telah dibawa angin terbang ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin dapat kamu duga...,, ke berbagai wilayah atau negara yang tak mungkin dapat kamu hitung!”

Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Habib Umar. Seolah-olah ada satu hentakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada tikaman mata pisau yang menghujam jantungku.

Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.
“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kamu akan berusaha meluruskannya, karena kamu benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kamu tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kamu tak dapat menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kawalanmu, tak dapat kamu bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kamu kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabdikannya."

“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada penghujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan di luar kawalan pelakunya....,
Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau sesiapapun saja yang kamu fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak dapat membayangkan bila ianya akan berakhir.

Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi.
Maka kamu tak dapat menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”

Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai.

“Astagfirulloh hal-adzhim… Astagfirullohal-adzhim… Astagfirulloh hal-adzhim…”
Aku hanya mampu terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua hujung mataku.
“Ajarkanlah saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Habib..... Ajaranlah saya! Ajarkanlah saya! Astagfirulloohal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat.

Habib Umar tertunduk sambil menitiskan air matanya. “Aku telah memaafkanmu setulus hatiku...., wahai anakku,” katanya,
“Kini, aku hanya mampu berdoa agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahawa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah Zat yang Maha terus menerus menerima taubat manusia… Innallooha tawwaabur-rahiim...”

Aku seperti disambar halilintar jutaan megawatt yang menggoncangkan batinku!
Aku ingin mengucapkan sejuta atau sebanyak-banyaknya istighfar untuk semua yang sudah kulakukan!

Aku ingin membacakan doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu!
“Kini aku telah belajar sesuatu,”
Demikianlah sahabat dan saudaraku. Itulah sebab kenapa, fitnah itu "KEJAM". Lebih kejam dari pada pembunuhan.
Bayangkan berapa juta wall di media social yang kita penuhi kalau satu kali saja posting fitnah terhadap seseorang dan itu akan menetap abadi sepanjang masa apalagi kalau di share. Maka setiap yang ingin kita posting hendaklah di telaah dan difikirkan dulu fitnah ataupun bukan?

Kiriman hamba Allah
Wallahua`lam

Tuesday, August 28, 2018

TUAN GURU SYEIKH IDRIS BIN SYEIKH ABDUL RAHMAN AL-JARUMI


TUAN GURU SYEIKH IDRIS BIN SYEIKH ABDUL RAHMAN AL-JARUMI.
Beliau dilahirkan di Alor Setar. Anak sulung kepada ulama ternama iaitu Syeikh Abdul Rahman AlJarumi yang merupakan Mursyid Diraja yang berkhidmat di istana Sultan Kedah semasa pemerintahan Sultan Abdul Hamid dan Sultan Badlishah. Ibunya adalah Hajjah Hindun yang merupakan isteri pertama Syeikh Abdul Rahman. Nenek beliau juga merupakan ulama tersohor di Nusantara iaitu Tok Syeikh Jarum.
Beliau dibesarkan di Pondok Batu 1 Akar Peluru. Semasa kanak-kanak beliau dibesarkan di sini di bawah jagaan isteri muda ayahnya Nik Rahmah (Nik Doh). Dengan beliau Hj Idris belajar membaca dan mentahsin alQquran. Setelah menyelesaikan pengajian AlQuran beliau dihantar oleh ayahnya belajar di Pondok Tuan Idris Air Hitam. Di sini beliau belajar asas-asas menjadi alim. Setelah menamatkan pengajian peringkat asas di sini beliau menyambungkan pengajian seterusnya di Pondok Tuan Saleh Lubuk Kawah.
Bagi menajamkan lagi ilmu, pada sekitar 1925 beliau diarahkan oleh ayahnya menyambung pengajian alim di Pondok Tok Bermin di Negeri Patani Darussalam.
Setelah kembali dari Patani beliau membantu ayahnya mengajar di Pondok Batu 1. Dikatakan bahawa pada ketika itu beliau sudah menjadi alim besar. Pada ketika ini beliau di kehendaki oleh Hajjah Nik Rahmah ibu yang membersarkannya untuk berkahwin dengan anak saudaranya Mariam binti Abdul Hamid.
Setelah berkahwin, beliau kemudiannya merantau menyambungkan pengajian di Masjidil Haram, Mekah Al-Mukarromah. Pengajian di sini mengambil masa sekitar 3 tahun dengan ulama-ulama terkenal seperti Sayyid Abbas Al-Maliki, Syeikh Ali Al-Maliki, Qadi Qudah Syeikh Nur Al-Fathoni dan lain-lain.
Sekembalinya daripada Mekah beliau diminta oleh ayahnya Syeikh Abdul Rahman membuka pondok di Alor Mengkudu.
Beliau kembali kerahmatullah pada tahun 1987 dan dimakamkan di perkuburan masjid Alor Mengkudu, Alor Setar. Alfatihah.


Monday, August 27, 2018

TUJUH MAHKOTA DUNIA AKHIRAT

TUJUH MAHKOTA DUNIA AKHIRAT
Allah Subhaanahuu wa Ta'aala berfirman: "Sungguh Kami telah menciptakan atas kamu semua tujuh buah jalan dan kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami." (Al-Mu'minuun, ayat 17)
1) MAHKOTA ZIKIR
لا إله الا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير
Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa Syariikalahu lahul Mulku wa lahul Hamdu wa huwa 'alaa kulli syai'in Qodiir.
2) MAHKOTA TASBIH
سبحان الله وبحمده عدد خلقه ورضا نفسه وزنة عرشه ومداد كلماته
Subhaanallah wabihamdihi 'adada holqihi wa Ridha nafsihi wa zinata 'arsyihi wa midada kalimaatihi.
3) MAHKOTA DOA
ربنا اتنا في الدنيا حسنة وفي الاخرة حسنة وقنا عذاب النار
Rabbanaa aatinaa fid dunya hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa 'adzaaban naar
4) MAHKOTA ISTIGHFAR
اللهم أنت ربي لا اله الا انت خلقني وانا عبدك، وأنا على عهدك ووعدك مااستطعت،أعوذ بك من شر ما صنعت، ابوء لك بنعمتك علي، وابوء بذنبي، فاغفرلي فإنه لا يغفروا الذنوب إلا أنت.
Allaahumma Anta Laa ilaaha illaa Anta, Kholaqtani wa anaa abdiKa, wa ana 'alaa 'ahdiKa wa wa'diKa mas tatho'tu, a'uudzu biKa min syarri maa shona'tu, abuu'u laKa binikmatiKa 'alayya, wa abuu'u bidzanbiy, faghfirliy fainnahu laa yaufirudz dzunuuba illaa Anta.
5) MAHKOTA PERLINDUNGAN
بسم الله الذي لا يضر مع اسمه شيء في الأرض ولا في السماء وهو السميع العليم.
Bismillaahil ladzii laa yadhurru ma'asmihii syai'un fil ardhi walaa fis samaa' wa Huwas Samii'ul 'Aliim
6) MAHKOTA PELEPAS BENCANA
لا اله الا انت سبحانك اني كنت من الظالمين
Laa ilaaha illaa Anta SubhaanaKa innii kuntu minadz dzoolimiin.
7) MAHKOTA PENENANG HATI
لا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم
Laa haula walaa quwwata illaa billaahil 'Aliyyil 'Adziim.
Jadikanlah Mahkota-mahkota ini selalu menghiasi kepala dan membasahi lisanmu, sebagai amalan dan senjata kita...
Mudah-mudahan dengan mengamalkan salah satu Mahkota tersebut Allah mengangkat segala cubaan, menghindari dari musibah, mengampuni dosa kesalahan, dan memasukkan kita ke dalam Syurga-NYA. Aamiin
Bagikan amalan doa ini dengan niat baik agar lebih banyak lagi orang merasakan dan mendapatkan manfaatnya dan kita tidaklah menjadi seseorang yang menyembunyikan ilmu. Kerana kita semua tidak tahu pahala mana yang akan memasukkan kita ke dalam Syurga Allah Subhaanahuu wa Ta'aala.

Saturday, August 25, 2018

ASAS AKIDAH AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA'AH

" ASAS AKIDAH AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA'AH "...
1. Akidah Ahl al-Sunnah Wa al-Jama'ah adalah akidah tanzih (iaitu menyucikan ALlah daripada segala kekurangan) iaitu tidak tasybih (menyamakan ALlah ﷻ dengan makhluk), tidak takyif (mempersoalkan bagaimanakah keadaan Dzat ALlah ﷻ seperti duduk, bertangan, bermata, bermuka, berbetis, bertempat, perbuatan naik dan turun), tidak ta'thil (menafikan ALlah ﷻ bersifat dengan segala sifat kamaalat/kesempurnaan).
2. ALlah ﷻ tidak sama dengan segala sesuatu daripada ciptaan-Nya pun, baik pada Dzat, Sifat dan Perbuatan. Sepakat para ulama' Ahl al-Sunnah Wa al-Jama'ah menghukumkan kafir ke atas mereka yang menjisimkan ALlah dan menyamakan ALlah dengan makhluk.
3. Sifat Mendengar (Samiq), Melihat (Bashar), Berkata-kata (Kalam) ALlah tidak sama dengan makhluk dan tidak boleh di-qias-kan dengan tangan, kaki, betis kerana tangan, kaki dan betis bukan sifat tetapi anggota badan yang menjisimkan ALlah ﷻ.
4. Menafikan ALlah bersifat Mendengar melazimkan sifat berlawanan iaitu pekak. Mustahil atas ALlah pekak. tetapi menafikan Allah mempunyai anggota tangan tidak melemahkan ALlah ﷻ bahkan membawa kepada kesempurnaan Dzat ALlah dan Sifat-Nya yang tidak sama dengan makhluk.
5. Persamaan pada penggunaan lafaz tetapi berbeza pada makna, itu dibenarkan kerana ALlah ﷻ menggunakan bahasa makhluk untuk menjelaskan tentang Dzat, Sifat dan Af'aal-Nya yang Maha Sempurna. Sebagai contoh; kita mengatakan ALlah Maha Besar. Ia tidak membawa makna yang ALlah itu besar daripada sudut size tetapi besar daripada sudut keagongan ALlah.
6. Ayat atau hadith mutasyabihah yang membawa makna ALlah menyerupai makhluk, maka telah sepakat ulama Salaf dan Khalaf ianya bukan makna zahir. Hal itu masih ada khilaf yang mana ada ulama masih menetapkan boleh pilih samada method menyerahkan makna kepada ALlah (tafwidh) atau memalingkan dengan makna yang layak dengan kesempurnaan ALlah (takwil). Kedua-duanya adalah methodology yang diterima di dalam aliran pemahaman dan epistimologi Ahl al-Sunnah Wa al-Jama'ah.
7. Bersalahan dengan pandangan dan pegangan golongan Mujassimah yang menetapkan makna zahir pada ayat mutasyabihah bahkan mereka melampui sehingga mengatakan maksud "tangan" ALlah pada ayat tersebut adalah sama maknanya seperti tangan kita.
8. Beriktiqad اليد dengan makna tangan anggota adalah tidak layak bagi ALlah ﷻ Yang Maha Sempurna sekalipun beralasan dengan mengatakan "tangan" ALlah ﷻ tidak sama dengan tangan makhluk, ini kerana anggota adalah zat (batang tubuh) makhluk. Ia membawa kepada pemahaman menyamakan atau menyerupakan ALlah dengan makhluk.
9. Ulama' Ahl al-Sunnah Wa al-Jama'ah sepakat menafikan ALlah ﷻ itu beranggota, menafikan Ia ﷻ diliputi oleh arah yang enam (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) dan menafikan Ia ﷻ bertempat kerana faham yang seperti ini hanya akan membawa seseorang itu kepada menjisimkan ALlah.
10. Beriktiqad yang ALlah ﷻ itu mesti bertempat, iaitu Ia ﷻ diliputi oleh masa dan arah dan beranggota dengan tangan, kaki, betis, muka membawa kepada makna menjisimkan ALlah dan ia membawa kepada kekufuran (murtad) kerana telah mensyirikkan ALlah ﷻ dengan makhluk.
Nukilan oleh;
Ustaz Mohd Al-Amin Bin Daud Al-Azhari
Akidah dan Falsafah
Universiti Al-Azhar Mesir .
Muhasabah Diri dan Teruskan Istighfar & Berselawat.
#iloverasulullah
Shollallah 'Ala Muhammad... Astaghfirullah... Innahu Kaana Ghoffaro... Ya Latiif... Ya Latiif... Ya Latiif .
اللهم صلّ وسلم على سيدنا محمد نور ك الساري ومددك الجارى واجمعني به في كل اطواري وعلى آله وصحبه يانور .
اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّم وبَارِك عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، الفاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ، والخاتِم لِمَا سَبَقَ، نَاصِرِ الحقِّ بَالحَقِّ، والهادي إلى صِرَاطِكَ المُسْتَقِيمِ، صلَّى اللهُ علَيهِ وآلِهِ وصحبِهِ، حَقَّ قَدْرِهِ ومِقْدَارِهِ العَظِيم.

Friday, August 24, 2018

Hadith akan menyesatkan melainkan ahli agama yang faqeh

Kalau sesuatu hukum itu ada disebut dalam kitab feqh, namun becanggah dengan hadith , mana yang patut diutamakan? Mohon penjelasan dari al-fadhil ustaz.
JAWAPAN
1. Perlu kita tahu bahawa hukum hakam yang disebut didalam KITAB FEQH MUKTABAR adalah hukum hakam yang diambil daripada AL-QURAN dan ASSUNNAH menurut penelitian dan kefahaman ulama muktabar.
Sebab itulah satu fitnah besar terhadap ulama muktabar apabila ada golongan yang tidak sedar diri yang jumud mengajak manusia supaya menolak feqh Imam Syafei dan sebagainya atas slogan kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah.
Jelas ini adalah satu fitnah yang besar yang dibuat oleh golongan yang tidak sedarkan diri ini terhadap ulama yang besar yang seperti Imam Syafei.
Tanpa disedari golongan ini telah menyesatkan Imam kerana dengan slogan tersebut seolah-olah feqh imam syafei menyalahi al-quran dan as-Sunnah. dari mana datangnya feqh imam syafei klu tidak dari al-quran dan as-Sunnah. insaflah wahai orang yang beraqal.
Berselisih pandangan didalam memahami nas-nas syara’ yang bersifat ZONNIY DILALAH adalah perkara biasa, tapi syaratnya adalah perselisihan tersebut lahir dan terbit dari ahlinya,
Dengan penjelasan di atas dapat kita faham bahawasanya pada hakikatnya hukum hakam yang disebut didalam kitab feqh muktabar dirujuk dan diambil dari al-quran dan hadith nabi saw melalui penelitian dan kefahaman ulama muktabar.
2. Nas-nas syara’ dari al-quran dan hadith ada yang nasikh ( menghilangkan hukum yang sebelumnyah ), ada yang mansukh ( dihilangkan hukumnya ), ada hadith yang bersifat umum, ada hadith yang bersifat khusus, ada hadith yang bersifat mutlak, ada hadith yang bersifat mukayyad, yang mana hal-hal ini bukanlah semua manusia dapat memahaminya dan mengetahuinya. Hanya ahlinya sahaja yang dapat memahami hal ini, iaitu orang yang telah melalui disiplin ilmu.
Kerana itulah kita sebagai orang awam apabila kita terjumpa atau terbaca satu hadith, kita tidak boleh terus mengambil hukum daripadanya jika kita bukan ahlinya.
Mengambil hukum terus daripada hadith oleh bukan ahlinya akan membawa kepada kesesatan.
Kata imam Sufyan bin ‘Uyainah :
الْحَدِيثُ مَضَلَّةٌ إلَّا لِلْفُقَهَاءِ
Hadith adalah tempat sesat melainkan bagi ulama fiqh.
Kata imam Abdullah bin Wahb salah seorang murid imam malik :
الحديث مضلة إلا للعلماء
Hadith adalah tempat sesat melainkan bagi ulama’.
Ini kerana untuk mengambil hukum-hakam dari nas-nas syara’ perlu melalui kaedah-kaedahnya.
Sebab itulah ulama usul dalam kitab usul feqh menyebut definisi usul feqh :
معرفَة دَلَائِل الْفِقْه إِجْمَالا، وَكَيْفِيَّة الاستفادة مِنْهَا، وَحَال المستفيد.
Mengetahui dalil-dalil fiqh secara ijmal, cara memanfaatkan dalil tersebut, dan keadaan orang yang memanfaatkan dalil.
[ نهاية السول 1/10 ]
(1) Tahu dalil-dalil fiqh secarab ijmal.
(2) Cara berdalil dengannya.
(3) Keadaan orang yang memanfaatkan dalil.
Tahu dalil-dalil sahaja masih lagi belum mencukupi, bahkan perlu pula tahu cara memahami dalil dan cara memanfaatkannya. Sebab itulah dalam hadith Abi Umamah nabi saw bersabda :
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َأَنَّهُ قَال َ: خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ . قَالُوا: وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، وَفِينَا كِتَابُ اللَّهِ؟ قَالَ: فَغَضِبَ، ثُمَّ قَالَ: ثَكِلَتْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ أَوَلَمْ تَكُنِ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ، فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمْ شَيْئًا ؟. إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ، إِنَّ ذَهَاب
َ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ.
Daripada Abi Umamah, daripada Rasulullah saw, bahawasanya baginda saw bersabda : “Ambillah ilmu itu sebelum ia hilang”. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana hilangnya ilmu itu, sementara al-Quran masih lagi ada bersama kami?”, kata abu Umamah : ” rasulullah saw marah ” lalu rasulullah saw bersabda ” semoga ibu kamu kehilangan kamu, Bukankah telah adanya kitab Taurat dan Injil di tangan Bani Israil, akan tetapi kedua kitab itu tidak dapat memberi manfaat kepada mereka sedikit pun?. Sesungguhnya hilangnya ilmu itu adalah disebabkan hilangnya para ahli ilmu (ulama). Sesungguhnya hilangnya ilmu itu adalah dengan cara hilangnya para ulama.
[ HR ad-Darimi no.246 ( hadith hasan dengan syawahidnya) ]
Hadith diatas memberi maksud ada al-quran masih lagi belum mencukupi, bahkan perlu ada ulama yang yang tahu cara mengambil hukum daripada al-quran itu sendiri .
ALLAH Taala berfirman :,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ .
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
( An-Nahl: 43 )
3. Apabila kita jumpa satu hadith yang menyebut satu hukum, tiba-tiba kita dapati dalam kitab fiqh mazhab syafei hukumnya bercanggah pada zahirnya dengan apa yang disebut dalam hadith tersebut maka dalam situasi ini kita perlu rujuk kepada ahlinya untuk kita tahu bagaimana untuk memahami hadith tersebut , jangan sekali-kali kita mengguna kejahilan kita lalu secara melalu kita menghukum apa yang disebut dalam fiqh mazhab syafie itu salah.
Sebagai contoh :
Dalam kitab feqh mazhab Syafei, Maliki dan Hanafi ada menyebut berbekam tidak membatalkan puasa , sedangkan ada hadith menyebut :
أفطر الحاجم والمحجوم.
Batal puasa tukang bekam dan orang yang berbekam.
[ HR Ahmad, Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibnu Majah ]
Apabila diruju’ kepada Ulama-ulama mazhab Syafei, Maliki dan Hanafi ternyata bukan mereka tidak tahu tentang hadith diatas. bagaimana boleh mereka tidak mengetahuinya sedangkan didalam setiap mazhab itu ada beratus-ratus ulama hadith. akan tetapi mereka melihat kepada hadith-hadith lain , antaranya :
َعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم : احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ, وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ.
Dari Ibni Abbas r.anhuma bahawasanya Nabi saw berbekam semasa ihram dan Nabi saw berbekam semasa baginda saw berpuasa.
[ HR Al-Bukhari dalam sahihnya ]
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : رخَّص رسول الله صلى الله عليه وسلم في القُبلة للصائم والحجامة.
Dari abi sa’id Al-khudriy r.a. beliau berkata : ” Rasulullah saw membenarkan cium (isteri) dan berbekam bagi orang yang berpuasa”.
[ HR Ad-Darqutni 2/183, dan beliau berkata : ” Perawinya semuanya thiqah”. ]
Bermaknanya ulama-ulama diatas berpendapat Hadith yang menyebut batal puasa dengan berbekam dinasakhkan hukumnya oleh hadith ibni abbas dan Abi Sa’id Al-khudriy :
Berkata ibnu Abdil Barr didalam kitab الاستذكار juz.10 hlm.125 :
والقول عندي في هذه الأحاديث أن حديث ابن عباس : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم احتجم صائماً محرماً، ناسخ لقوله : أفطر الحاجم والمحجوم …
Pandangan aku berkenaan hadith-hadith ini bahawasanya hadith ibni Abbas “rasulullah saw berbekam sedangkan baginda sedang berpuasa dan sedang ihram” ia menasakhkan sabda nabi saw “tukang bekam dan orang yang dibekam batal puasanya”.
KESIMPULAN
Sekiranya ada sesuatu hukum itu disebut dalam kitab muktabar berbeza dengan apa yang disebut didalam hadith nabi saw maka kita sebagai orang awam perlu medahulukan hukum yang disebut didalam kitab fiqh muktabar melalui huraian guru , berbanding dengan hadith yang hanya kita ambil dari terjemahannya sahaja , ini bukan bermakna kita menolak hadith, tetapi ia memberi maksud kita menyerahkan huraian hadith tersebut kepada ahlinya.
Untuk meyakinkan lagi huraian hadith tersebut caranya adalah berjumpa dan bertanyakan ulama muktabar yang pernah melalui disiplin ilmu yang mempunyai sanad yang bersambung kepada ulama ulama mazhab syafie.
Jangan kita bertanya kepada golongan yang tidak pernah melalui disiplin ilmu feqh, disiplin ilmu usul feqh, dan golongan yang tidak melalui pengajian ilmu hadith secara dirayah daripada ulama muktabar yang mempunyai sanad yang bersambung sampai kepada Rasulullah saw.
Ini kerana golongan yang banyak membaca akan tetapi tidak duduk bertalaqi dari ulama yang mempunyai sanad yang bersambung sampai kepada ulama-ulama muktabar sehingga kepada Rasulullah saw ia tidak mempunyai nasab ilmu, sebab itulah dalam hati mereka tidak mempunyai perasaan sifat belas kasihan terhadap nenek moyang pada sudut ilmu, kerana mereka tidak mempunyai nasab keturunan ilmu, maka kita tidak hairanlah akhlaknya buruk dan tidak beradab terhadap ulama-ulama dahulu.
والله أعلم بالصواب
أكتب ما ترون وأستغفر الله العظيم لي ولكم
أبو أسامة محمد حنفية الشافعي الدمشقي
مدير مركز الدراسات الإسلامية
ببوكيت كيجغ كماسيك ترنجانو

fitrah islami

Wednesday, August 22, 2018

Campur Aduk Antara Mazhab

Campur Aduk Antara Mazhab

Salam

1) Bolehkah kita mencampur aduk mazhab seperti contohnya, kita ambil wuduk cara syafei, batal wuduk cara hanafi dll.

2) bolehkah kita mengambil pendapat yang paling mudah dalam semua masalah sehingga tercampur semua pendapat2 mazhab.

_________________

بسم الله
والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد

1) Seseorang muqallid yang mencampur aduk pendapat beberapa mazhab dalam satu masalah yang mempunyai beberapa cabang yang berkait, dinamakan sebagai talfiq.

Majmak Feqah Islamiy dalam persidangannya pada tahun 1414H di Brunei, membuat ketetapan bahawa talfiq dilarang dalam situasi berikut:

- untuk mengambil pendapat yang mudah semata-mata kerana hawa nafsu, atau menyebabkan terabai prinsip yang digariskan untuk mengamalkan rukhsah.
- menyebabkan ia berlawanan dengan hukum qadha'.
- menyebabkan berlawanan dengan suatu yang telah diamalkan secara taqlid, dalam satu-satu kes.
- menyebabkan berlawanan dengan ijmak.
- menyebabkan terjadinya satu keadaan campur aduk yang tidak pernah dipersetujui oleh mana-mana mujtahid pun.

Adapun mengikut beberapa mazhab kerana melihat kepada kekuatan dalil, dengan tidak membawa kepada talfiq, bukan satu kesalahan.

2- Berkenaan mengambil pendapat yang paling mudah dalam semua masalah, ia jelas ditegah.

Dalam kitab 'Jamik Bayan al-Ilm Wa Fadhlih' karya Ibn Abdil Barr, dinukilkan kata-kata Sulaiman al-Taimiy, "Jika kamu mengambil pendapat mudah dari setiap orang alim, maka terhimpunlah segala keburukan pada kamu". (2/91).

Kemudian, Ibn Abdil Barr membuat komentar, "Perkara ini adalah ijmak yang aku tidak mengetahui ada perselisihan padanya".

Wallahu A'lam.












Rujuk juga 

Baba Ismail Sepanjang - Hukum Bermazhab - Part 1







http://www.addeen.my/index.php/pelajar/tips/item/1242-hukum-pindah-mazhab

​MENJAWAB TOHMAHAN GOLONGAN YANG ANTI BERMAZHAB

​MENJAWAB TOHMAHAN GOLONGAN  YANG ANTI BERMAZHAB

Golongan Wahhabi sering menimbulkan syak keraguan bagi yang ingin bermazhab khasnya mazhab al-Shafie di Malaysia ini dengan menyatakan ia adalah seolah-olah bertentangan dengan mazhab para sahabat r.a.
Mereka sering mewar-warkan bahawa kita perlu ikut al-Quran dan al-Sunnah sahaja. Pernyataan mereka ini seolah2 mereka sahajalah yang ingin mengikut al-Quran dan al-Sunnah.
Pernyataan mereka ini juga bermaksud bahawa mengikut mazhab itu bererti tidak mengikut al-Quran dan al-Sunnah? Bahkan, lebih jauh lagi, mereka kata tak perlu ikut mazhab, tapi ikut dalil, sedangkan mereka pun orang awam yang sedang bercakap dengan orang awam.
Apabila seseorang berkata bahawa dia bermazhab al-Shafie, maka mereka cuba mengenengahkan soalan yang menimbulkan syak seperti:
“Kalau anda bermazhab al-Shafie, Saidina Umar al-Khattab r.a. itu bermazhab apa?”
Mereka berlagak seolah-olah merekalah yang mempertahankan Saidina Umar al-Khattab r.a., padahal dalam bab solat tarawih 20 rakaat mereka tidak pula mempertahankan mazhab Umar al-Khattab r.a.? Maka umat Islam masyarakat awam perlu berwaspada dengan sikap berpura-pura ini.
ANTARA ALASAN WAHHABI  ANTI MAZHAB
1. Rasulullah saw tidak pernah menyuruh kita untuk bermadzhab bahkan menyuruh kita mengikuti sunnahnya.
2. al-Qur`an dan Sunnah sudah cukup menjadi dalil dan hukum sehingga tidak di perlukan lagi Madzhab-madzhab.
3. Mazhab-mazhab itu adalah bidaah kerana tidak ada pada zaman Rasul.
4. Seluruh ulama Mazhab seperti Imam Syafi`i melarang orang-orang mengikuti mereka dalam hukum.
5. Bermazhab dengan mazhab tertentu bererti telah menolak sunnah Nabi Muhammad SAW.
6. Pada Zaman sekarang sudah semestinya kita berijtihad kerana dihadapan kita telah banyak kitab-kitab hadits, Fiqih, ulumul Hadits dan lain-lain, kesemuanya itu mudah didapati.
7.  Para Ulama Mazhab adalah manusia biasa, bukan seorang nabi yang maksum dari kesalahan, semestinya kita berpegang kepada yang tidak maksum yaitu hadits-hadits Rasulullah.
8. Setiap hadits yang shahih wajib diamalkan, tidak boleh menyalahinya dengan mengikuti pendapat ulama madzhab.

HAKIKAT SEBENAR BERMAZHAB

Mengikut mazhab yang empat pada hakikatnya mengikut mazhab para sahabat dan tabien kerana ulama’ mazhab empat merupakan pendokong mazhab para sahabat dan tabien yang mengikut sunnnah Rasulullah SAW.
Mazhab ini dibenarkan oleh ulama-ulama untuk diikuti kerana beberapa sebab :
1 – Mazhab ini disebarkan turun-temurun dengan secara mutawatir.
2 – Mazhab ini di turunkan dengan sanad yang Sahih dan dapat dipegang .
3 – Mazhab ini telah dibukukan sehingga aman dari penipuan dan perubahan .
4 – Mazhab ini berdasarkan al-Quran dan al-Hadits, selainnya para empat madzhab berbeza pendapat dalam menentukan dasar-dasar sumber dan pegangan .
5 – Ijmaknya ulama Ahlus Sunnah dalam mengamalkan empat mazhab tersebut.
KEFAHAMAN DAN HUJAH KENAPA PERLU BERMAZHAB?
Sejauh manakah masyarakat awam pada hari ini khususnya di Malaysia, mampu mengamalkan taqlid kepada mazhab.
Pandangan  Syeikh Hasnain Muhammad Makhluf menyimpulkan ia menjadi alasan mengapa popular di kalangan ulama ungkapan “al-‘ami la mazhaba lahu” bermakna “orang awam tiada mazhab baginya”.
Lalu beliau menukilkan pendapat dari kitab al-Bahr di dalam bab ‘Qadha’ al-Fawait’ yang menyebut, “…dan sekiranya seorang awam tiada baginya mazhab tertentu, maka mazhabnya ialah fatwa muftinya,malah jika dia tidak meminta fatwa sesiapa pun tetapi sesuai amalannya itu dengan mana-mana mazhab mujtahid, ia sudah memadai”.
Kenyataan di atas jelas menunjukkan bukan mudah untuk seseorang mengakui
dirinya bermazhab. Sekurang-kurangnya seorang penganut mazhab itu mengetahui hukum-hakam furu‘ yang difatwakan menurut mazhab anutannya.
Namun di peringkat orang awam, ramai di kalangan mereka sendiri tidak mampu untuk menguasai perkara ini. Kebanyakan awam hanya sekadar bertanya kepada mana mana guru yang dipercayainya setiap kali bertembung dengan masalah-masalah furu‘ tertentu di dalam kehidupannya.
Perbahasan ini sengaja dibentangkan di sini supaya golongan anti mazhab memahami dan akur bahawa mengikuti mazhab bukanlah mudah seperti yang disangka. Ia bukan taqlid membabi buta. Ia juga bukan bererti sengaja membelakangkan al-Qur’an dan al-Sunnah kerana mendewakan imam dan mazhab.
Sebaliknya ia adalah soal kemampuan dan keupayaan seseorang awam. Sekiranya soal bermazhab sendiri tidak mampu ditunaikan sepenuhnya oleh seorang awam, bagaimana mungkin golongan ini dibebankan pula dengan perintah supaya mengambil hukum secara langsung daripada al-Qur’an dan al-Sunnah? Mampukah mereka?
Oleh itu mengajak masyarakat untuk meninggalkan mazhab atas alasan kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah adalah suatu usaha yang jahil malah sia-sia. Mazhab seharusnya difahami sebagai sebuah disiplin ilmu (manhaj) untuk kita memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. 
Di Malaysia, kita berpegang kepada mazhab Syafi’e khususnya dalam bab ibadat dan munakahat atau disebut juga fardhu ’ain.
Namun dalam bidang-bidang lain seperti mu’amalat, jinayat, kehakiman dan perundangan serta isu-isu kontemporari, jelas menunjukkan kerajaan dan umat Islam tidak terikat hanya kepada mazhab Syafi’i.
Oleh itu tuduhan bahawa umat Islam di Malaysia mewajibkan berpegang kepada satu mazhab dalam kesemua masalah adalah tidak benar.
Berpegang kepada mazhab Syafi’e dalam bab fardhu ’ain sepertimana yang diamalkan sekarang bukanlah bermakna kita menolak pandangan mazhab-mazhab lain. Pendirian ini dipegang hanyalah berdasarkan ketidakmampuan seseorang untuk beramal dalam ibadatnya. Sememangnya hukum asal berpegang kepada mazhab itu tidak wajib.
Namun bagi selain mujtahid, beramal dengan fatwa mujtahid (mazhab) adalah wajib memandangkan tiada lagi jalan lain untuk mengetahui hukum syara‘ melainkan dengan mengikuti mazhab.
Dalam hal yang sama, seseorang awam itu juga tidak mampu untuk melakukan tarjih iaitu menilai pendapat atau dalil yang terkuat antara mazhab. Ketidakmampuan itu memerlukannya untuk berpegang kepada mazhab yang dianutinya sahaja.
Setiap individu atau negara dikatakan bermazhab dengan sesuatu mazhab tertentu kerana ia menerima pakai atau bertaqlid kepada mazhab tersebut. Oleh itu bermazhab adalah membawa maksud bertaqlid kepada mazhab yang dipegangi.
Perkataan bermazhab (mazhabiyyah) sebagaimana yang ditakrifkan oleh Said Ramdhan al Buti ialah membawa maksud seseorang awam atau orang yang tidak sampai ke tahap mujtahid berpegang atau mengikut (taqlid) mana-mana aliran Imam Mujtahid samada dia berpegang dengan seorang mujtahid sahaja atau bepindah-pindah antara satu mujtahid ke mujtahid yang lain dalam ikutannya itu.
Dalam pengajian usul fiqh kedudukan bertaqlid yang boleh dikategorikan kepada tiga pandangan:
(1) Tidak harus bertaqlid sama sekali. Wajib ke atas setiap mukallaf berijtihad sendiri mengenai urusan agamanya dan beramal berasaskan ijtihadnya.Pandangan golongan Zahiri dan Muktazilah.
(2) Bertaqlid adalah wajib ke atas semua mukallaf selepas zaman imam-imam mujtahidin.Pandangan Hasyawiyyah.
(3) IJTIHAD adalah tidak dilarang manakala TAQLID adalah haram ke atas para mujtahid. Manakala orang awam yang tidak berkeahlian berijtihad sekalipun seorang yang alim adalah WAJIB BERTAQLID.
Pandangan ini merupakan pandangan JUMHUR ULAMAK dan inilah pandangan yang ditarjihkan oleh kebanyakan ulama semasa.
Bertaqlid bagi orang awam bukanlah suatu yang diluar prinsip syara’ tetapi suatu keperluan baginya yang selaras dengan kehendak syara’ . Sebagai seorang Muslim tidak semuanya mampu memahami tentang agama.
Malah ia perlu berpandukan kepada para ulama untuk memahami nas-nas syara’. Justeru itulah manusia diwajibkan bermazhab sebagai beramal dengan ayat Al Quran yang menyuruh umat Islam bertanya kepada ahli al zikr (orang yang tahu) sekiranya mereka tidak mengetahui.
Keharusan bertaqlid mestilah dalam kerangka yang telah disepakati oleh para ulama.Dalam persoalan taqlid, tidak ada nas syara’ yang menyuruh supaya berpegang kepada mazhab secara berterusan sebagaimana juga tidak ada nas syara’ yang melarang berpindah mazhab.
Dalam konteks ini syeikh al Buti menegaskan ketiadaan nas yang menyuruh beriltizam dengan mazhab tertentu bukan pula bererti haram beriltizam dengan mazhab kerana tidak wajib bukannya bermaksud haram.

Berkata Syeikh Prof Dr Yusof al-Qardhawi:

Ada golongan yang memerangi konsep bermazhab, memerangi mazhab fiqh dengan melarang walaupun daripada golongan awam untuk bertaqlid. Pada masa yang sama mereka bertaqlid dengan pandangan guru mereka maka jadilah mazhab yang kelima.
Namun Islam tidak pernah menutup terus pintu ijtihad bagi sesiapa sahaja yang telah mencapai tahap ulama mujtahid dengan syarat-syarat yang amat ketat. 

JAWAPAN  KEPADA GOLONGAN YG TIDAK MAHU BERMAZHAB/ANTI MAZHAB
Syeikh al-Allamah Ali Jumaah hafizahullah ada menyebutkan beberapa tohmahan yang diberikan oleh golongan yang tidak mahu bermazhab.Antaranya ialah:
TOHMAHAN PERTAMA
Dalil yang wajib kita ikuti ialah al-Quran dan Sunnah bukannya pendapat para ulama mazhab.

JAWAPAN

Apa yang disebutkan oleh golongan sebegini juga sebenarnya sudah menyalahi maksud sebenar dalil. Dalil bukanlah hanya semata-mata al-Quran dan Sunnah.
Ijma’, Qiyas, Istihsan, Uruf, dan lain-lain juga merupakan dalil yang digunakan oleh para ulama.Golongan yang memahami bahawa dalil hanyalah al-Quran dan Sunnah sebenarnya telah menyempitkan kefahaman tentang dalil itu sendiri. Al-Quran dan Sunnah adalah sumber pengambilan hukum yang dilakukan oleh seseorang mujtahid tersebut.
Pendapat para ulama mazhab pula bukanlah menyalahi dan membelakangi al-Quran dan Sunnah itu sendiri, malah pendapat yang dikeluarkan oleh mereka merupakan hasil àà kefahaman mereka tentang sesuatu ayat dan hadis tersebut.
Berpegang dengan pendapat para ulama mazhab bukanlah bermaksud meninggalkan kalam Allah dan RasulNya, bahkan jika kita berpegang dengan pendapat para ulama mazhab maka secara langsung kita telah berpegang dengan al-Quran dan Sunnah. Ini kerana para ulama mazhab lebih mengetahui tentang syarat pengambilan hukum dan sebagainya berbanding kita.

TOHMAHAN KEDUA

Kami melihat seseorang yang bertaqlid kepada seorang imam tersebut tidak akan meninggalkan mazhabnya walaupun dia menjumpai sebuah hadis yang bercanggah dengan pendapat imam tersebut. Ini seolah-olah mendahului pendapat imam lebih daripada Allah dan RasulNya.

JAWAPAN

Al-Imam Kairanawi rahimahullah menyebutkan di dalam kitabnya فو ائد في علوم الفقه :
“Pendapat sebegini keluar berdasarkan sangkaan yang salah dan pegangan yang batil iaitu mengatakan bahawa pendapat imam didahulukan berbanding kalam Allah dan RasulNya.
Bilamana kita melihat berlakunya perbezaan di antara zahir kalam Allah dan RasulNya dengan pendapat Ulama Mazhab , dua perkara pokok yang penting perlu diperhatikan:

Pertama
: Kita mengetahui tentang maksud sebenar kalam Allah dan RasulNya.

Kedua
: Kita mengetahui bahawa Kalam Allah dan RasulNya bertentang dengan pendapat Imam Mazhab.
Jika kita memerhatikan kedua-dua perkara di atas dengan teliti maka kita menyedari bahawa kedua-dua perkara tersebut tidak terdapat pada seorang Muqallid(orang yang mengikut mazhab dan tidak sampai kepada tahap mujtahid).
Ini kerana ilmu sebegini memerlukan kepada pencarian dalil. Muqallid hakikatnya tidak mampu untuk melakukan sedemikian. Jika hakikatnya sedemikian, bagaimana mungkin seorang muqallid tersebut boleh menghukumkan bahawa Imamnya telah menyalahi hukum yang diletakkan Allah dan RasulNya?.
Kesimpulannya seorang muqallid tersebut tidak meninggalkan pendapat imamnya yang bersalahan dengan zahir Hadis dan sebagainya bukanlah kerana dia (muqallid) mengatakan bahawa pendapat Imam tersebut lebih benar daripada Kalam Allah dan RasulNya kerana dia sendiri tidak pasti adakah benar-benar Imam tersebut menyalahi Allah dan RasulNya.

TOHMAHAN KETIGA

Mengikut pendapat para ulama mazhab sendiri sebenarnya telah menyalahi apa yang ditunjukkan oleh mereka(Imam-imam mazhab).
Mereka sendiri melarang mengikut pendapat mereka.
Lebih-lebih lagi jika pendapat mereka bersalahan dengan hadis sahih.Jelas di sebut oleh para ulama Mazhab: إذا صح الحديث فهو مذهبي maksudnya: (Jika sah sesebuah hadis tersebut maka itulah mazhabku)

JAWAPAN

Dakwaan yang mengatakan bahawa para ulama mazhab melarang untuk mengikut mazhab adalah satu dakwaan yang ternyata salah dan sesat. Tiada seorang ulama mazhab pun mengatakan sedemikian. Kalau mereka benar-benar mengatakan demikian, maka mengikut kepada pendapat Para Imam (supaya tidak bertaqlid dengan mereka) juga hakikatnya adalah taqlid itu sendiri( dalam keadaan tidak sedar).
Kamu mengatakan tidak boleh mengikut pendapat Imam Mazhab,tiba-tiba kamu mengikut juga salah satu pendapat mereka (iaitu supaya tidak bertaqlid) maka hakikatnya kamu juga bertaqlid.Bagaimana boleh dilarang taqlid sedangkan kamu sendiri bertaqlid dalam keadaan kamu tidak sedar?
Ini jelas berlaku pertentangan di dalam pendapat kamu sendiri.(Sekejap mengatakan tidak boleh taqlid kemudian dalam masa yang sama kamu juga bertaqlid dengan pendapat Imam tersebut).

KESIMPULAN

1. Amalan bermazhab adalah keperluan dan tidak boleh diganggu gugat dengan aliran tidak bermazhab kerana ianya akan menimbulkan byk masalah.Mengatakan ijtihad itu wajib dan taqlid itu haram. Masyarakat yang harmoni pada suatu ketika dahulu menjadi riuh rendah dan kacau-bilau pada hari ini dengan isu-isu mereka yang celaru.
2. Bermazhab adalah harus bahkan wajib bagi orang awam atau umat islam mengikuti salah satu empat mazhab yang muktabar iaitu Mazhab Syafi’i,  Maliki, Hanafi dan Hambali.
3. Jangan pula menganggap bahawa bila seseorang mengikut salah satu daripada empat mazhab tadi, maka dia tidak mengikut Al Quran dan Hadis. Kerana keempat-empat Imam Mazhab tersebut telah pun mengikut Al Quran dan Hadis. Mereka mengistinbatkan hukum atau mengeluarkan hukum daripada Al Quran dan Hadis. Ini memberi erti mereka mengikut Al Quran dan Hadis.
4.Perawi-perawi Hadis seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tarmizi dan lain-lain lagi, walaupun mereka mengumpulkan dan menilai Hadis tetapi dari segi kefahaman atau dalam mengeluarkan hukum, mereka juga bersandar dengan Imam-Imam Mazhab.Umpamanya Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Tarmizi adalah bermazhab Syafi’i.
5. Sudah menjadi Sunnatullah, orang yang jahil tentang ilmu Islam lebih ramai daripada orang alim. Dalam keadaan ini, apakah patut dipaksa semua orang awam mengkaji dan menggali sendiri Al Quran dan Hadis? Minta mereka berijtihad sendiri tanpa bersandar dengan mana-mana ulama mujtahidin.
Sampai bila pun mereka tidak akan dapat beramal dengan ajaran Islam. Tidak mungkin orang awam seperti kita hendak diajak berijtihad sedangkan ulama yang ada sekarang pun tidak boleh berijtihad.
6. Rasulullah SAW ada bersabda:
Berselisih faham di kalangan umatku itu adalah rahmat. (Riwayat Al Baihaqi)
Hadis ini membuktikan bermazhab itu dibenarkan. Ertinya timbulnya mazhab itu oleh kerana adanya ulama-ulama yang mampu berijtihad. Maka terjadilah berlainan pendapat. Berselisih faham di sini adalah berselisih faham tentang furu’iyah (soal-soal feqah) bukan usuliyah (soal aqidah atau dasar).
Berselisih faham dalam soal hukum-hukum furu’iyah hingga menimbulkan bermacam-macam aliran mazhab feqah adalah mendatangkan rahmat. Orang awam macam kita ini boleh mengikut sesiapa saja yang kita sukai, di mana kita rasa sesuai. Maknanya, ada alternatif untuk orang awam.
7. Kalaulah kita hendak menyuruh semua manusia ini sama ada yang alimnya mahupun yang awamnya supaya tidak bermazhab iaitu setiap orang diminta berijtihad mengeluarkan hukum-hukum daripada Al Quran dan Hadis, jangan bersandar dengan mana-mana imam, maka pasti ramai yang sesat.Oleh itu lebih selamat kita mengikut mana-mana mazhab yang muktabar itu.
8. Orang-orang yang mengajak untuk tidak bermazhab ini adalah ulama-ulama mutaakhirin.Bermula daripada Ibnu Taimiyah yang hidup lebih kurang 700 tahun yang lalu. Dia bukan ulama yang berada sekitar 300 tahun selepas Rasulullah SAW. Kemudian fahamannya disambung oleh muridnya yang bemama Ibnu Qayyim, Al Jauzi hinggalah ulama di kurun kedua puluh ini seperti Muhamad Abduh, Jamaluddin Al Afghani, Rashid Redha,dll lagi.
Mereka ini hidup di luar daripada lingkungan 300 tahun selepas Rasulullah SAW
Sedangkan ulama-ulama mazhab yang disebutkan tadi, hidup dalam lingkungan 300 tahun selepas Rasulullah. Ertinya mereka dari kalangan salafussoleh. Ulama yang mengajak “jangan bermazhab” ini ialah ulama Mutaakhirin. Fahaman mereka menjadi bertambah popular terutamanya apabila  munculnya gerakan Muhammad Abdul Wahab
9. Walaupun ada orang yang menganjurkan tidak perlu ikut mazhab, cukup hanya ikut Al Quran dan Hadis sahaja, tetapi pada hakikatnya semua orang bermazhab, sama ada dia mengaku atau tidak. Kerana golongan yang tidak mahu bermazhab itu bukan semuanya ulama. Maka mereka terpaksa bersandar dengan mana-mana ulama yang juga menolak mazhab. Maka ulama tempat mereka bersandar itulah sebenarnya imam mazhab mereka.
10. Berpegang dengan nas yang maksum yang diwahyukan dari Allah Taala tetapi kefahaman anda terhadap nas tersebut bukanlah wahyu apatah lagi maksum, kalian hanya berpendapat berdasarkan zahir nas sahaja.
Mendakwa boleh berijtihad oleh seseorang yang tidak berkelayakkan merupakan seburuk-buruk perkara dan kerosakkan yang paling merbahaya mengancam syariat Islam pada masa kini.
Oleh Ustaz Yunan A Samad

https://fitrahislami.wordpress.com/2017/09/18/%E2%80%8Bmenjawab-tohmahan-golongan-yang-anti-bermazhab/

Campur aduk antara mazhab

Campur Aduk Antara Mazhab

Salam

1) Bolehkah kita mencampur aduk mazhab seperti contohnya, kita ambil wuduk cara syafei, batal wuduk cara hanafi dll.

2) bolehkah kita mengambil pendapat yang paling mudah dalam semua masalah sehingga tercampur semua pendapat2 mazhab.

_________________

بسم الله
والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد

1) Seseorang muqallid yang mencampur aduk pendapat beberapa mazhab dalam satu masalah yang mempunyai beberapa cabang yang berkait, dinamakan sebagai talfiq.

Majmak Feqah Islamiy dalam persidangannya pada tahun 1414H di Brunei, membuat ketetapan bahawa talfiq dilarang dalam situasi berikut:

- untuk mengambil pendapat yang mudah semata-mata kerana hawa nafsu, atau menyebabkan terabai prinsip yang digariskan untuk mengamalkan rukhsah.
- menyebabkan ia berlawanan dengan hukum qadha'.
- menyebabkan berlawanan dengan suatu yang telah diamalkan secara taqlid, dalam satu-satu kes.
- menyebabkan berlawanan dengan ijmak.
- menyebabkan terjadinya satu keadaan campur aduk yang tidak pernah dipersetujui oleh mana-mana mujtahid pun.

Adapun mengikut beberapa mazhab kerana melihat kepada kekuatan dalil, dengan tidak membawa kepada talfiq, bukan satu kesalahan.

2- Berkenaan mengambil pendapat yang paling mudah dalam semua masalah, ia jelas ditegah.

Dalam kitab 'Jamik Bayan al-Ilm Wa Fadhlih' karya Ibn Abdil Barr, dinukilkan kata-kata Sulaiman al-Taimiy, "Jika kamu mengambil pendapat mudah dari setiap orang alim, maka terhimpunlah segala keburukan pada kamu". (2/91).

Kemudian, Ibn Abdil Barr membuat komentar, "Perkara ini adalah ijmak yang aku tidak mengetahui ada perselisihan padanya".





Wallahu A'lam.


Hukum Pindah Mazhab Apabila orang awam berpegang kepada suatu mazhab (mengikut muftinya), maka diwajibkan bersesuaian dengannya. Kalau tidak, maka diwajibkan mengikuti salah satu mazhab yang tertentu di antara 4 mazhab (Hanafi, Maliki, Syafie, Hanbali), bukan yang lain. 

Kemudian, jika telah mengamalkan mazhab pertama, maka ia diperbolehkan pindah ke mazhab yang lain secara keseluruhan atau dalam beberapa masalah, dengan syarat tidak memilih-milih perkara yang ringan dari setiap mazhab (tatabbu' al-rukhas) yang dengan tindakannya itu akan dihukumkan fasik (berdosa), menurut beberapa wajah. Demikian sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Fathul Mu'in.

 Menurut penyusun kitab Fathul Mu'in lagi, antara contoh-contoh pengamalan dua mazhab ialah, apabila seorang lelaki berwuduk dan menyentuh kulit wanita sebagai taklid (mengikut) mazhab Hanafi, lalu ia berbekam sebagai taklid mazhab Syafie, kemudian solat, maka solatnya tidak sah (batal), kerana adanya kesepakatan dua Imam tersebut pada batalnya wuduk.

 Demikian pula apabila wuduk dan menyentuh kulit wanita tanpa syahwat sebagai mengikut mazhab Imam Malik (Maliki) dan tidak menggosok ketika berwuduk sebagai taklid kepada mazhab Syafie, kemudian solat, maka solatnya batal, kerana kesepakatan 2 imam pada batalnya wuduk orang tersebut. 

Lain halnya apabila penggabungan itu terjadi pada 2 penerapan dalam ibadah, maka yang zahir bahawa hal itu tidak merosakkan sahnya taklid (tersebut), contohnya seperti seseorang berwuduk dengan mengusap sebahagian kepalanya (mengikut mazhab Syafie) kemudian solat dengan menghadap arah-arah Kaabah sebagai taklid kepada Abu Hanifah (Mazhab Hanafi), maka yang zahirnya solat itu tetap sah, kerana kedua imam tersebut tidak sepakat dalam menghukumi batalnya wuduk orang itu. Sebahagian orang tertanya-tanya tentang hukum pindah mazhab.

 Sebelum mereka mendapat jawapan bagi hukum tersebut, maka terlebih dahulu mereka mesti menjawab soalan ini, "Bolehkah anda pindah sekolah?". Jawapannya adalah ya, boleh. Begitulah jawapan bagi persoalan pindah mazhab. Namun, hendaklah ia mengikuti salah satu mazhab tertentu yang telah masyhur dalam kalangan Ahli Sunnah wal Jamaah (Hanafi, Maliki, Syafie atau Hanbali). Setiap sekolah mempunyai metod tersendiri dalam pelajaran, jika ia tidak mengikuti metod yang telah ditetapkan tersebut, maka ia tidak dinilai lulus dalam sekolah itu. 

Begitu juga dengan mazhab, jika seseorang bermazhab Maliki, namun ia tidak menerima pendapat ahli Madinah, maka ia tidak dikira lulus dalam mazhab tersebut, adalah lebih baik pindah sekolah atau mazhab kepada Syafie, yang tidak menggunakan pendapat ahli Madinah sebagai sumber hukum yang dapat berdiri dengan sendiri.