MENJAWAB PENDUSTAAN WAHABI (FIRANDA) DALAM ARTIKELNYA “ASWAJA SUFI MENIRU-NIRU SYIAH..?? ATAUKAH SEBALIKNYA..??!!”
Orang-orang Salafi-Wahabi memang benar-benar bodoh.
Misalnya, salah seorang ustadz mereka, Firanda Andirja, menulis artikel berjudul “ASWAJA Sufi Meniru-niru Syiah ataukah sebaliknya?” Dalam tulisan tersebut, jelas sekali kebodohannya. Berikut tanggapan terhadap artikel tersebut dalam format dialog:
WAHABI: “Sungguh kita menemukan permusuhan yang sangat sengit dari kaum syi'ah dan aswaja imitasi (baca : sufi) terhadap aswaja asli (baca : salafy atau yang dinamakan oleh kaum sufi sebagai wahabi). Seakan-akan musuh mereka hanyalah kaum wahabi. Ada apa gerangan antara Syi'ah dan Aswaja, kenapa sama-sama bersepakat memusuhi kaum wahabi..??!!”
SUNNI: “Itu kerana Anda bodoh wahai Wahabi. Kaum shufi adalah golongan terbaik Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Sedangkan Wahabi termasuk bagian dari Khawarij, bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kalaupun Wahabi mengaku ASWAJA, itu imitasi. Sedangkan Syiah juga aliran sesat, bahkan lebih sesat dari Wahabi wahai Wahabi. Jadi sangat bodoh, kalau Anda beranggapan bahwa kaum shufi bergandengan tangan dengan Syiah dalam memusuhi Wahabi. Memang ajaran kaum shufi ada yang sama dengan syiah, tapi bukan bererti itu salah. Yang salah adalah, ajaran Wahabi yang berbeza dengan kaum shufi dan syiah, seperti dalam bahasan artikel Anda.”
WAHABI: “Ada kesamaan antara dua kelompok ini (SHUFI DAN SYIAH), terutama dalam peribadatan kepada penghuni kuburan dan para wali !!!”
SUNNI: “Umat Islam, baik kaum shufi maupun syiah, tidak beribadah kepada penghuni kuburan dan para wali. Mereka hanya bertabaruk, bertawasul dan beristighatsah dengan para nabi dan wali yang sudah wafat. Hal ini tidak boleh dikatakan ibadah wahai Wahabi. Kerana yang dinamakan ibadah menurut para ahli bahasa adalah:
Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin al-Sari al-Zajjaj (241-311 H/855-924 M) – pakar bahasa Arab dan tafsir– berkata:
الْعِبَادَةُ فِيْ لُغَةِ الْعَرَبِ الطَّاعَةُ مَعَ الْخُضُوْعِ.
“Ibadah dalam bahasa Arab adalah ketundukan yang disertai kerendahan diri kepada Allah”.
Al-Imam Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad bin Mufadhdhal yang dikenal dengan al-Raghib al-Ashfihani (w. 502 H/1108 M) -pakar bahasa dan tafsir- berkata dalam kitabnya Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an:
الْعِبَادَةُ غَايَةُ التَّذَلُّلِ.
“Ibadah adalah puncak dari kepatuhan dan kerendahan diri kepada Allah”.
Al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki (683-756 H/1240-1355 M) –pakar fiqih, bahasa dan tafsir– ketika menafsirkan ayat:
اياك نعبد واياك نستعين
“Hanya Engkaulah yang kami sembah”. (QS. al-Fatihah : 5).
berkata:
berkata:
أَيْ نَخُصُّكَ بِالْعِبَادَةِ الَّتِيْ هِيَ أَقْصَى غَايَةِ الْخُشُوْعِ وَالْخُضُوْعِ.
“Yakni, kepada-Mu-lah kami khususkan beribadah yang merupakan puncak dari rasa kekhusyukan dan kerendahan diri”.
Dari huraian di atas dapat disimpulkan bahawa ibadah merupakan ketundukan, kepatuhan, puncak dari penghambaan diri dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Ibadah dalam pengertian ini, tentu hanya diberikan kepada Allah SWT, tidak kepada yang lain-Nya.
Oleh karena itu memanggil orang yang hidup atau yang sudah meninggal, mengagungkan, ber-istighatsah, berziarah ke makam wali untuk tujuan tabarruk (mendapat barakah), meminta sesuatu yang secara umum tidak mampu dilakukan oleh manusia, dan meminta pertolongan kepada selain Allah bukanlah termasuk ibadah kepada selain Allah, dan sudah barang tentu juga bukan termasuk perbuatan syirik yang dilarang oleh agama. Camkan hal ini wahai Wahabi.
WAHABI: “Tidak hairan jika SYI'AH & ASWAJA SUFI :
- Sama-sama hobi meninggikan kuburan…??!!”
- Sama-sama hobi meninggikan kuburan…??!!”
SUNNI: “Apa maksud sama-sama hobi meninggikan kuburan? Berapa meter? Apakah termasuk syirik akbar? Tolong dijawab ya Ustadz Wahabi. Apakah kalau meninggikan kuburan, bererti Syiah? Meninggikan kuburan bererti sesat??? Apa begitu wahai Wahabi bahlol??? Bukankah meninggikan kuburan telah terjadi sejak masa salaf yang soleh. Berikut data-datanya:
عَنْ كَثِيرِ بْنِ زَيْدٍ الْمَدَنِىِّ عَنِ الْمُطَّلِبِ قَالَ لَمَّا مَاتَ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ أُخْرِجَ بِجَنَازَتِهِ فَدُفِنَ أَمَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً أَنْ يَأْتِيَهُ بِحَجَرٍ فَلَمْ يَسْتَطِعْ حَمْلَهُ فَقَامَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَحَسَرَ عَنْ ذِرَاعَيْهِ - قَالَ كَثِيرٌ قَالَ الْمُطَّلِبُ قَالَ الَّذِى يُخْبِرُنِى ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ - كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ ذِرَاعَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حِينَ حَسَرَ عَنْهُمَا ثُمَّ حَمَلَهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَأْسِهِ وَقَالَ « أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِى وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِى ».
“Dari Katsir bin Zaid al-Madani, dari al-Muththalib berkata: “Ketika Utsman bin Mzh’un meninggal, jenazahnya dikeluarkan, lalu dimakamkan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh seorang laki-laki membawakan sebuah batu besar. Ternyata laki-laki tersebut tidak mampu mengangkatnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi batu tersebut, lalu membuka kedua lengannya. Katsir berkata: “Al-Muththalib berkata: “Telah berkata orang yang mengkhabarkan hal itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Seakan-akan aku melihat putihnya kedua lengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika membuka keduanya, kemudian membawa batu itu, lalu menaruhnya di kepala kuburan itu dan beliau bersabda: “Aku tandai dengan batu itu, kuburan saudaraku, dan aku akan menguburkan keluargaku yang meninggal ke situ.” (HR. Abu Dawud [1641], Ibnu Majah [1651], Ibnu Abi Syaibah (3/334) dan al-Baihaqi (3/412).
Dalam hadits di atas, menunjukkan BOLEHnya menaruh tanda makam seseorang di atas tanah makamnya. Tanda tersebut tentu lebih tinggi dari permukaan tanah.
أخبرنا إبراهيم بن محمد عن جعفر بن محمد عن أبيه أن النبي صلى الله عليه وسلم رش على قبر إبراهيم ابنه ووضع عليه حصباء، والحصباء لا تثبت إلا على قبر مسطح
“Telah mengkhabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memercikkan air pada makam Ibrahim putranya, dan meletakkan kerikil-kerikil.” Imam al-Syafi’i berkata: “Kerikil tidak akan tetap kecuali di atas kuburan yang diratakan.” (Musnad al-Imam al-Syafi’i [599] dan al-Umm (1/273).
عَنِ الْقَاسِمِ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا أُمَّهْ اكْشِفِى لِى عَنْ قَبْرِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَصَاحِبَيْهِ رضى الله عنهما فَكَشَفَتْ لِى عَنْ ثَلاَثَةِ قُبُورٍ لاَ مُشْرِفَةٍ وَلاَ لاَطِئَةٍ مَبْطُوحَةٍ بِبَطْحَاءِ الْعَرْصَةِ الْحَمْرَاءِ قَالَ أَبُو عَلِىٍّ يُقَالُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُقَدَّمٌ وَأَبُو بَكْرٍ عِنْدَ رَأْسِهِ وَعُمَرُ عِنْدَ رِجْلَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Al-Qasim berkata: “Aku memasuki rumah Aisyah, lalu berkata: “Wahai bunda, bukakanlah untukku makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan kedua sahabatnya.” Lalu beliau membukakan untukku tiga makam, yang tidak terlalu tinggi dan tidak rata dengan tanah, dibentangkan dengan kerikil halaman yang merah.” (HR. Abu Dawud [1564]).
عَنْ سُفْيَانَ التَّمَّارِ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ رَأَى قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَنَّمًا
“Sufyan at-Tammar telah bercerita telah melihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditinggikan (seperti punuk)”. (HR al-Bukhari dalam Shahih-nya [1390]).
وَقَالَ خَارِجَةُ بْنُ زَيْدٍ رَأَيْتُنِي وَنَحْنُ شُبَّانٌ فِي زَمَنِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَإِنَّ أَشَدَّنَا وَثْبَةً الَّذِي يَثِبُ قَبْرَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ حَتَّى يُجَاوِزَهُ
“Kharijah bin Zaid berkata: “Aku melihat diriku, ketika kami masih muda pada masa Utsman radhiyallahu ‘anhu, bahwa orang yang paling kuat lompatannya di antara kami, adalah dia yang mampu melompat makamnya Utsman bin Mahz’un, hingga melewatinya.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya [1360]).
عن عبد الله بن أبي بكر قال رأيت قبر عثمان بن مظعون مرتفعا
“Abdullah bin Abi Bakar berkata: “Aku melihat kuburan Utsman bin Mazh’un, tinggi.” (HR Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf [11746]).
Dalam hadits di atas, menunjukkan bahwa makam ‘Utsman bin Mazh’un itu ditinggikan, sehingga menjadi tempat ujian kekuatan lompatan anak-anak pada masa mudanya Kharijah bin Zaid. Hal ini membuktikan bahwa tingginya makam Utsman bin Mazh’un tidak kurang dari lim
MENGHUKUM SESAT KPD AHLI SUFI YG HAQ ADALAH SELANGKAH MENUJU KEPADA SYIAH
Oleh : Ustaz Abdul Rahman ar Raniri
Tak percaya?
Lihat sendiri dalam Kitab Syiah yg berjudul al-Anwar al-Nu'maniyyah karangan ulama syiah yg masyhur, Ni'matullah al-Jazairi. Lihat sendiri dalam Kitab tersebut, Cetakan Darul Qari' dan Darul Kufah (Beirut, Lubnan), cetakan pertama, tahun 2008, Jilid 2, halaman 193 dan halaman-halaman seterusnya. Sila lihat sendiri bagaimana mereka menghukum sesat dan kafir kpd para ahli Sufi yg haq.
Lihat pada halaman 195 bagaimana syiah menghukum ahli Sufi yg haq dgn alasan kerana mereka berzikir dgn zikir yg tidak ma'thur drpd ahli bait dan tidak warid drpd syarak.
Lihat bagaimana mereka mempertikaikan Imam Ghazali mendapat kasyaf, pada halaman 196.
Pada halaman 197 syiah menuduh ahli sufi yg haq melakukan BID'AH.
Pada halaman 197 syiah menuduh ahli sufi yg haq melakukan BID'AH.
Halaman 202: mereka menyamakan Sufi yg haq dgn kaum kuffar. malah mereka kata: "Siapa yg mencegah mereka (Sufi) dan radd ke atas mereka (Sufi) maka seolah2 dia telah berjihad melawan kuffar di hadapan Rasulullah SAW".
Pada halaman 203: syiah menyamakan zikir ahli Sufi dgn tarian dan nyanyian. (ini fitnah yg nyata. antara zikir dan tarian atau nyanyian jauh beza)
Pada halaman yg sama, syiah menuduh amalan ahli Sufi yg haq yg menziarahi ulama yg hidup mahupun yg telah meninggal dunia (maknanya di kuburlah) adalah sama sprt menziarahi syaitan. malah mereka kata sama sprt beribadat MENYEMBAH BERHALA.
Dan byk lagi..
Hujah2 dan tuduhan yg disebutkan di atas sama sprt hujah dan tuduhan yg digunakan oleh puak2 yg mendakwa dirinya ikut sunnah. Sama. Mmg sama. Buka sendiri Kitab yg telah disebutkan dan bandingkan.
Pelik?
Tak perlu pelik.. Mungkin kedua2 golongan yg memfitnah ahli Sufi yg ahli sunnah wal jamaah ini 'majikan' mereka adalah 'majikan' yg sama.. maka sbb tu produk mereka sama..
" Menghukum sesat kpd Sufi adalah selangkah menuju kpd syiah"
No comments:
Post a Comment