TAUHID DIBAGI 3 ITU BAGAIMANA? AKIDAH ASY’ARIYYAH ITU MASUK USHUL ATAU FURU’?
Assalamu alaikum. Bagaimana dengan pembagian tauhid ada tiga dan aqidah asy’ariyah itu masuk kepada hal ushul /furu ? (Fulan)
JAWABAN
Wa’alaikumussalam Warohmatullah Wabarokatuh.
Masalah membagi tauhid menjadi 3 atau menjadi 2, itu hanya cara ulama untuk memudahkan pemahaman saat membahas ilmu mengenal Allah.
Tidak perlu menjelek-jelekkan dan menghina hal-hal teknis semacam ini.
Itu seperti mengatakan rukun salat ada 17, hal-hal membatalkan wudhu ada 6, syarat wajib haji ada 6 dan seterusnya. Angka-angka itu tidak ada dalam dalil karena itu perkara teknis untuk memudahkan pemahaman ajaran Islam.
Intinya, terkait Allah marilah meyakini tiga kalimat ini,
- Tidak ada yang berhak disembah kecuali hanya Allah
- Tidak ada yang menciptakan dan mengurus alam semesta ini kecuali hanya Allah
- Tidak ada apapun yang sama dengan Allah
Masalah perselisihan antara asy’ariyyah dan salafi, sebagian besar adalah perselisihan tentang memahami dan menafsirkan sifat Allah. Yang diperselisihkan memang ayat-ayat mutasyabihat yang dalalahnya zhonni, sehingga tidak bisa dijadikan dasar untuk mengkafirkan orang.
Soal ini alangkah indahnya jika kita mengambil pelajaran dari An-Nawawi dan Ibnu Taimiyyah.
An-Nawawi adalah penganut paham Asy’ariyyah. Ibnu Taimiyyah adalah tokoh besar paham salafi. Keduanya berbeda dalam rincian memahami sifat Allah. Namun Allah memuliakan keduanya dengan sejumlah karomah yang membuat kita bisa “memastikan’ atau minimal menduga sangat kuat bahwa beliau berdua adalah kekasih Allah.
Saya pernah menulis soal ini dalam artikel berikut ini,
Munculnya dua kekasih Allah dari paham yang berbeda itu menurut saya adalah ayat “kauniyyah” bahwa ikhtilaf antara Asy’ariyyah dan salafi itu seharusnya bisa diharapkan sebagai ikhtilaf furu’ yang tidak sampai level menyesatkan. Tidak mungkin Allah ridha dan cinta kepada mereka berdua jika salah satu dari keduanya berpaham bid’ah, karena bid’ah jelas disebut Nabi ﷺ sebagai penghuni neraka.
Selain itu, apakah kita ingat ada hadis nabi yang menceritakan tentang seseorang di zaman dulu yang berwasiat agar tubuhnya dibakar dengan api sampai mejadi abu kemudian dibuang dilaut?
Dia melakukan itu karena takut kepada Allah, lalu Allah mengampuninya.
Perhatikan.
Ketika dia berwasiat seperti itu, bukankah itu bukti jelas bahwa dia jahil tentang rincian sifat Allah? Dia tahu sifat Allah yang maha membalas, menyiksa, yang siksanya sangat keras, tapi pada saat yang sama jahil bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
Kejahilannya ini dimaafkan karena dia memegang sifat utama seorang hamba yang merupakan inti dari penyembahan, yakni rasa takut kepada Allah.
Bukankah ini juga dalil kuat yang mengharuskan kita bisa berharap untuk lebih toleran dalam hal memahami sifat-sifat Allah?
Dalam perselisihan memahami sifat Allah, sudah pasti ada yang salah. Tapi kesalahan itu selama asasnya takut kepada Allah, maka kita masih bisa berharap Allah memaafkannya.
Jadi ide saya begini,
Kalau kita membahas sifat Allah itu, seharusnya asas dan semangatnya adalah Cinta Allah dan Takut kepada-Nya. Karena inilah makna ibadah sejati.
Belajar akidah tentang sifat Allah, kalau hasilnya tidak mengarah pada cinta Allah dan takut kepada-Nya, jelas itu penyimpangan.
Apalagi jika hasilnya malah membuat orang sombong, ujub, “mughtarr” dan keras hati. Kita khawatir cara belajar semacam itu sesungguhnya sudah masuk dalam jeratan Setan.
Wallahua’lam
MANA YANG BENAR; ALIRAN TAFWIDH ATAUKAH ALIRAN TAKWIL?
Renungan Terkait Cara Orang Awam Berakidah
Studi Kasus: Pilihan Akidah An-Nawawi Dalam Memahami Sifat-Sifat Allah.
Studi Kasus: Pilihan Akidah An-Nawawi Dalam Memahami Sifat-Sifat Allah.
Oleh : Ust. Muafa
Dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah, telah diketahui ada dua aliran utama yang saling mengkritik, yaitu aliran tafwidh (التفويض) dan aliran ta’wil (التأويل). Aliran tafwidh dipegang kelompok salafi sementara aliran ta’wil dipegang kelompok Asy’ariyyah.
Bagi orang awam, bagaimana cara memilih pendapat yang paling kuat dari dua aliran ini?
Tentu saja kaum muslimin awam -apalagi yang baru masuk Islam- akan susah diseret untuk memahami pembahasan filosofis terkait shifah dengan maushuf, jauhar dengan ‘arodh, perbuatan manusia diciptakan Allah atau hamba, perdebatan antara mu’tazilah-jabriyyah-‘Asy’ariyyah, diskursus antara epikureanis dengan stoasis, dan lain-lain. Menyerat awam pada perdebatan seperti ini malah bisa menimbulkan fitnah, yakni memberi kesan Islam itu ruwet sehingga justru malah bisa membuat mereka menjauh bahkan keluar dari Islam.
Jalan paling logis bagi kaum muslimin awam adalah bertaklid pada ulama yang dipercayai terkait isu ini. Dalam memilih ulama pun, bisa jadi kaidahnya sangat sederhana selama dianggap masuk akal dan menentramkan jiwa.
Untuk memahami cara pikir orang awam dalam hal ini, marilah kita ambil contoh kasus An-Nawawi terkait pilihan akidah beliau dalam memahami sifat Allah.
Keutamaan An-Nawawi adalah perkara yang sudah diketahui. Beliau adalah salah seorang ulama yang sangat berkah umur dan waktunya. Ilmunya sangat dalam dan luas, dihormati sebagai Asy-Syaikh di kalangan Asy-Syafi’iyyah dan memiliki banyak kitab yang terbukti sangat berkah dan bermanfaat lintas zaman dan lintas madzhab.
Ketenaran An-Nawawi bukan hanya dalam hal keilmuan, tapi juga dalam kesalihan, ibadah, sikap zuhud dan karomah.
Sejak kecil An-Nawawi sudah menunjukkan tanda-tanda keistimewaan yang menunjukkan beliau bukan “orang biasa”. Di saat teman-teman sebayanya di waktu kecil menghabiskan umur untuk bermain-main, An-Nawawi tidak mau bergabung dengan mereka. Ketika beliau dipaksa ikut main, beliau menangis lalu lari dan membaca Al-Qur’an. Pernah juga di bulan Ramadhan, An-Nawawi kecil melihat cahaya terang benderang di rumahnya. Ketika sang ayah dibangunkan, beliau tidak melihat apa-apa. Ternyata malam itu adalah malam 27 Ramadhan. Maka tahulah sang ayah bahwa malam itu adalah malam lailatul qodar.
Kehidupan masa kecil An-Nawawi seolah-olah menunjukkan bahwa beliau lahir dan tumbuh dalam pengawasan Allah dan memang disiapkan Allah untuk menjadi orang besar, panutan umat, dan pelita kaum muslimin.
Masalahnya (jika dianggap sebagai masalah), akidah An-Nawawi dalam hal memahami sifat Allah adalah akidah Asy’ariyyah yang dibid’ahkan oleh kelompok salafi!
Lalu bagaimana memahami dua hal yang nampak kontradiktif ini?
Bagi umumnya penganut Asy-Syafi’iyyah, barangkali karena kesalihan, karomah dan keberkahan kitab-kitab imam An-Nawawi inilah justru mereka malah menjadi yakin bahwa pilihan akidah An-Nawawi dalam memahami sifat Allah adalah pilihan yang diduga paling tepat dan paling diridhai Allah. Apalagi bagi umumnya Asy-Syafi’iyyah di Indonesia, referensi utama kajian akidah adalah kitab ‘Aqidatu Al-‘Awam karya Ahmad Al-Marzuqi yang mana penulisnya mengklaim bahwa akidah dan manzhumah itu diajarkan langsung oleh Rasulullah melalui mimpi!
Memahami kasus An-Nawawi ini, dalam nalar wajar ada tiga kemungkinan cara memahami;
Pertama, memahami bahwa orang yang memiliki akidah bid’ah bisa saja menjadi wali dan kekasih Allah yang dicintai, diridhai dan disayangi-Nya
Kedua, memahami bahwa pilihan akidah An-Nawawi sebaiknya jangan disebut bid’ah. Tapi lebih lembut sedikit disebut saja khotho’ (الخطأ)/kesalahan. Jika itu bukan bid’ah, tapi “hanya” khotho’, maka pilihan akidah beliau adalah termasuk ijtihad yang dipuji secara umum oleh Rasulullah, yakni; Jika benar pahalanya dua jika salah pahalanya satu.
Ketiga: Memahami bahwa justru akidah An-Nawawi terkait memahami sifat Allah itulah yang lebih benar disisi Allah daripada madzhab tafwidh.
Nampaknya, bagi kaum muslimin awam akan lebih mudah menerima pemahaman yang ketiga. Logikanya mungkin sederhana. Jika dikatakan akidah An-Nawawi terkait sifat Allah adalah bid’ah, maka tentu Allah murka, karena Nabi menyebut setiap bid’ah itu sesat dan setiap sesat di neraka. Tidak mungkin orang yang dimurkai Allah (apalagi ini terkait masalah akidah) akan dimuliakan dengan karomah.
Yang lebih ajaib terkait An-Nawawi ini adalah karomah beliau yang langsung berpaut erat dengan tokoh aliran tafwidh. Konon An-Nawawi pernah berdoa kepada Allah untuk menghancurkan berhala di zamannya yang tidak bisa beliau hilangkan hanya dengan amar makruf nahi munkar. Doa yang dinisbatkan kepada beliau berbunyi,
اللهم أقم لدينك رجلاً يكسر العمود المخلّق1، ويُخرّب القبر الذي في جيرون
Artinya: “Ya Allah, bangkitkanlah untuk dien-MU seorang lelaki yang akan menghancurkan obelisk itu (yang berada di dekat sungai Qoluth), dan merobohkan kuburan yang berada di Jairun (An-Nubuwwat, juz 1 hlm 73)
Uniknya, sebagian ulama memandang bahwa Allah mengabulkan doa ini satu generasi sesudahnya dengan membangkitkan hamba-Nya yang beraliran tafwidh; Ibnu Taimiyyah!
Sejarah mencatat sebagaimana diuraikan Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah Wa An-Nihayah bahwa orang yang menghancurkan berhala itu adalah Ibnu Taimiyyah. Karomah dari ulama terakhir ini juga cukup terkenal dan tidak perlu diingkari.
Dari sini kita sedang berhadapan dengan dua ulama yang sama-sama besar, tetapi berbeda aliran dalam memahami sifat Allah. Keduanya adalah ulama yang tidak bisa diingkari jasanya untuk Islam kecuali bagi orang yang mengingkari sinar matahari di siang bolong. Kaum muslimin menyaksikan bagaimana beliau berdua menghabiskan umur untuk berkhidmat pada dinullah. Keduanya bahkan juga memiliki kesamaan wafat dalam keadaan belum pernah menikah. Suatu totalitas untuk dakwah dan tabligh yang luar biasa.
Jika kisah karomah doa An-Nawawi itu memang benar, apakah dengan kasus ini sudah sepentasnya kaum muslimin berhusnudhon kepada dua ulama besar ini, bahwa mereka semua adalah wali Allah, yang ikhtilafnya dimaafkan dalam kasus akidah terkait sifat Allah?
Mungkinkah persoalan debat terkait memahami sifat Allah antara aliran tafwidh dan ta’wil dimasukkan area yang harus dikembangkan sikap tasamuh dan lapang dada? Ataukah tetap tidak ada kompromi dalam hal ini, yang dianggap bid’ah harus tetap digolongkan bid’ah, menyimpang harus tetap digolongkan menyimpang?
Patut direnungkan. Wallahua’lam.
No comments:
Post a Comment