Inilah Jalan Sufi Headline Animator

Whatsap Saya

Pencerahan Bid'ah

Saturday, May 9, 2020

Berikut cuplikan dialog antara Syaikh al Buthi bersama Ulama Al Albani, sebelum syaikh al Buthi menuliskan buku tersebut di atas

PERANG HUJJAH
seruuuuu!!!!!
===============

Ulama besar Suriah, DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi telah berdialog dengan Al Albani yang merupakan pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab atau ajaran Wahabi untuk mengetahui “pemahaman” Al Albani langsung dari lisannya. Akhirnya kesimpulan Syaikh al Buthi dituangkan dalam buku berjudul Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira² makna judul itu adalah : Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam.

Berikut cuplikan dialog antara Syaikh al Buthi bersama Ulama Al Albani, sebelum syaikh al Buthi menuliskan buku tersebut di atas

Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”

Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”

Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”

Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”

Al-Albani menjawab: “Ya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.

Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”
al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.”

Syaikh al-Buthi bertanya; “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”

al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”

Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ah-nya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”

Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”

Syaikh Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”

Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara mutawatir.”

Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab al-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam al-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”

Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”

Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”

Menghadapi pertanyaan tersebut, al-Albani terdiam.

GARA GARA TIDAK BERGURU DAN BERSANAD ALBANI MATI KUTU.

Kisah ini diriwayatkan oleh Syaikh Muhammad ‘Awwamah dalam kitabnya, Atsarul Hadits Asy Syarif Fi Ikhtilafil Fuqoha’, Syaikh Abdul Aziz berkata :

Suatu kali pernah ada seseorang masuk ke dalam masjid beberapa saat sebelum adzan Zhuhur dikumandangkan, dia duduk menunggu adzan. Mulanya saya tidak mengenali siapa dia, lalu seseorang di dekat saya memberi tahu bahwa orang itulah yang bernama Syaikh Nasiruddin Albani.

Tak beberapa lama, muadzin mengumandangkan adzan dengan shighot; “Alloohu Akbarolloohu akbar!”, muadzin itu membaca fathah huruf Ro dalam kalimat “Akbar” yang pertama.
Seketika itulah Syaikh Albani berdiri dan menghampiri remaja yang menjadi muadzin itu.

“Hadza Khotho’!!, Hadza Bid’ah!! (Ini salah !! Ini bid’ah !!)”
Dengan marah dan nadanya yang tinggi, Syaikh Albani mengucapkan hal tersebut kepada muadzin.

Mengetahui insiden tersebut, saya pun berdiri menghampiri mereka dan bertanya kepada Syaikh Albani.

“Salah apanya, Ya Syaikh? Bagian mana yang Bid’ah?”

“Ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dalam Shohih Muslim!”, kata Syaikh Albani.

“Apa yang diriwayatkan dalam Shohih Muslim?” Tanya saya lagi.

“Dalam Shohih Muslim tidak diriwayatkan dengan dibaca fathah, namun dengan lafadz Allahu Akbaru Allahu Akbar, bi dhommir ro’/ dengan dhommah ro’,” Kata Syaikh Albani.

Maka saya pun, dengan suara yang pelan dan tenang, mencoba menenangkannya dan mencoba bertanya sekali lagi.

“Anda meriwayatkan hadits dari Shohih Muslim dari Guru anda, dari gurunya lagi hingga Imam Muslim bahwa dia (Imam Muslim) meriwayatkan dengan kata Bi Dhommir Ro’ ataukah dhommah itu hanya harokat yang dibubuhkan oleh penerbit kitab yang anda baca?” Tanya saya kepada Syaikh Albani  dengan nada pelan.
(efect hanya baca kitab otodidak manhaj salaf).

Syaikh Albani tercekat dengan pertanyaan saya itu dan saya pun tak meneruskannya lagi.
Syaikh Albani lalu sholat sendiri dan bergegas pergi dari masjid itu.
(Atsarul Hadits Asy Syarif Fi Ikhtilafil Fuqoha’, Hal. 47)

Dan ternyata, remaja yang menjadi muadzin itu tak lain dan tak bukan adalah putra Syaikh Abdul Aziz sendiri.(jadi malu albani..?!..)

Remaja yang sudah hafal Al Qur’an diluar kepala dan juga telah mendapat ijazah sanad adzan dari gurunya dari gurunya hingga sampai Abi Mahdzuroh Rhadhiallahu anhu ., muadzin Rasulullah Shalallahu wassallam , yang diajari adzan langsung oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wassallam.

UTSAIMIN MARAH KEPADA ALBANI..
SOULMATE WAHABBI NYA!!

al-’Utsaimin sendiri, sangat MARAH, kepada al-Albani, sehingga dalam salah satu kitabnya menyinggung al-Albani dengan sangat keras dan menilainya tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali:

“ثم يأتي رجل في هذا العصر، ليس عنده من العلم شيء، ويقول: أذان الجمعة الأول بدعة، لأنه ليس معروفاً على عهد الرسول صلي الله عليه وسلم، ويجب أن نقتصر على الأذان الثاني فقط ! فنقول له: إن سنة عثمان رضي الله عنه سنة متبعة إذا لم تخالف سنة رسول الله صلي الله عليه وسلم، ولم يقم أحد من الصحابة الذين هم أعلم منك وأغير على دين الله بمعارضته، وهو من الخلفاء الراشدين المهديين، الذين أمر رسول الله صلي الله عليه وسلم باتباعهم.”

“ada seorang laki-laki dewasa ini yang tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali mengatakan, bahwa azan Jumaat yang pertama adalah bid’ah, kerana tidak dikenal pada masa Rasul , dan kita harus membatasi pada azan kedua saja! Kita katakan pada laki-laki tersebut: sesungguhnya sunahnya Utsman Rhadhiallahu anhu adalah sunah yang harus diikuti apabila tidak menyalahi sunah Rasul Shalallahu alaihi wassallam dan tidak di tentang oleh seorangpun dari kalangan sahabat yang lebih mengetahui dan lebih ghirah terhadap agama Allah dari pada kamu (al-Albani).

ALBANI LEMAH BERBAHASA ARAB BAGAIMANA DIA MENGARTIKAN AYAT DAN HADITS DENGAN BENAR.?!

Dari statement singkat Albani di dalam kata pengantar bukunya tersebut, dapat disimpulkan juga bahwasanya menurut albani dan pengikutnya apabila sebuah hadits tidak ada “embel-embel” dishahihkan oleh Albani maka hadits tersebut diragukan keshahihannya meskipun hadits tersebut tercantum di dalam Kutibus As Sittah (6 kitab pokok hadist: 2 sahih Bukhari, Muslim dan 4 kitab sunnan).

Perhatikan kalimat pengantar dalam buku Albani :

فما كان ثابتا منها عمل به وعض عليه النواجذ, والا تركه …

“…apabila hal tersebut (komentar dariku) ada, maka barulah ia mengamalkan hadits tersebut dan menggigit gerahamnya.”

Kalimat diatas terkesan CANGGUNG DAN LUCU, KALIMAT PATAH PATAH MENANDAKAN TIDAK MENGUASAI BAHASA ARAB DENGAN BAIK .
Seharusnya, apabila memang albani adalah orang yang mumpuni di bidang hadits, tentunya tidak akan menuliskannya dengan tata bahasa yang kacau kaku (dan di mirip-miripkan dengan kalimat sebuah hadist).

Syaikh Hasan bin Ali As Saggaf di dalam kitabnya “Tanaqqudhat al Albani al Wadhihah” meluruskan kalimat tersebut :

الصحيح ان يقول: إعمل به وعض عليه بالنواجذ. وقد أخطأ فى التعبير لضعفه فى اللغة

“Kalimat yang benar seharusnya berbunyi: “I’mal bihi wa ‘adhdhu ‘alaihi bi an nawajidz”.

“Amalkanlah dan gigitlah dengan gerahammu kuat-kuat.

Dan sungguh ia telah salah di dalam mengungkapkan kalimat itu dikarenakan lemahnya ia di dalam berbahasa arab.”

LALU BAGAIMANA DIA MENTERJEMAHKAN AYAT DAN HADITS SERTA BERANI MENGHUKUMI KEDUDUKAN HADITS DENGAN BENAR, KECUALI JUSTRU KACAU BALAU.

ALBANI 10 HADITS SAJA TIDAK HAFAL BAGAIMANA DISEBUT AHLI HADITS.

Diceritakan bahwa ada seseorang dari Mahami yang bertanya kepada Syaikh Albani: “Apakah anda ahli hadis (Muhaddis)?” Syaikh Albani menjawab: “Ya!” Ia bertanya: “Tolong riwayatkan 10 hadis kepada saya beserta sanadnya!” Syaikh Albani menjawab: “Saya bukan ahli hadis penghafal, saya ahli hadis kitab.” Orang tadi berkata: “Saya juga bisa kalau menyampaikan hadis ada kitabnya.” Lalu Syaikh Albani terdiam

📚 (Baca Syaikh Abdullah al-Harari dalam Tabyin Dlalalat Albani 6).

Ini menunjukkan bahwa Syaikh Albani adalah Shahafi atau otodidak ketika mendalami hadis dan ia sendiri mengaku bukan penghafal hadis. Dalam ilmu Musthalah Hadis jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status hadisnya adalah dlaif, bukan perawi sahih. Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh Syaikh Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadis) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan.

Bahwa Albani tidak mempelajari hadis dari para ahlinya ini dibuktikan dalam kitab-kitab biografi tentang Albani yang ditulis oleh para pengikutnya seperti ‘Hayatu al-Albani’ karya asy-Syaibani, ‘Tsabat Muallafat al-Albani’ karya Abdullah bin Muhammad asy-Syamrani dan sebagainya. Pada umumnya tatkala kita membuka kitab-kitab biografi para ulama, di depan mukaddimah terdapat sejarah tentang perjalanan menuntut ilmu dan para gurunya. Namun hal ini tidak terjadi dalam buku-buku biografi Albani, justru yang disebutkan oleh pengikutnya adalah untaian kalimat miris berikut ini:

عُرِفَ الشَّيْخُ اْلأَلْبَانِي رَحِمَهُ اللهُ بِقِلَّةِ شُيُوْخِهِ وَبِقِلَّةِ إِجَازَاتِهِ . فَكَيْفَ اسْتَطَاعَ أَنْ يُلِّمَّ بِالْعُلُوْمِ وَلاَ سِيَّمَا عِلْمِ الْحَدِيْثِ وَعِلْمِ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْلِ عَلَى صُعُوْبَتِهِ ؟ (ثبت مؤلفات الألباني لعبد الله بن محمد الشمراني 7)
_______
“Syaikh Albani dikenal dengan sedikitnya guru dan minimnya ijazah dalam hadis. Maka bagaimana ia mampu memperdalam ilmu-ilmu, apalagi ilmu hadis dan ilmu tentang metode memberi penilaian cacat dan adil yang sangat sulit?”

ALBANI BODOH BID'AH DAN SESAT..!!

Pernah-kah anda membaca buku beliau yang berjudul Fatawa Al-Albani dan seberapa banyaknya kekeliruan serta bid’ah-bid’ah yang ada di dalamnya?!

Syaikh Abul Fattah Abu Ghuddah rahimahullah berkata tentang beliau, “Saya hanya membuang-buang waktu untuk berdiskusi dengan orang bodoh sepertinya.”

Al-Ghimari berkata, “Al-Albani ahli bid’ah yang sesat.”

Syaikh ahli hadits; Muhammad Awwama berkata, “Al-Albani memecah-belah umat dan melenyapkan sunnah.”

Para ahli hadits Syam tidak mengakui Albani sebagai ahli hadits karena beliau tidak memiliki kelayakan di bidang itu.
Ketika mereka mengecek buku-buku karya beliau, mereka menemukan adanya kerancuan terkait hukum tingkatan untuk satu hadits.
Di samping, syarat-syarat seorang ahli hadits tidak terpenuhi dalam sosok beliau. Di bidang akidah, beliau bisa dibilang sebagai suatu petaka. Bayangkan, beliau pernah mengatakah bahwa Allah meliputi alam dengan Zat-Nya.

ALBANI LEMAH DALAM ILMU DAN SANAD

Bagaimanapun, keberadaan al-Albānī menurut Ali Mustafa juga ada manfaatnya, setidaknya telah membuat para ulama mau mengobok-ngobok perpustakaan dan menelurkan karya untuk mengkritik al-Albānī seperti halnya yang dilakukan oleh Ḥabīb al-Aẓāmī dengan karyanya “al-Albānī Syudzūdzuhu wa Akhtā‟uhu fī Arba’ati Ajzāin.
Abdullah al-Hararī dengan karyanya Tabyīnu Ẓalālāt al-Albānī dan masih banyak lagi.

Bahkan al-Ghimārī salah satu ulama pengkritik alAlbānī mengatakan: “Orang yang mau memeriksa buku-buku al-Albānī dan dia memiliki ilmu serta jauh dari sikap fanatik dan kedunguan, maka ia akan mengetahui dengan jelas bahwa al-Albānī bodoh lemah dalam Ilmu Hadis, baik matan maupun sanad.”(tidak punya sanad dan guru)

TIADA ILMU TANPA SANAD

ALBANI BUKAN MUHADHIST

Siapakah Syaikh Albani itu yang selalu jadi rujukan kaum salafy?

Jawab Habib Mundzir Al Musawa :

Albani itu bukan Muhaddits, karena Muhaddits adalah orang yang mengumpulkan Hadits dan menerima Hadits dari para periwayat Hadits dan Albani tidak hidup di masa itu. Ia hanya menukil nukil dari sisa Buku- Buku Hadits yang ada masa kini.

Kita bisa lihat Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1.000.000 Hadits (1 juta hadits), berikut Sanad dan Hukum Matannya, hingga digelari Huffadhudduniya (Salah seorang yang paling banyak hafalan Haditsnya di dunia), (Rujuk Tadzkiratul Huffadh dan siyar a\’lamunnubala) dan Beliau tak sempat menulis semua Hadits itu, beliau hanya sempat menulis sekitar 20.000 Hadits saja, maka 980.000 Hadits lainnya sirna ditelan zaman.

Imam Bukhari hafal 600.000 Hadits berikut Sanad dan Hukum Matannya dimasa mudanya, namun beliau hanya sempat menulis sekitar 7.000 Hadits saja pada Shahih Bukhari dan beberapa Kitab Hadits kecil lainnya, dan 593.000 Hadits lainnya sirna ditelan zaman.

Demikian para Muhaddits-Muhaddits besar lainnya, seperti Imam Nasai, Imam Tirmidziy, Imam Abu Dawud, Imam Muslim, Imam Ibn Majah, Imam Syafii, Imam Malik dan Ratusan Muhaddits lainnya.

Muhaddits adalah Orang yang berjumpa langsung dengan Perawi Hadits, bukan jumpa dengan Buku Buku dan Albani hanya jumpa dengan SISA-SISA BUKU HADITS yang ada dimasa kini.

Albani bukan pula Hujjatul Islam, yaitu gelar bagi yang telah hafal 300.000 Hadits berikut Sanad dan Hukum Matannya, bagaimana ia mau hafal 300.000 Hadits, sedangkan masa kini jika semua Buku Hadits yang tercetak itu dikumpulkan maka HANYA mencapai kurang dari 100.000 Hadits.

Al Imam Nawawi itu adalah Hujjatul Islam, demikian pula Imam Ghazali, dan banyak Imam-Imam lainnya.

Albani bukan pula Alhafidh, ia tak hafal 100.000 Hadits dengan Sanad dan hukum Matannya, karena ia banyak menusuk Fatwa para Muhadditsin, menunjukkkan ketidak fahamannya akan Hadits-Hadits tersebut.

Albani bukan pula Almusnid, yaitu Pakar Hadits yang menyimpan banyak Sanad Hadits yang sampai ada Sanadnya masa kini, yaitu dari dirinya, dari Gurunya, dari Gurunya, demikian hingga para Muhadditsin dan Rasul Shalallahu alaihi wassallam.

Orang yang banyak menyimpan Sanad seperti ini digelari Al Musnid, sedangkan Albani tak punya satupun Sanad Hadits yang Muttashil.

Berkata para Muhadditsin, \"Tiada Ilmu tanpa Sanad\" maksudnya semua Ilmu Hadits, Fiqih, Tauhid, Al Qur'an, mestilah ada jalur Gurunya kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wassallam , atau kepada Sahabat, atau kepada Tabiin, atau kepada para Imam-Imam.

Maka jika ada seorang mengaku Pakar Hadits dan berfatwa namun ia tak punya Sanad Guru, maka Fatwanya Mardud (tertolak), dan ucapannya Dhoif, dan tak bisa dijadikan Dalil untuk diikuti, karena Sanadnya Maqtu\’.

"Apa pendapat anda dengan seorang Manusia muncul di abad ini lalu menukil nukil sisa sisa Hadits yang tidak mencapai 10% dari Hadits yang ada dimasa itu, lalu berfatwa ini dhoif, itu dhoif".

"Saya sebenarnya tak suka bicara mengenai ini, namun saya memilih mengungkapnya ketimbang hancurnya Ummat karena tipuan seorang tong kosong".

Allahumma Shalli 'Alaa Sayyidina Muhammad Wa 'Alaa Aali Sayyidina Muhammad```

BERPIKIRLAH..!!

***********

Wallahu a’lam.

SILAHKAN DISALIN.

*******

No comments: