Istilah bahasa hakikat berasal dari kata “Al-Haqq”, yang berarti kebenaran.
Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk
mencari suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan
definisinya sebagai berikut:
a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf mengatkan :
“Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia
mencapai suatu tujuan …sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda)
ketuhanan dengan mata hatinya”.
b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:
“Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan,
ditakdirkan, disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan
(oleh Allah kepada hamba-Nya”.
Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat
dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa
yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam
tingkatan keyakinan:
1) “Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh
pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan
keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;
2) “Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh
analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta
ini.
3) “Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati
nurani Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan
tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka
kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan
oleh keputusan akal”.
Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa
betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari”fat, dimana hakikat itu
merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan
akhirnya.
Sedangkan Haqiqah secara etimologi berarti inti sesuatu, puncak atau sumber dari segala
sesuatu, dalam dunia sufi, haqiqah diartikan sebagai aspek lain dari syari`ah yang
bersifat lahiriah, yaitu batiniah, sehingga rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syariah dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh orang sufi.
Haqiqah juga dapat berarti kebenaran sejati dan mutlak, sebagai akhir dari semua
perjalanan, tujuan segala jalan
Hakikat dalam Tasawuf hakikat adalah imbangan kata syariat yang identik dengan aspek kerohanian dalam ajaran Islam. Untuk merintis jalan mencapai hakikat seseorang harus memulai dengan aspek moral yang dibarengi aspek ibadah. Bila kedua aspek ini diamalkan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan akan dapat meningkatkan kondisi mental seseorang dari tingkat rendah secara bertahap ke tingkat yang lebih tinggi. Pada posisi tertinggi Tuhan akan menerangi hati sanubarinya dengan nur-Nya, sehingga ia betul-betul dapat dekat dengan Tuhan, mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya.
Syech Yusuf al-Makasary, telah membagi kiblat maqam terdapat 4 macam :
1.Kiblat Amal disebut kiblat orang-orang awam (ahli syariat), seperti misal: bagi orang awam tidak sah sholat apabila tidak menghadap arah ke kiblat masjil haram
2.Kiblat ilmu disebut kiblat orang-orang khusus (al-khawas), sebagaimana Firman Allah “ Kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah” (Al-Baqarah : 115)
3.Kiblat al-sirr disebut kiblat khususnya orang khusus atau ahli hakikat-ma’rifat ( akhas al-khawas), kiblat ini adalah kiblat rahasia yang meliputi segala sesuatu yang tampak, dalam segala sesuatu, atas segala sesuatu, menurut segala sesuatu, bersama segala sesuatu, kepada segala sesuatu dan Dialah Segala sesuatu itu.
4.Kiblat Tawajjuh, adalah kiblat yang ada di hatisanubari dan sejajar dengan hakekat hati, yang telah diisyaratkan dalam sebuah Hadits “ Hati seorang Mukmin adalah Arsyullah”.Sebagian ulama sufi menyatakan “ Hati itu ghaib, al-Haq juga ghaib, sehingga yang ghaib lebih layak dengan pendekatan yang ghaib pula. Apabila orang telah sampai pada keadaan ini, maka dia termasuk orang bebas.
Di kalangan Sufi orang yang telah mencapai tingkatan ini disebut ahli hakikat. Kalau dihubungkan dengan Tuhan, hakikat adalah sifat-sifat Allah SWT, sedangkan Zat Allah disebut al-Haqq. Sufi yang dikenal dengan faham hakikat adalah Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj yang pernah menyatakan “Ana al-Haqq”.
Pembicaraan mengenai masalah ini tentu tidak bisa dilepaskan dari konsep Ittihad, Hulul dan Tawhid yang dalam pemahaman selintas dapat diartikan sebagai penyatuan makhluk dan Khalik. Para ulama Syari’at dalam Islam memandang konsep ini bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu sebagaimana diketahui al-Hallaj mati dibunuh karena mempunyai faham Hulul dan seperti di Jawa Syekh Siti Jenar juga mengalami hal serupa. Kaum Sufi yang mempunyai faham ini kelihatannya merasa takut untuk membicarakan Ittihad, Hulul dan Tawhid. Karena itulah uraian tentang hal ini hanya dijumpai dalam karangan-karangan modern dan tulisan-tulisan para Orientalis.
Ittihad adalah satu tingkatan dalam Tasawuf ketika seorang Sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Saat itulah terjadi penyatuan antara yang mencintai dan yang dicintai. Dalam kondisi Ittihad seperti inilah satu sama lain dapat memanggil Ya Ana (wahai aku). Meskipun yang terlihat hanya satu wujud pada hakekatnya terdapat dua wujud yang berbeda.
Adapun Hulul berarti menempati atau mengambil tempat. Dalam Tasawuf, Hulul berarti suatu keadaan (hal) yang dicapai seorang Sufi ketika aspek an-nasut (sifat kemanusiaan) Allah SWT bersatu dengan aspek al-Lahut (sifat ketuhanan) yang ada pada manusia. Hulul merupakan salah satu bentuk kebersatuan antara Allah SWT dan manusia. Kondisi ini dapat terjadi apabila manusia dapat mencapai Fana’ dengan menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan yang dimilikinya sehingga yang tersisa hanyalah sifat-sifat ketuhanannya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution bahwa sebelum seorang Sufi dapat bersatu dengan Tuhan ia harus lebih dahulu menghancurkan dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri ini dalam Tasawuf disebut Fana’.
Penghancuran diri dalam Fana’ ini senantiasa diiringi dengan Baqa’ yang berarti tetap atau terus hidup. Fana’ dan Baqa’ merupakan dua sisi mata uang atau kembar dua sebagaimana penjelasan Sufi “Jika kejahilan (kebodohan) seseorang hilang yang akan tinggal ialah pengetahuan”.
Pada saat seorang Sufi telah mencapai hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia dalam arti tidak disadarinya maka yang akan tinggal hanyalah wujud rohaninya dan ketika itulah ia dapat bersatu dengan Tuhan. Dalam kajian Tasawuf, Abu Yazid al-Bustamilah (W. 874 M) yang dipandang sebagai Sufi pertama yang memunculkan faham Fana’ dan Baqa’.
Faham tersebut tersimpul dalam kata-katanya: “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”. Selanjutnya ia pun mengungkapkan: “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup…….Aku berkata: Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup”.
Kelihatannya Zunnun al-Misri baru sampai ke tingkat Ma’rifat sementara Abu Yazid al-Bustami telah melewati tingkat tersebut dan mencapai Fana’ dan Baqa’ seterusnya Ittihad, bersatu dengan Tuhan.
Dalam keadaan Hulul seorang Sufi dapat mengeluarkan kata-kata yang aneh dalam pendengaran awam, seperti yang diucapkan oleh al-Hallaj: “Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar)”. Dalam istilah Sufi ungkapan-ungkapan seperti ini disebut Syatahat. Munculnya istilah seperti ini disebabkan oleh rasa cinta yang berlimpah. Menurut faham Hulul al-Hallaj, sebenarnyalah yang mengeluarkan kata-kata tersebut bukan roh al-Hallaj, melainkan unsur an-nasut Allah yang sedang mengambil tempat bersatu dengan unsur al-lahut al-Hallaj. Bukan pula pada Zat Allah, melainkan unsur an-nasut-Nya yang mengambil tempat pada unsur lahut manusia. Hal ini terlihat dari ungkapan syairnya: “Aku adalah Rahasia Tuhan Yang Maha Benar, dan bukanlah yang Maha Benar itu Aku, Aku hanya satu dari yang benar, bedakanlah antara kami atau aku dan Dia Yang Maha Benar”.
Dalam Hulul proses kemanunggalan Allah SWT dan manusia itu adalah Allah SWT turun mengisi dan memasuki serta mengambil tempat pada tubuh-tubuh manusia yang Ia pilih, sedangkan dalam Ittihad roh manusia naik (Mi’raj), lebur manunggal di alam Ketuhanan.
Memang mendalami dunia hakekat dapat menyebabkan seseorang menjadi sesat dan “syirik”, sebagaimana Ali bin Abi Thalib pernah berkata : “Mencari Hakikat itu termasuk Syirik”. Sebagian ahli hakekat mengatakan :”Syarat kesempurnaan ibadat seorang hamba adalah mengetahui bahwa yang disembah itu tampak pada dirinya, kalau tidak demikian, maka ia tidak dapat menjadi penyembah yang sebenarnya, sebab ia dapat memasuki lautan syirik yang tersembunyi. Bagaimana tidak, sedangkan ia menjadi seorang penyembah karena ia menerima perintah dariNya Ta’ala dan Dia adalah yang disembah, karena segala sesuatu kembali kepadaNya. Ia juga harus mengetahui dan mengerti bahwa setiap kali ia menghadapi sesuatu apakah itu gambaran atau pengertian , ia mendapati al-Haq tampak padanya dan nyata olehnyadengan pengadaan dan penciptaaNya secara umum. Hal ini dapat dicapai setiap orangsesuai dengan kemampuannya dalam penerimaan penampakan itu secara khusus.
Sebagaimana Abu Yazid al-Bhistami menyatakan “ Aku adalah yang mencintai dan yang dicintai adalah Aku”. Abu Bakar al-Shiddiq berkata berkata “ Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan sebelumnya”, Umar Ibn al-Khattab berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan sesudahnya”, Usman ibn Affan berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan bersamanya, Sedangkan Ali Ibn Abi Thalib berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan di dalamnya. Perkatan para sufi dalam hal ini tujuannya sama. Adapun perbedaanya adalah terletak pada penyaksian perkataan mereka tersebut terhadap masing-masing dari mereka sesuai dengan tingkatan ma’rifatnya dalam kesufian.
Demikianlah Petikan dari beberapa kitab hasil karya Syech Yusuf Taj al-Makasari, semoga petikan ini dapat bermanfaat bagi para ahli suluk yang lagi berjalan menuju kehadllirat Allah SWT.
No comments:
Post a Comment