http://pecihitam.org/2018/01/ketika-khalid-basalamah-tidak-tahu-bahwa-arasy-adalah-makhluk-allah.html
Dalam suatu video youtube, Khalid Basalamah yang merupakan seorang Ustad bergelar Doktor penganut Tri Tauhid, yang sedang mengajar Aqidah Islam ketika ditanya apakah Arasy itu makhluk? Beliau menjawab tidak tahu. Ketika beliau memberi kuliah tentu banyak yang mendengar, bahkan nampaknya ada tim khusus yang merekam dan mengupload video itu. Namun dari sekian banyak yang hadir baik murid maupun gurunya sama-sama tidak sensitif dengan keyakinan yang amat syubhat itu.
Perhatikan Menit ke 3 detik 15 pada Video Berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=YoHlF4hVJog
https://www.youtube.com/watch?v=vu6QU5T5dus
Ini text yang diucapkan dalam video itu:
“.. tentang apakah Arasy itu makhluk ya… Allahu a’lam, Ini saya tidak bisa jawab apakah Arasy itu makhluk atau tidak. Allahu a’lam gitu khan.. karena Arasy ini adalah tempat Allah subhanahu wa ta’ala bersemayam. Semua yang berhubungan dengan Allah dan DzatNya itu lebih cenderung ulama mengatakan seseorang tidak berbicara. Karena ada sabda Nabi shallallahu alaihi wassalam yang berbunyi berbicaralah di Nama-Nama dan Sifat Allah dan jangan berbicara di DzatNya Allah, karena DzatNya Allah kita tidak akan mampu membicarakan masalah-masalah sampai di sana”
Ucapan beliau itu menunjukkan jalan pemikiran beliau akibat memahami ayat Mutasyabihat dengan makna zahirnya. Beliau tidak dapat menjawab bahwa Arsy itu makhluk atau bukan, alasannya adalah karena:
Arasy ini adalah tempat Allah subhanahu wa ta’ala bersemayam, maka Arasy adalah berhubungan dengan Allah dan DzatNya.
Ada sabda Nabi shallallahu alaihi wassalam yang berbunyi berbicaralah di Nama-Nama dan Sifat Allah dan jangan berbicara di DzatNya Allah, karena DzatNya Allah kita tidak akan mampu membicarakan masalah-masalah sampai di sana. Jadi beliau mengira jika berbicara apakah Arasy itu makhluk atau bukan adalah sama dengan berbicara di Dzat Allah.
Maha Suci Allah dari apa yang telah disifatkan itu.
Bagi orang Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang telah belajar Ilmu Tauhid Sifat 20 dari kecil tahu bahwa yang selain Allah adalah makhluk, termasuk Arasy adalah makhluk.
Dari informasi yang kami terima, sebenarnya beliau berasal dari lingkungan dan keluarga Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyah/Matudiriyah sebagaimana sebagian besar Umat Islam Indonesia. Dan memang Umat islam Indonesia dari dahulu, dari sejak masuknya Islam ke Indonesia adalah beraqidah Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyah/Matudiriyah, bermazhab Syafii dan bertasawuf mengikuti Ulama Tasawuf seperti Imam Ghazali, Imam Junaid Al Baghdadi dan Imam Hasan Al Syadzili. Hal ini telah ditulis oleh KH Hasyim Asy’ari dalam Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah .
Mengapa beliau kemudian menjadi tidak tahu bahwa yang selain Allah adalah makhluk, termasuk Arasy adalah makhluk Allah?
Konflik antara makna zahir istawa dengan Sifat Allah menurut dalil Aqli dan Naqli
Inilah bukti adanya konflik dalam ajaran Tauhid 3 serangkai, karena menolak ilmu Tauhid Sifat 20 yang telah disusun oleh Ulama Tauhid Ahlussunnh wal Jamaah yang berdasarkan dalil Naqli dan Aqli. Ajaran Tauhid 3 serangkai menolak Ilmu Mantiq (logika), sedangkan ilmu Mantiq ini sangat diperlukan agar kita tidak keliru dalam menggunakan akal, sebagaimana pentingnya ilmu Tajwid agar kita tidak keliru membaca Al Quran.
Meyakini yang selain Allah adalah makhluk, dan yang selain makhluk itu adalah Allah adalah satu perkara pokok Aqidah yang amat mendasar. Setiap orang yang berakal pasti dapat dengan mudah memahaminya. Selain dengan dalil Naqli sebagaimana disebut dalam QS Al-Ikhlash, juga dengan dalil aqli (akal) pun kita dapat mudah memahaminya, karena ini sesuai dengan fitrah akal.
﴾قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤
“Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang/sesuatupun yang setara dengan Dia”.
Sehingga sudah semestinya keyakinan ini sudah sebati dengan keyakinan kita. Beliau itu Ustad bergelar Doktor yang telah belajar agama bertahun-tahun, namun mengapa demikian?
Mengapa ajaran Tauhid dibagi 3 membuat beliau menjadi tidak tahu bahwa Arasy adalah makhluk? Bagaimana jika yang belajar itu orang awam?
Akal kita mempunyai fitrah yang tidak dapat kita nafikan. Kalau suatu ajaran melawan fitrah akal, walaupun diajarkan dengan sistem dogma secara berulang-ulang, tetap saja akal yang masih sehat dan sesuai fitrahnya akan menolak, akal dan hati akan merasa tertekan dan tidak puas.
Contoh ada agama yang mengajarkan Tuhan mempunyai anak, walaupun diajarkan bertahun-tahun dengan “dalil aqli yang diada-adakan”, tanpa Ilmu Mantiq (logika), yaitu:
Allah itu Maha Kuasa dapat melakukan apa saja, termasuk punya anak.
anak Tuhan berbeda dengan anak manusia yang melalui proses biologis.
Namun di bawah sadarnya akal menolak dan tidak merasa puas, karena ada konflik dalam ajarannya itu. Fitrah akal memahami bahwa dzat anak adalah setara dengan dzat sang ayah,
sifat dzat anak selalu mewarisi sifat dzat ayahnya
suatu saat dzat sang anak akan menjadi seperti dzat ayahnya
Karena mereka gigih “mempertahankan” dan “memaksakan” Tuhan punya anak, maka pada akhirnya mereka mengangkat “anak” Tuhan – yang tadinya disebutnya berbeda dengan anak manusia – menjadi “bagian dari Tuhan”. Maka Tuhan yang mereka sifatkan itu tidak lagi Maha Esa, Subhanallah, Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.
Untuk “membungkus” pemahaman yang sudah kacau ini mereka katakan: Tuhan itu tiga tapi satu, satu tapi tiga, yang hingga sekarang akal dan hati mereka sendiri tidak terima. Mereka katakan imani saja, inilah rahasia keimanan.
Sebenarnya dalil Aqli (lihat Sifat Salbiyah dalam Sifat 20) sudah dapat menjawab bahwa mustahil Allah punya anak, selain dalil Naqli yang disebut dalam QS Al Ikhlash.
Demikian juga ajaran Tauhid 3 serangkai. Dalam Tauhid Asma wa Sifat, mereka sangat fanatik dan gigih mempertahankan makna asli yang zahir dari ayat Mutasyabihat (yang samar maknanya) walaupun itu melawan fitrah akalnya. Mereka mempertahankan makna istawa dengan terjemahan bersemayam dengan makna zahirnya dalam QS Thaha:5
الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.
Bahkan menolak takwil (mengalihkan makna) dengan kata menguasai (lihat mulism.or.id tentang makna-tauhid).
Walaupun ada ayat Muhkamat (yang jelas maknanya) yang menyatakan Allah Menguasai Arasy, seperti disebut dalam QS At-Taubah:129
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Robb (Tuhan Yang Menguasai, Memiliki, Mencipta, Memelihara) ‘Arsy yang agung“.
Sebenarnya Allah sudah memberikan panduan bagaimana kita mesti memahami ayat-ayat Mutasyabihat, Pertama dengan Tafwid yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada Allah atau dengan cara Takwil yaitu dengan memalingkan dari membahas makna yang samar dalam ayat Mutasyabihat ke ayat yang jelas maknanya dalam ayat Muhkamat.
Karena gigih “mempertahankan” dan “memaksakan” makna asli yang zahir dari ayat Mutasyabihat dengan dalih tidak ingin mentakwil dengan memalingkan arti istawa, akibatnya mereka justru telah mentakwil (memalingkan) pemahaman Arasy dari “makhluk Allah” menjadi mengira “bagian dari Dzat Allah”, Na’udzu billahi min dzalik.
Sebagaimana agama yang meyakini Tuhan punya anak tadi, mereka juga punya “dalil aqli yang diada-adakan” tanpa Ilmu Mantiq (logika), mereka katakan
Allah itu Maha Kuasa, tentu Dzat Allah mampu melakukan istawa (bersemayam) dengan makna zahir di atas Arasy.
Bersemayamnya Dzat Allah berbeda dengan bersemayamnya makhluk
Namun di bawah sadarnya akal sebenarnya tidak terima, karena ada konflik dalam pemahaman demikian.
Mengapa ada konflik pemahaman dalam fitrah akal di bawah sadarnya? Sebab fitrah akal memahami suatu dzat yang bersemayam dengan makna zahir di atas dzat yang lain, adalah jika dua dzat ini setara. Setara yang dimaksud adalah sama sifat dzatnya. Yakni sama-sama mempunyai jisim (tubuh, benda, bervolume) jism itu wujud (ada) pada waktu yang bersamaan.
Di satu sisi untuk dapat dikatakan bersemayam, kedua jism (tubuh) Allah dan Arasy harus sama-sama wujud. Di sisi lain, Arasy itu bukan Allah, kalau bukan Allah tentu Arasy itu pernah tidak ada, jadi batal sifat bersemayam bagi Jism Allah karena Jism Arasy belum ada. Disinilah konflik akal yang menyebabkan Ustad bergelar Doktor tidak dapat menjawab apakah Arasy itu makhluk atau bukan, alasannya Arasy ini adalah tempat Allah subhanahu wa ta’ala bersemayam. Beliau mengira kalau menjawab apakah Arasy itu makhluk atau bukan, sama dengan bicara di Dzat Allah. Secara tak sadar akalnya menganggap ada kesetaraan antara Allah dan Arasy. Na’udzu billahi min dzalik.
Sebenarnya sudah dapat diketahui bahwa pemahaman makna asli yang zahir “istawa” (bersemayam) menurut dalil Aqli (lihat Sifat Salbiyah dalam Sifat 20), adalah mustahil berlaku pada Dzat Allah, Selain dalil Naqli bahwa tidak ada seorang/sesuatupun yang setara dengan Dia” (QS Al Ikhlas). Makna istawa (bersemayam) dengan makna zahir adalah perbuatan Jism (tubuh/benda/volume). Mustahil Allah bersifat jism (tubuh, benda, bervolume), sebab jism/tubuh/volume memerlukan ruang untuk dapat menampungnya, sedang ruang adalah makhluk yang pernah tidak ada. Artinya Allah yang mereka sifatkan itu memerlukan tempat/ruang dan Arasy. Subhanallah, Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.
Untuk “membungkus” pemahaman yang kacau ini, mereka katakan Allah bersemayam di atas Arasy tetapi Allah tidak perlu Arasy. Namun video di atas menunjukkan bahwa akal bawah sadar mereka tidak faham dengan pernyataan itu, sehingga Ustad bergelar Doktor beserta seluruh pendengar dan tim dokumentasi yang merekam dan mengupload video itu sama-sama tidak sensitif dengan pernyataan “tidak tahu bahwa Arasy itu makhluk atau bukan”. Bukankah ini meng”kultus”kan makhluk Allah yang bernama Arasy, bahkan syubhat mengira bahwa Arasy adalah bagian dari Dzat Allah. Na’udzu billahi min dzalik.
Konon mereka ingin memurnikan ajaran Islam, namun justru mengotori keyakinannya dengan mempunyai Aqidah yang sangat syubhat.
Konflik Tauhid Rububiyah dengan Tauhid Asma wa Sifat
Dalam ajaran Tauhid 3 serangkai ada konflik antara definisi Tauhid Rububiyah dengan Tauhid Asma wa Sifat. Di satu sisi mereka gigih mempertahankan makna asli Nama dan Sifat Allah dalam Tauhid Asma wa Sifat. Di sisi lain dalam Tauhid Rububiyah mereka semaunya membuat definisi Sifat Rububiyah tanpa melihat sama sekali makna asli Nama “Robb” dan Sifat “Rububiyah” yang berarti Pemelihara yang erat dengan Sifat Rahman (Kasih Sayang). Akhirnya dalam Tauhid Rububiyah keluar pernyataan yang menabrak Tauhid Asma wa Sifat, bahwa Tauhid Rububiyah ini diyakini semua orang baik mukmin maupun kafir dari dulu hingga sekarang.
(Lihat menit ke 7 video ini, dan tulisan dalam muslim.or.id tentang makna tauhid, yang diberi tanda merah dibawah ini
Ini text yang diucapkan dalam video itu:
“.. tentang apakah Arasy itu makhluk ya… Allahu a’lam, Ini saya tidak bisa jawab apakah Arasy itu makhluk atau tidak. Allahu a’lam gitu khan.. karena Arasy ini adalah tempat Allah subhanahu wa ta’ala bersemayam. Semua yang berhubungan dengan Allah dan DzatNya itu lebih cenderung ulama mengatakan seseorang tidak berbicara. Karena ada sabda Nabi shallallahu alaihi wassalam yang berbunyi berbicaralah di Nama-Nama dan Sifat Allah dan jangan berbicara di DzatNya Allah, karena DzatNya Allah kita tidak akan mampu membicarakan masalah-masalah sampai di sana”
Ucapan beliau itu menunjukkan jalan pemikiran beliau akibat memahami ayat Mutasyabihat dengan makna zahirnya. Beliau tidak dapat menjawab bahwa Arsy itu makhluk atau bukan, alasannya adalah karena:
Arasy ini adalah tempat Allah subhanahu wa ta’ala bersemayam, maka Arasy adalah berhubungan dengan Allah dan DzatNya.
Ada sabda Nabi shallallahu alaihi wassalam yang berbunyi berbicaralah di Nama-Nama dan Sifat Allah dan jangan berbicara di DzatNya Allah, karena DzatNya Allah kita tidak akan mampu membicarakan masalah-masalah sampai di sana. Jadi beliau mengira jika berbicara apakah Arasy itu makhluk atau bukan adalah sama dengan berbicara di Dzat Allah.
Maha Suci Allah dari apa yang telah disifatkan itu.
Bagi orang Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang telah belajar Ilmu Tauhid Sifat 20 dari kecil tahu bahwa yang selain Allah adalah makhluk, termasuk Arasy adalah makhluk.
Dari informasi yang kami terima, sebenarnya beliau berasal dari lingkungan dan keluarga Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyah/Matudiriyah sebagaimana sebagian besar Umat Islam Indonesia. Dan memang Umat islam Indonesia dari dahulu, dari sejak masuknya Islam ke Indonesia adalah beraqidah Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyah/Matudiriyah, bermazhab Syafii dan bertasawuf mengikuti Ulama Tasawuf seperti Imam Ghazali, Imam Junaid Al Baghdadi dan Imam Hasan Al Syadzili. Hal ini telah ditulis oleh KH Hasyim Asy’ari dalam Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah .
Mengapa beliau kemudian menjadi tidak tahu bahwa yang selain Allah adalah makhluk, termasuk Arasy adalah makhluk Allah?
Konflik antara makna zahir istawa dengan Sifat Allah menurut dalil Aqli dan Naqli
Inilah bukti adanya konflik dalam ajaran Tauhid 3 serangkai, karena menolak ilmu Tauhid Sifat 20 yang telah disusun oleh Ulama Tauhid Ahlussunnh wal Jamaah yang berdasarkan dalil Naqli dan Aqli. Ajaran Tauhid 3 serangkai menolak Ilmu Mantiq (logika), sedangkan ilmu Mantiq ini sangat diperlukan agar kita tidak keliru dalam menggunakan akal, sebagaimana pentingnya ilmu Tajwid agar kita tidak keliru membaca Al Quran.
Meyakini yang selain Allah adalah makhluk, dan yang selain makhluk itu adalah Allah adalah satu perkara pokok Aqidah yang amat mendasar. Setiap orang yang berakal pasti dapat dengan mudah memahaminya. Selain dengan dalil Naqli sebagaimana disebut dalam QS Al-Ikhlash, juga dengan dalil aqli (akal) pun kita dapat mudah memahaminya, karena ini sesuai dengan fitrah akal.
﴾قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤
“Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang/sesuatupun yang setara dengan Dia”.
Sehingga sudah semestinya keyakinan ini sudah sebati dengan keyakinan kita. Beliau itu Ustad bergelar Doktor yang telah belajar agama bertahun-tahun, namun mengapa demikian?
Mengapa ajaran Tauhid dibagi 3 membuat beliau menjadi tidak tahu bahwa Arasy adalah makhluk? Bagaimana jika yang belajar itu orang awam?
Akal kita mempunyai fitrah yang tidak dapat kita nafikan. Kalau suatu ajaran melawan fitrah akal, walaupun diajarkan dengan sistem dogma secara berulang-ulang, tetap saja akal yang masih sehat dan sesuai fitrahnya akan menolak, akal dan hati akan merasa tertekan dan tidak puas.
Contoh ada agama yang mengajarkan Tuhan mempunyai anak, walaupun diajarkan bertahun-tahun dengan “dalil aqli yang diada-adakan”, tanpa Ilmu Mantiq (logika), yaitu:
Allah itu Maha Kuasa dapat melakukan apa saja, termasuk punya anak.
anak Tuhan berbeda dengan anak manusia yang melalui proses biologis.
Namun di bawah sadarnya akal menolak dan tidak merasa puas, karena ada konflik dalam ajarannya itu. Fitrah akal memahami bahwa dzat anak adalah setara dengan dzat sang ayah,
sifat dzat anak selalu mewarisi sifat dzat ayahnya
suatu saat dzat sang anak akan menjadi seperti dzat ayahnya
Karena mereka gigih “mempertahankan” dan “memaksakan” Tuhan punya anak, maka pada akhirnya mereka mengangkat “anak” Tuhan – yang tadinya disebutnya berbeda dengan anak manusia – menjadi “bagian dari Tuhan”. Maka Tuhan yang mereka sifatkan itu tidak lagi Maha Esa, Subhanallah, Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.
Untuk “membungkus” pemahaman yang sudah kacau ini mereka katakan: Tuhan itu tiga tapi satu, satu tapi tiga, yang hingga sekarang akal dan hati mereka sendiri tidak terima. Mereka katakan imani saja, inilah rahasia keimanan.
Sebenarnya dalil Aqli (lihat Sifat Salbiyah dalam Sifat 20) sudah dapat menjawab bahwa mustahil Allah punya anak, selain dalil Naqli yang disebut dalam QS Al Ikhlash.
Demikian juga ajaran Tauhid 3 serangkai. Dalam Tauhid Asma wa Sifat, mereka sangat fanatik dan gigih mempertahankan makna asli yang zahir dari ayat Mutasyabihat (yang samar maknanya) walaupun itu melawan fitrah akalnya. Mereka mempertahankan makna istawa dengan terjemahan bersemayam dengan makna zahirnya dalam QS Thaha:5
الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.
Bahkan menolak takwil (mengalihkan makna) dengan kata menguasai (lihat mulism.or.id tentang makna-tauhid).
Walaupun ada ayat Muhkamat (yang jelas maknanya) yang menyatakan Allah Menguasai Arasy, seperti disebut dalam QS At-Taubah:129
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Robb (Tuhan Yang Menguasai, Memiliki, Mencipta, Memelihara) ‘Arsy yang agung“.
Sebenarnya Allah sudah memberikan panduan bagaimana kita mesti memahami ayat-ayat Mutasyabihat, Pertama dengan Tafwid yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada Allah atau dengan cara Takwil yaitu dengan memalingkan dari membahas makna yang samar dalam ayat Mutasyabihat ke ayat yang jelas maknanya dalam ayat Muhkamat.
Karena gigih “mempertahankan” dan “memaksakan” makna asli yang zahir dari ayat Mutasyabihat dengan dalih tidak ingin mentakwil dengan memalingkan arti istawa, akibatnya mereka justru telah mentakwil (memalingkan) pemahaman Arasy dari “makhluk Allah” menjadi mengira “bagian dari Dzat Allah”, Na’udzu billahi min dzalik.
Sebagaimana agama yang meyakini Tuhan punya anak tadi, mereka juga punya “dalil aqli yang diada-adakan” tanpa Ilmu Mantiq (logika), mereka katakan
Allah itu Maha Kuasa, tentu Dzat Allah mampu melakukan istawa (bersemayam) dengan makna zahir di atas Arasy.
Bersemayamnya Dzat Allah berbeda dengan bersemayamnya makhluk
Namun di bawah sadarnya akal sebenarnya tidak terima, karena ada konflik dalam pemahaman demikian.
Mengapa ada konflik pemahaman dalam fitrah akal di bawah sadarnya? Sebab fitrah akal memahami suatu dzat yang bersemayam dengan makna zahir di atas dzat yang lain, adalah jika dua dzat ini setara. Setara yang dimaksud adalah sama sifat dzatnya. Yakni sama-sama mempunyai jisim (tubuh, benda, bervolume) jism itu wujud (ada) pada waktu yang bersamaan.
Di satu sisi untuk dapat dikatakan bersemayam, kedua jism (tubuh) Allah dan Arasy harus sama-sama wujud. Di sisi lain, Arasy itu bukan Allah, kalau bukan Allah tentu Arasy itu pernah tidak ada, jadi batal sifat bersemayam bagi Jism Allah karena Jism Arasy belum ada. Disinilah konflik akal yang menyebabkan Ustad bergelar Doktor tidak dapat menjawab apakah Arasy itu makhluk atau bukan, alasannya Arasy ini adalah tempat Allah subhanahu wa ta’ala bersemayam. Beliau mengira kalau menjawab apakah Arasy itu makhluk atau bukan, sama dengan bicara di Dzat Allah. Secara tak sadar akalnya menganggap ada kesetaraan antara Allah dan Arasy. Na’udzu billahi min dzalik.
Sebenarnya sudah dapat diketahui bahwa pemahaman makna asli yang zahir “istawa” (bersemayam) menurut dalil Aqli (lihat Sifat Salbiyah dalam Sifat 20), adalah mustahil berlaku pada Dzat Allah, Selain dalil Naqli bahwa tidak ada seorang/sesuatupun yang setara dengan Dia” (QS Al Ikhlas). Makna istawa (bersemayam) dengan makna zahir adalah perbuatan Jism (tubuh/benda/volume). Mustahil Allah bersifat jism (tubuh, benda, bervolume), sebab jism/tubuh/volume memerlukan ruang untuk dapat menampungnya, sedang ruang adalah makhluk yang pernah tidak ada. Artinya Allah yang mereka sifatkan itu memerlukan tempat/ruang dan Arasy. Subhanallah, Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.
Untuk “membungkus” pemahaman yang kacau ini, mereka katakan Allah bersemayam di atas Arasy tetapi Allah tidak perlu Arasy. Namun video di atas menunjukkan bahwa akal bawah sadar mereka tidak faham dengan pernyataan itu, sehingga Ustad bergelar Doktor beserta seluruh pendengar dan tim dokumentasi yang merekam dan mengupload video itu sama-sama tidak sensitif dengan pernyataan “tidak tahu bahwa Arasy itu makhluk atau bukan”. Bukankah ini meng”kultus”kan makhluk Allah yang bernama Arasy, bahkan syubhat mengira bahwa Arasy adalah bagian dari Dzat Allah. Na’udzu billahi min dzalik.
Konon mereka ingin memurnikan ajaran Islam, namun justru mengotori keyakinannya dengan mempunyai Aqidah yang sangat syubhat.
Konflik Tauhid Rububiyah dengan Tauhid Asma wa Sifat
Dalam ajaran Tauhid 3 serangkai ada konflik antara definisi Tauhid Rububiyah dengan Tauhid Asma wa Sifat. Di satu sisi mereka gigih mempertahankan makna asli Nama dan Sifat Allah dalam Tauhid Asma wa Sifat. Di sisi lain dalam Tauhid Rububiyah mereka semaunya membuat definisi Sifat Rububiyah tanpa melihat sama sekali makna asli Nama “Robb” dan Sifat “Rububiyah” yang berarti Pemelihara yang erat dengan Sifat Rahman (Kasih Sayang). Akhirnya dalam Tauhid Rububiyah keluar pernyataan yang menabrak Tauhid Asma wa Sifat, bahwa Tauhid Rububiyah ini diyakini semua orang baik mukmin maupun kafir dari dulu hingga sekarang.
(Lihat menit ke 7 video ini, dan tulisan dalam muslim.or.id tentang makna tauhid, yang diberi tanda merah dibawah ini
Kalau kita melihat definisi Tauhid Rububiyah yang mereka buat sendiri (lihat snapshot di atas) yaitu:
Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka
Salah satu kejadian yang hanya dapat dilakukan Allah adalah menghidupkan manusia di akhirat setelah mematikannya di dunia. Kejadian ini orang kafir jelas menolak mengakuinya, seperti disebut dalam QS Al-Isra:49
وَقَالُوا أَإِذَا كُنَّا عِظَامًا وَرُفَاتًا أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقًا جَدِيدًا
Dan mereka berkata: “Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?”
Jadi Sifat Rububiyah Allah “Menghidupkan manusia di Akhirat” ini dita’thil (ditolak) dalam Tauhid Rububiyah hanya untuk membenarkan pernyataan “Tauhid Rububiyah ini diyakini semua orang baik mukmin maupun kafir dari dulu hingga sekarang“. Dengan keterangan ringkas ini saja sudah dapat dijelaskan konflik yang berlaku pada ajaran Tauhid 3 serangkai yaitu Tauhid Rububiyah melanggar Tauhid al Asma was Sifat ajarannya sendiri. Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment