Dialog Sunni vs Wahabi tentang tabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang shaleh.
WAHABI: “Mengapa mayoritas umat Islam banyak yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabaruk? Padahal demikian itu termasuk kesyirikan menurut kami, kaum minoritas, yang kalian cap sebagai Salafi-Wahabi?”
SUNNI: “Tabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang shaleh termasuk bagian dari ajaran Islam yang berlangsung sejak masa sahabat radhiyallahu ‘anhum.”
WAHABI: “Adakah riwayat yang shahih bahwa para sahabat bertabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
SUNNI: “Banyak sekali riwayat yang shahih mengenai hal ini, dan disebutkan dalam sekian banyak kitab-kitab hadits dan sejarah. Antara lain riwayat dari Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha, dalam Sunan al-Darimi sebagai berikut:
حدثنا أبو النعمان ثنا سعيد بن زيد ثنا عمرو بن مالك النكري حدثنا أبو الجوزاء أوس بن عبد الله قال : قحط أهل المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت انظروا قبر النبي صلى الله عليه و سلم فاجعلوا منه كووا إلى السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال ففعلوا فمطرنا مطرا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقت من الشحم فسمي عام الفتق. قال حسين سليم أسد : رجاله ثقات وهو موقوف على عائشة
“Telah bercerita kepada kami Abu al-Nu’man, telah bercerita kepada kami Sa’id bin Zaid, telah bercerita kepada kami Amr bin Malik al-Nukri, telah bercerita kepada kami Abul-Jauza’ Aus bin Abdullah, berkata: “Suatu ketika penduduk Madinah mengalami musim paceklik yang sangat parah. Mereka mengadu kepada Aisyah. Lalu Aisyah berkata: “Kalian lihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, buatkan lubang dari makam itu ke langit, sehingga antara makam dan langit tidak ada atap yang menghalanginya.” Mereka melakukannya. Setelah itu, hujan pun turun dengan lebat sekali, sehingga rerumputan tumbuh dengan subur dan unta-unta menjadi sangat gemuk.” (HR. al-Darimi [98]. Husain Salim Asad berkata: “Para perawinya dipercaya, dan hadits ini mauquf kepada Aisyah”).
Dalam hadits di atas jelas sekali, para sahabat dan kaum Salaf bertabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi musim paceklik.”
WAHABI: “Maaf, hadits tersebut meskipun shahih atau hasan menurut Syaikh Husain Salim Asad, menurut ulama yang paling kami kagumi, yaitu Syaikh al-Albani, hadits tersebut termasuk hadits dha’if. Jadi kami tidak dapat menerima dalil tersebut.”
SUNNI: “Apa alasan Syaikh al-Albani mendha’ifkan hadits mauquf tersebut?”
WAHABI: “Pertama, hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Darimi melalui Abu al-Nu’man, seorang perawi yang mengalami ikhtilath pada masa akhir hayatnya, dan kita tidak tahu, apakah al-Darimi mendengar hadits darinya sebelum terjadi ikhtilath atau sesudahnya. Oleh karena itu Syaikh al-Albani menjadikan Abu al-Nu’man ini sebagai salah satu alasan kelemahannya”
SUNNI: “Maaf, melemahkan hadits di atas dengan alasan Abu al-Nu’man tidak dapat diterima, dan bukti kecerobohan al-Albani. Mengapa demikian? Abu al-Nu’man seorang perawi tsiqah (dipercaya) yang populer. Meskipun pada masa akhir hayatnya mengalami ikhtilath, haditsnya tetap diterima karena dua alasan. 1) Al-Imam Ibnu al-Shalah berkata:
عارم محمد ابن الفضل اختلط بأخرةٍ، فما رواه عنه البخاري ، ومحمد بن يحيى الذهلي، وغيرهما من الحفاظ ينبغي أن يكون مأخواً عنه قبل اختلاطه . اهـ .
“Arim Muhammad bin al-Fadhal (Abu al-Nu’man), mengalami ikhtilath pada masa akhir hayatnya. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muhammad bin Yahya al-Dzuhli dan para huffazh, hendaknya diambil darinya sebelum ikhtilath.” (Muqaddimah Ibn al-Shalah, hal. 426).
Bahkan al-Hafizh al-‘Iraqi berkata:
وكذلك ينبغي أن يكون من حدث عنه من شيوخ البخاري ومسلم.اهـ.
“Demikian pula orang yang menerima hadits dari Abu al-Nu’man dari guru-guru al-Bukhari dan Muslim (hendaknya dianggap menerima sebelum ikhtilath).” (al-Taqyid wa al-Idhah, hal. 462).
Sementara al-Darimi, perawi hadits di atas, termasuk guru-guru al-Bukhari dan Muslim. Berarti al-Darimi menerima hadits tersebut sebelum Abu al-Nu’man ikhtilath. Kalau al-Albani mendha’ifkan riwayat di atas, karena alasan Abu al-Nu’man, berarti al-Albani harus mendha’ifkan pula hadits-hadits Shahih al-Bukhari yang melalui jalur Abu al-Nu’man. Bukankah Abu al-Nu’man trmasuk perawi Shahih al-Bukhari?
2) Terkait ikhtlathnya Abu al-Nu’man, al-Dzahabi telah mengutip pembelaan al-Daraquthni yang menegaskan dalam Mizan al-I’tidal (4/8), bahwa setelah Abu al-Nu’man mengalami ikhtilath, tidak nampak hadits-haditsnya yang munkar. Karena itu, ia harus tetap dikatakan tsiqah. Oleh karena itu, mendhaifkan hadits di atas dengan alasan Abu al-Nu’man harus ditolak. Yang lucu, al-Albani dalam bukunya al-Tawassul (hal. 128) mengutip pernyataan Ibnu al-Shalah bahwa Abu al-Nu’man termasuk perawi yang ikhtilath. Tetapi al-Albani, tidak mengutip pernyataan Ibnu al-Shalah yang menjelentrehkan persoalan bahwa ikhtilathnya Abu al-Nu’man tidak berpengaruh terhadap hadits-hadits al-Bukhari, al-Dzuhli dan para huffazh kibar. Jadi al-Albani, panutan Anda, memang lucu.”
WAHABI: “Maaf, seandainya Abu al-Nu’man memang tetap tsiqah, dan ikhtilathnya tidak melemahkan terhadap hadits di atas, dalam hadits di atas terdapat illat lain, yaitu Sa’id bin Zaid, yang menjadi perbincangan para ulama. Karena itu, Syakh al-Albani, panutan kami, melemahkan hadits di atas karena alasan Sa’id bin Zaid tersebut.”
SUNNI: “Maaf ya, panutan Anda, Syaikh al-Albani tidak jujur mengenai Sa’id bin Zaid. Ketika Sa’id bin Zaid meriwayatkan hadits mengenai tawasul dan tabaruk, sebelum dalam hadits di atas, al-Albani mendha’ifkannya. Tetapi ketika Sa’id bin Zaid meriwayatkan hadits yang tidak menyangkut tawasul dan tabaruk, al-Albani menilainya perawi yang haditsnya hasan. Kalau tidak percaya, coba Anda cek dalam kitab al-Albani, Irwa’ al-Ghalil juz 5 hal. 338. Jadi, dalam beragama, Anda jangan mengikuti orang yang tidak jujur seperti al-Albani. Ikuti saja Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan ahli hadits. Jangan ikut wahabi.”
WAHABI: “Maaf, Syaikh al-Albani mendhaifkan hadits di atas, juga karena ada perawi yang bernama Amr bin Malik al-Nukri. Jadi masih ada alasan lagi, selain dua alasan bohong tadi. Kalau yang ini, Syaikh al-Albani pasti benar.”
SUNNI: “Saya sudah bilang, al-Albani tidak dapat dipercaya. Dalam kitab al-Tawassul, al-Albani melemahkan hadits di atas, juga karena alasan Amr bin Malik al-Nukri. Tapi dalam kitab yang lain, al-Albani justru menilai Amr bin Malik al-Nukri seorang perawi yang tsiqah. Kalau tidak percaya, Anda cek kitab Silsilah al-Ahadits al-Shahih juz 5 hal. 608. Di situ al-Albani menganggap Amr bin Malik al-Nukri sebagai perawi tsiqah. Bahkan dalam ta’liq kitab Fadhl al-Shalah ‘ala al-Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, hal. 88, al-Albani menilainya tsiqah juga. Karenanya, jangan coba-coba kamu percaya sama al-Albani, pasti kamu diakali. Apalagi para pengikut al-Albani yang di Indonesia, hati-hati dengan mereka.”
Setelah si Wahabi tadi membuka kitab-kitab al-Albani yang ditunjukkan tadi, ia terbelalak. Betapa selama ini al-Albani telah banyak membohonginya. Akhirnya ia bertanya, “Menurutmu, hadits di atas bagaimana?”
SUNNI: “Hadits di atas nilainya hasan atau shahih.”
WAHABI: (semakin ragu-ragu dengan al-Albani dan murid-muridnya).
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
No comments:
Post a Comment