Penulis bertanya kepada DR. Rasyid Rajjal, dosen senior berkebangsaan Mesir, yang sudah sekitar 15 tahun mengajar di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab). Beliau biasa mengajar mata kuliah ‘Tsaqofah Islamiyah’ dan ‘Tarbiyah Islamiyah’ di lembaga pendidikan yang dibawahi langsung oleh Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh, Arab Saudi, ini. Pertanyaan yang diajukan adalah: Bagaimana cara ulama terdahulu menuntut ilmu dan menjadi ulama yang hebat?
Sebelum penulis tuturkan jawabannya, kita mengenang kembali bagaimana kedahsyatan ulama terdahulu di dalam kancah keilmuan. Baik ilmu ke-Islaman maupun ilmu sains, atau dalam bahasa Arabnya; ilmu ayat-ayat Qauliyah, yang mengkaji Al-Quran dan Hadits Nabi, maupun ilmu ayat-ayat Kauniyah, yang mengkaji ciptaan-ciptaan Allah di alam semesta, para ulama terdahulu itu meninggalkan warisan keilmuan yang sangat melimpah. Bayangkan Musnad Imam Ahmad dalam kompilasi hadits-hadits Nabi yang disusun oleh Imam Ahmad sendiri, terdiri dari 20 jilid! Suatu karya yang di zaman sekarang tidak bisa dikerjakan melainkan oleh tim dan kelompok! Bayangkan pula kehebatan Ibnu Sina, dokter muslim yang hafal Quran sejak kecil. Ia memiliki karya berjudul Al-Qanun fi Ath-Thib yang terjemahkan ke bahasa-bahasa Eropa oleh orang-orang Eropa, kemudian dijadikan rujukan selama beratus-ratus tahun oleh universitas-universitas kedokteran di sana.
Inilah kiranya rahasia keunggulan para ulama Islam terdahulu, walau pun mereka tidak mengenal gedung-gedung mewah universitas, karena memang belum ada dibangun di zaman itu:
1) Mereka menghafalkan Al-Quran sejak usia dini (antara 7 tahun sampai 15 tahun).
Sewaktu menghafal Quran, para calon ulama besar itu belajar menghargai waktu dengan sebenar-benarnya. Para penghafal Quran zaman sekarang tau benar bagaimana pentingnya menghargai waktu itu jika mau sukses menyelesaikan hafalan Qurannya. Menyia-nyiakan waktu satu jam saja yang sudah dibiasakan untuk digunakan menghafal, maka tunggu-lah besok di waktu yang sama untuk menghafal hafalan baru itu lagi. Mereka juga belajar mengatur waktu menghafal dan waktu mengulang hafalan. Waktu sebelum subuh untuk menghafal hafalan baru, dan waktu dhuha untuk mengulang hafalan yang telah dimiliki. Semua kemampuan ini sangat menunjang di saat mereka mempelajari ilmu-ilmu yang akan mereka geluti nantinya.
Al-Quran dengan sendirinya juga mendorong ulama-ulama cilik ini untuk bersemangat menuntut ilmu sekencang-kencangnya. Teriakan-teriakan ‘mengapa kamu tidak berfikir’, ‘mengapa kamu tidak mempergunakan akal’, ‘mengapa kamu tidak meneliti’, adalah teriakan-teriakan yang datang dari Al-Quran yang selalu mereka ulang-ulang sewaktu mengulang hafalan. Dan masih banyak lagi alasan mengapa hafalan Quran mampu memberikan tenaga besar di dalam menggerakkan tubuh, jiwa dan akal para ulama cilik ini untuk mendalami ilmu pengetahuan sedalam-dalamnya.
2) Ikhlas karena Allah dalam menuntut ilmu.
Karena ikhlas, maka Allah membantu perjuangan sang pencari ilmu, dan jika sudah dibantu Allah, adakah penghalang yang mampu menghalangi? Ikhlas dalam menuntut ilmu berarti menyerahkan sepenuh hati kepada ilmu itu. Maka tidaklah mengherankan jika di antara mereka ada yang berkata: “Berikan dirimu untuk ilmu sepenuhnya, maka ilmu akan memberikan dirinya kepadamu separuhnya.” Ikhlas dalam menuntut ilmu berarti juga menganggap enteng penghalang-penghalang yang menghambat proses panjang mencari ilmu itu. Sebab ia yakin, Allah akan menolongnya di saat kesulitan. Maka tidaklah mengherankan jika di antara mereka, ada yang giat menyalin buku jikalau uang tidak ada di tangan untuk membelinya. Bagaimana kondisi kita jika kita tidak bisa membeli suatu buku yang berharga? Apakah meniru mereka dengan menyalin buku itu? Atau diam saja tidak berbuat sambil berharap, mudah-mudahan bulan depan ada rezeki untuk membelinya?
3) Kecintaan yang luar biasa kepada ilmu.
Sejak kecil, ulama-ulama terdahulu telah ditumbuhkan kecintaan ilmu oleh para orang tua mereka. Imam Suyuthi dikabarkan lahir dari ibu yang sedang menyuguhkan secangkir teh buat suaminya (ayah Imam Suyuthi) yang sedang menggeluti ilmu di perpustakaan pribadinya! Inilah memang yang mesti kita galakkan kepada anak-anak kandung kita dan kepada anak-anak didik kita: Menanamkan kecintaan ilmu sejak dini sekali!
Memperdengarkan bacaan Al-Quran sejak si anak masih janin di dalam rahim, lalu di saat mereka tertidur dan terbangun di waktu bayi, kemudian di saat mereka sedang belajar merangkak lalu berjalan, kemudian di saat mereka sudah mulai terdaftar di Taman Kanak-Kanak, adalah salah satu cara menanamkan kecintaan kepada ilmu segala ilmu, Al-Quran.
Alhamdulillah, anak penulis yang berumur satu tahun sudah ikut ibunya mengajar di Lembaga Tahfidz Quran At-Taqwa. Walaupun di sana kebanyakannya berjalan kian kemari, tetapi sering pula penulis mendengar dari istri tercinta, si Hafidz suka merebut ‘A-Ba-Ta-Tsa’nya anak-anak, hingga akhirnya dibelikanlah buku ‘A-Ba-Ta-Tsa’ itu.
Dengan kecintaan kepada ilmu, jadilah mainan mereka buku-buku, jadilah kesukaan mereka masjid-masjid yang di dalamnya tersebar halaqah-halaqah ilmu. Dan kalau sudah cinta kepada ilmu, beristirahat-lah kita –para orang tua- dari ngedumel-ngedumel mengomel menyuruh anak-anak belajar. Sebab mereka sudah otomatis belajar sendiri. Bahkan tunggulah suatu waktu, dimana kita kesulitan menyiapkan uang buat membeli buku-buku ilmu kegemaran mereka!
4) Menghayati sepenuh hati, bahwa ilmu adalah harta segala-galanya dan kesenangan setinggi-tingginya, sehingga melahirkan jiwa otodidak dalam belajar.
Tentu maksudnya ilmu yang menyampaikan kepada rasa takut kepada Allah. Begitulah memang para ilmuan solih sebelum kita. Ilmu … ilmu … dan ilmu. Saking sudah menghayatinya mereka itu akan penting ilmu, sampai-sampai terkenal di antara mereka, ilmuan-ilmuan yang matang karena otodidak, belajar sendiri. Pergi ke perpustakaan dari awal jam dibuka dan keluar pada akhir jam ditutup. Imam Al-Albani sang pemuncak hadits abad ke-21 ini sampai diberikan kunci perpustakaan agar ia bisa sepuas-puasnya menjelajahi buku-buku di sana setelah waktu resmi perpustakaan itu ditutup setiap malamnya!
Sebagian pakar memang tidak menganjurkan sistem belajar otodidak. Akan tetapi itu jikalau tidak dibarengi dengan menyambangi majelis-majelis ilmu dan duduk bersimpuh di hadapan para guru. Jika bersama dengan belajar di hadapan para ulama, maka itulah yang dipraktikkan ulama-ulama terdahulu!
Jiwa otodidak (bahasa Arabnya: At-Ta’lim Adz-Dzati) mutlak diperlukan oleh setiap penuntut ilmu. Imam Nawawi penyusun kitab ‘Riyadh Ash-Shalihin’ adalah seorang ulama berjiwa otodidak. Beliau menegaskan bahwa seorang murid tidak boleh selalu bergantung dengan gurunya, sebab bisa jadi gurunya sedang lelah mengajar, atau banyak sekali murid-muridnya yang mengaji kepadanya.
5) Menjadikan Masjid sebagai tempat belajar.
Halaqah tahfidz dan talaqqi Quran, halaqah tafsir Quran, halaqah Hadits, halaqah Fikih adalah halaqah-halaqah yang dilangsungkan di masjid-masjid perkotaan kaum muslimin di masa lalu. Penulis belum membaca apakah halaqah matematika, halaqah ilmu Fisika, dan halaqah ilmu Biologi dilangsungkan juga di masjid, akan tetapi kemungkinan besar teori-teorinya diajarkan di masjid-masjid, kemudian praktiknya dilangsungkan di lapangan dan di laboratorium.
Dengan menjadikan masjid sebagai tempat belajar, mereka bisa selalu mengkondisikan hati untuk selalu ikhlas karena Allah dalam belajar. Mereka juga bisa selalu berdoa kepada Allah jika mendapat kesulitan dalam suatu persoalan. Ketenangan bisa terjaga karena di masjid setiap orang tidak diizinkan berteriak-teriak. Dan masih banyak lagi keutamaan belajar mengajar di tempat yang paling suci di muka bumi ini.
6) Bermulazamah (ngaji berhadapan dengan guru) dengan guru-guru yang spesialis.
Belajar Al-Quran dari seorang hafidz Quran yang mutqin (hafalannya lancar) dan memiliki isnad Quran. Belajar Hadits dari seorang hafidz Hadits. Belajar Fikih kepada ahli Fikih dan seterusnya, adalah cara pemuda-pemuda penuntut ilmu mereguk luasnya lautan ilmu di zaman terdahulu. Terkenal di kalangan mereka sebuah kalimat: “Sesungguhnya ilmu agama ini adalah din (amanah agama), maka lihatlah, dari siapa engkau mengambilnya.”
Uniknya, para pemuda haus ilmu ini, tidaklah mencari guru lain di bidang lain, sebelum ia faham betul akan ilmu yang sudah dipelajarinya. Belum hafal Quran, mereka tidak akan mengambil ilmu hadits. Belum hafal hadits, mereka pun tidaklah pergi untuk menimba ilmu fikih dan begitulah seterusnya. Ada tahapan, ada ke-amanahan, dan ada kedisiplinan di dalam menggeluti jenjang dan bidang ilmu.
7) Praktik langsung saat masih belajar.
Ketika mempelajari bab Mu’amalat (jual beli) mereka berdagang. Ketika mempelajari bab Jihad mereka berjihad. Ketika mempelajari bab Nikah mereka menikah, dan seterusnya. Ini jelas mempertajam ilmu yang telah dikuasainya secara teori. Maka terkenal-lah di kalangan mereka julukan-julukan semisal An-Najjar, si tukang kayu, Al-Haddad, pandai besi, Al-Jasshash, si tukang kapur, Az-Zajjaj, si tukang cermin. Menandakan betapa mereka selain ahli di bidang ilmu juga menjalani profesi di lapangan, artinya mempraktikkan ilmu di kehidupan. Hanya memang perlu diingat, jika kita bukan termasuk yang mampu menggabungkan antara berdagang dengan kegiatan ilmu, maka yang diutamakan harus-lah belajar dan belajar.
8) Mengajar sambil belajar dan mengajar setelah belajar.
Di antara para ulama terdahulu yang mengajar sambil belajar adalah Imam Nawawi, dimana paginya beliau belajar dan di sore harinya mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya. Menurut riwayat, sampai 13 mata kuliah yang beliau pelajari di pagi hari, dan di sorenya pun mengajarkan lagi ke-13 mata kuliah itu untuk para santri. Sementara Imam Abu Hanifah, mengajarkan ilmunya setelah matang sampai umur 40 tahun belajar, lalu mengajarkan ilmunya sampai usia 70 tahun. Ibnu ‘Abbas juga dikenal sejarah sebagai seorang sahabat Nabi yang sangat sibuk mengajarkan 7 mata pelajaran berbeda di setiap harinya. Adapun Imam Syafi’i, dikabarkan bahwa para penghafal Quran datang menyetorkan bacaan dan hafalan mereka kepada beliau lepas shalat Subuh hingga matahari terbit. Setelahnya datang para penghafal Hadits menyetorkan hafalan Hadits dan menanyakan makna-makna Hadits Nabi itu kepada beliau hingga waktu dhuha (atau jam 10-an). Selanjutnya datang para ahli Fikih, mempelajari fikih Imam Syafi’i yang sangat termasyhur itu.
9) Menulis, menulis, dan menulis terus demi menyampaikan ilmu.
Maksud dari menulis di sini adalah mengarang, menterjemahkan, menyusun, mengkritik suatu pemikiran dan kegiatan lain yang berhubungan dengan penulisan. Ulama terdahulu terbiasa melakukan kegiatan tulis-menulis ini. Seakan-akan kegiatan ini telah menjadi nafas mereka di dalam pergaulan mereka dengan ilmu. Orang-orang Jerman kabarnya pun menggalakkan anak didik mereka sejak kecil dengan kegiatan tulis-menulis. Diberikan kepada anak-anak Sekolah Dasar suatu kalimat misalnya ‘Indonesia’. Maka mereka pun diwajibkan untuk mencari tau informasi Indonesia sebanyak-banyaknya, apakah lewat buku-buku di perpustakaan, atau bertanya kepada orang-orang Indonesia ahli Sejarah yang kebetulan sedang tugas di Jerman dan sebagainya. Yang mana membawa informasi terlengkap, maka itulah pemenangnya!
Lihat saja HAMKA, ia menulis di usia 19 tahun. Tulisan-tulisannya telah dimuat di surat-surat kabar, baik yang ia ikut mengelolanya maupun yang tidak. Maka tak heran di akhir hayatnya, buku-buku yang telah dikarang dan disusunnya mencapai lebih dari 100 judul. Belum lagi yang belum sempat naik cetak.
Kesimpulan Cara Ulama Terdahulu menjadi Ulama:
1) Mereka menghafalkan Al-Quran sejak usia dini (antara 7 tahun sampai 15 tahun).
2) Ikhlas karena Allah dalam menuntut ilmu.
3) Kecintaan yang luar biasa kepada ilmu.
4) Menghayati sepenuh hati, bahwa ilmu adalah harta segala-galanya dan kesenangan setinggi-tingginya, sehingga melahirkan jiwa otodidak dalam belajar.
5) Menjadikan Masjid sebagai tempat belajar.
6) Bermulazamah (ngaji berhadapan dengan guru) dengan guru-guru yang spesialis.
7) Praktik langsung saat masih belajar.
8) Mengajar sambil belajar dan mengajar setelah belajar.
9) Menulis, menulis, dan menulis terus demi menyampaikan ilmu
No comments:
Post a Comment