Inilah Jalan Sufi Headline Animator

Whatsap Saya

Pencerahan Bid'ah

Wednesday, July 10, 2019

Niat Menurut al-Suyuthi

Teori Niat Menurut al-Suyuthi (bag.1)

Pengantar
Tulisan ini merupakan ringkasan yang kami rangkum dari penjelasan al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Asybah wan Nadhair fil Furu’ tentang niat. Kitab al-Asybah wan Nadhair ini merupakan kitab yang membahas secara khusus dan mendetil mengenai qawaid fiqh. Adapun naskah kitab yang menjadi rujukan kami adalah kitab al-Asybah wan Nadhair cetakan al-Haramain, beralamat Singapura-Jeddah-Indonesia, cetakan kedua pada tahun 1380 H/1960 M. (Halaman 6 s/d 37)
A.    Hadits-hadits sekitar masalah niat.
Hadits-hadits itu antara lain:
1.    انما الاعمال بالنيات
Artinya : Sungguh hanyasanya semua amal dengan niat

Hadits ini shahih dan masyhur, telah diriwayat oleh imam hadits yang enam (al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmidzi, al-Nisa-i dan Ibnu Majah) dan selain mereka dari ‘Umar bin Khatab r.a. Ibnu al-Asy’ats juga mentakhrij hadits ini dalam sunannya dari Ali bin Abi Thalib r.a. Al-Darulquthni dalam Gharaib Malik dan Abu Na’im dalam Hilliyah ada juga meriwayat hadits ini dari Abu Said al-Khudri r.a. Tidak ketinggalan, Ibnu ‘Asaakir juga menyebut hadits ini dalam kitab Amali dengan bersumber dari hadits Anas r.a.

2.    لا عمل لمن لا نية له
Artinya : Tidak ada amalan bagi orang-orang yang tidak ada niat

Hadits ini telah diriwayat oleh al-Baihaqi dalam kitab Sunannya dari Anas r.a.

3.    نية المؤمن خير من عمله
Artinya : Niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya.

Hadits ini terdapat dalam kitab Musnad al-Syihab dari hadits Anas r.a. Dengan redaksi ini juga terdapat dalam Mu’jam al-Thabrani al-Kabir dari hadits Sahal bin Sa’id dan al-Nawaas bin Sam’an.

4.    انك لن تنفق نفقة تبتغي بها الا وجه الله الا اجرت فيها حتى ما تجعل في امرأتك
Artinya : Sesungguhnya kamu tidak menafkahkan sebuah nafkah yang kamu cari  keridhaan Allah dengan sebabnya, kecuali diberikan pahala padanya sehingga apa yang kamu jadikan pada isterimu.

Hadits ini terdapat dalam Musnad al-Firdaus karya al-Dailamy dari hadits Abu Musa dan dalam al-Shahih dari hadits Sa’ad bin Abi Waqas.

B.     Keutamaan Niat
Al-Suyuthi mengatakan, telah mutawatir riwayat dari para imam yang menjelaskan kepada kita sangat mulianya hadits niat, antara lain :
1.      Ibnu ‘Ubaidah mengatakan, tidak ada pada hadits Nabi SAW sesuatu yang lebih terhimpun, lebih kaya dan lebih banyak faedahnya dari pada hadits niat.
2.      Sepakat al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Mahdi, Ibnu al-Madini, Abu Daud, al-Darulquthni dan selain mereka bahwa hadits niat itu sepertiga ilmu. Sebagian dari ulama mengatakan, hadits niat seperempat ilmu.
3.      Al-Baihaqi menjelaskan bahwa maksud dari hadits niat sepertiga ilmu adalah karena usaha manusia terbagi dalam tiga, yaitu dengan hati, dengan lisan dan dengan anggota tubuh. Maka niat merupakan salah satu dari pembagian yang tiga, bahkan niat lebih rajih dari yang lainnya. Karena niat kadang-kadang merupakan ibadah yang tersendiri (mandiri), sedangkan selainnya selalu membutuhkan niat.
4.      Perkataan Ahmad bin Hanbal menunjukan bahwa maksudnya hadits niat sepertiga ilmu adalah hadits niat merupakan salah satu qawaid yang tiga yang menjadi rujukan semua hukum di sisi beliau. Ahmad bin Hanbal berpendapat, pokok ajaran Islam kembali kepada tiga buah hadits, yakni hadits :
أ‌.       انما الاعمال بالنيات
ب‌.   من احدث في امرنا هذا ما ليس منه فهو رد
ت‌.   الحلال بين والحرام بين

5.      Ibnu al-Mahdi juga mengatakan, bahwa hadits niat masuk dalam tiga puluh bab ilmu
6.      Semetara itu, Imam Syafi’i mengatakan, hadits niat masuk dalam tujuh puluh bab ilmu.

C.    Fungsi niat
1.      Membedakan ibadat dari pada perbuatan ‘adat kebiasaan
Contohnya : wudhu’ dan mandi, dimana keduanya ini menyerupai perbuatan membasuh badan untuk membersihkan diri atau untuk mendinginkan tubuh. Jadi untuk membedakan wudhu’ dan mandi dari semata-mata membersihkan diri atau untuk mendinginkan tubuh, maka perlu niat. Demikian juga menahan diri dari makan dan minum. Ini perlu niat untuk membedakan dari menahan makan dan minum karena berobat atau memang karena sedang tidak membutuhkan makan dan minum. Contoh lain adalah duduk dalam masjid, kadang-kadang maksudnya hanya sekedar istirahat. Jadi untuk membedakan i’tiqaf dengan istirahat memerlukan niat.
2.      Membedakan martabat ibadat dari ibadat lainnya.
Contohnya : setiap wudhu’, mandi, shalat, puasa dan sejenisnya ada dalam bentuk fardhu, nazar dan sunnat. Demikian juga tayamum adakalanya untuk mengangkat hadats kecil dan adakalanya untuk mengangkat janabah. Karena itu, disyariatkan niat untuk memebedakan martabat-martabat ibadat tersebut dari ibadat lainnya.
Berdasarkan dua fungsi di atas, maka ada beberapa ketentuan mengenai niat dalam hubungannya dengan amal, yakni :
a.       Tidak disyaratkan niat pada ibadat yang tidak ada bentuknya pada perbuatan adat kebiasaan, karena tidak ada perbuatan adat yang menyerupai dengannya.  Contohnya : iman kepada Allah Ta’ala, ma’rifah, khauf, rija’, niat, membaca Al-Qur’an dan zikir. Hal ini karena contoh-contoh ibadat di atas dapat dibedakan hanya dengan bentuknya saja. Namun demikian, wajib ada niat apabila membaca al-Qur’an yang wajib karena nazar, agar dibedakan antara bacaan wajib dari bukan wajib.
b.      Meninggalkan larangan tidak membutuhkan niat. Contohnya meninggalkan riya dan lainnya, karena wujud maksudnya (menjauhi larangan) dengan sebab meninggalkan larangan, meski tanpa niat. Namun demikian, untuk menghasilkan pahala karena meninggalkan sebuah larangan, maka perlu kepada niat. Menghilangkan najis berdasarkan pendapat yang rajih juga termasuk dalam katagori meninggalkan sesuatu, maka tidak wajib niat padanya. Demikian juga memandikan mayat dan  keluar dari shalat.
c.       Disyaratkan ta’yin (menentukan) pada ibadat yang menyerupai dengan ibadat lainnya. Dalilnya adalah hadits Nabi SAW berbunyi :
وانما لكل امرئ ما نوى
Menurut al-Suyuthi, penggalan hadits ini dhahir dalam mensyaratkan ta’yin, karena asal niat dipahami dari penggalan awal hadits, yakni :
انما الاعمال بالنيات
Contohnya : wajib ta’yin waktu seperti dhuhur atau ‘ashar pada shalat fardhu untuk membedakan antara shalat fardhu. Shalat sunat rawatib dibedakan dengan menyandarkan kepada waktu shalat seperti dhuhur dan keadaannya sebelum dhuhur atau sesudahnya. Shalat hari raya di tentukan dengan fitrah atau nahar. Demikian juga shalat kifarat, tarawih, dhuha, witir, gerhana dan shalat minta hujan, dua raka’at shalat ihram dan shalat thawaf, maka di ta’yiin dengan nama yang masyhur padanya. Adapun shalat tahiyyat masjid tidak diwajibkan ta’yin, karena tahiyyat (menghormati) masjid wujud dengan sebab shalat secara mutlaq. Puasa wajib dita’yin supaya beda antara puasa Ramadhan dengan puasa puasa qadha, nazar, kifarat, qurbah atau fidyah.
d.      Setiap yang membutuhkan kepada niat fardhu, maka membutuhkan kepada ta’yinnya kecuali tayamum untuk fardhu menurut pendapat yang lebih shahih.
e.       Yang tidak disyarat didatangkannya secara global dan terinci, apabila dita’yin tetapi kemudian ternyata salah, maka tidak mengapa. Contohnya : ta’yin tempat shalat dan waktunya. Demikian juga apabila seorang imam menta’yinkan makmum di belakangnya, ternyata salah, maka shalatnya tetap sah. Contoh lain shalat dalam waktu mendung dengan niat ada’ atau qadha, ternyata salah, maka ini juga tidak mengapa. Demikian juga puasa hari Senin.
f.       Yang disyaratkan ta’yin, apabila ternyata salah, maka dapat membatalkan. Contohnya : puasa diniatkan shalat dan juga sebaliknya, dhuhur diniatkan ashar.
g.      Yang wajib didatangkan secara clobal, namun tidak disyaratkan ta’yin secara rinci, maka apabila dita’yinkan, kemudian ternyata salah, maka ini dapat membatalkannya. Contohnya antara lain :
1). meniatkan mengikuti imam kepada si Zaid, ternyata yang menjadi imam adalah si Amr, maka shalat tidak sah.
2). Niat shalat jenazah atas si Zaid, ternyata mayatnya si Amr atau shalat jenazah atas laki-laki, kemudian ternyata mayatnya adalah perempuan, maka dalam dua kasus ini shalatnya tidak sah
3). Tidak disyaratkan ta’yin jumlah rakaat shalat. Karena itu, apabila diniatkan shalat dhuhur lima atau tiga rakaat, maka shalat tidak sah
4). Meniat qadha shalat yang tertinggal hari Senin, padahal dia hanya pernah meninggalkan shalat dhuhur pada hari Selasa, maka tidak sah
5). Meniat puasa hari Selasa pada malam Senin atau meniatkan puasa Ramadhan tahun ketiga pada tahun ke empat, maka tidak sah dengan tanpa khilaf
6). Meniatkan qadha puasa hari kedua, padahal dia hanya pernah meninggalkan puasa hari pertama
7). Menta’yin zakat yang dikeluarkannya untuk harta yang jauh, kebetulan harta jauh sudah hilang dari miliknya, maka zakat itu tidak memadai untuk zakat harta yang berada pada tempat domisilinya.
8). Meniat kifarat dhihar, padahal kenyataannya yang wajib atasnya adalah kifarat pembunuhan, maka tidak memadai kifarat tersebut untuk kifarat pembunuhan
9). Meniat membayar hutang, kenyataannya tidak ada kewajiban membayar hutang atasnya, maka tidak memadai pembayaran tersebut untuk jenis pembayaran lainnya.

h. Apabila terjadi kesalahan pada i’tiqad, bukan pada ta’yin, maka ini tidak mengapa. Contohnya : meniatkan puasa besok pada malam Senin, padahal dia mengi’tiqad malam Senin itu sebagai malam Selasa. Contoh lain, meniat puasa besok dari Ramadhan tahun ini dengan mengi’tiqadnya sebagai tahun ketiga, padahal kenyataannya adalah tahun ke empat. Contoh lain lagi adalah meniat ikut imam kepada yang hadir di depannya dengan i’tiqad yang hadir di depannya itu adalah si Zaid, padahal dia itu adalah si Amr.
i. Masalah mendatangkan fardhu dalam niat ibadat.
1). Menurut pendapat yang lebih shahih wajib mendatang fardhu pada mandi, tidak pada wudhu’, karena mandi kadang-kadang ada pada perbuatan adat, sedangkan wudhu’ tidak ada kecuali ibadat.
2). Mendatangkan fardhu pada shalat adalah wajib, karena shalat kadang-kadang sunat seperti shalat i’adah dan shalat anak-anak yang belum baligh.
3). Tidak perlu mendatang fardhu pada puasa Ramadhan, karena tidak ada puasa Ramadhan dari orang yang baligh kecuali fardhu. Karena itu, tidak membutuhkan qaid dengan fardhu.
4). Adapun zakat disyaratkan mendatangkan fardhu apabila didatangkan niat dengan lafazh sadaqah, karena sadaqah adakala fardhu dan adakalanya sunat. Tidak wajib mendatangkan fardhu apabila menggunakan lafazh zakat, karena zakat tidak ada kecuali fardhu.
5). Haji dan umrah tidak disyaratkan mendatangkan fardhu tanpa khilaf, karena seandaipun diniat sebagai sunat, maka terpaling dia kepada fardhu.
6). Tidak disyaratkan pada fardhu menta’yinkan ‘ain (fardhu ‘ain) tanpa khilaf. Demikian juga shalat jenazah tidak disyaratkan padanya niat fardhu kifayah.

j. masalah disyaratkan ada’ dan qadha.
1). Penyaratan ada’ dan qadha dalam bab shalat terdapat perbedaan pendapat, yakni pertama ; disyaratkan. Pendapat ini merupakan ikhtiyar Imam Haramain. Alasan pendapat ini adalah karena martabat mendirikan fardhu dalam waktunya berbeda martabatnya dengan mendirikan fardhu di luar waktu. Karena itu, harus dibedakan dengan mendatangkan ada’ atau qadha. Kedua ; disyaratkan niat qadha, tidak niat ada’. Karena ada’ dapat dibedakan dengan waktu, berbeda halnya dengan qadha. Ketiga ; seandainya atas seseorang ada kewajiban shalat qadha, maka disyaratkan niat ada’ pada shalat yang ada’. Dengan pendapat ini, al-Mawardi memastikannya (qatha’). Keempat ; tidak disyaratkan kedua-duanya secara mutlaq. Pendapat ini adalah pendapat yang lebih shahih. Nash Imam Syafi’i menjelaskan bahwa sah shalat orang yang melakukannya dalam keadaan cuaca mendung dan puasa orang dalam tahanan dengan niat ada’, namun ternyata ibadat tersebut sudah lewat waktunya.
2). Adapun shalat-shalat sunat yang ada qadhanya, maka berlaku khilaf padanya sebagai halnya di atas
3). Adapun puasa, menurut dhahirnya adalah wajib niat qadha. Pengarang al-Tatimmah telah memastikan disyaratkan mendatangkan niat qadha, tidak niat ada’, karena ada’ dapat dibedakan dengan sebab waktunya.
4). Sedangkan haji dan umrah tidak disyaratkan mendatangkan niat qadha atau ada’
5). Adapun zakat, gambaran qadha hanya didapati pada zakat fitrah, namun dhahirnya tidak disyaratkan.

k. Masalah ikhlas
    Ikhlas tidak menerima penggantian, karena tujuannya adalah menguji rahasia ibadat. Ibnu Qadhi dan lainnya mengatakan, tidak boleh mewakilkan pada niat kecuali pada ibadat yang menyertai dengan suatu perbuatan yang menerima penggantian, seperti membagikan zakat, menyembelih qurban, puasa untuk mayat dan haji. Sebagian ulama mutaakhirin mengatakan, ikhlas adalah suatu yang berbeda dengan niat, tetapi ikhlas tidak akan wujud tanpa niat, namun niat kadang-kadang wujud tanpa ikhlas. Tinjauan para fuqaha dan hukum-hukum di sisi mereka hanyalah berkisar pada masalah niat. Adapun ikhlas merupakan urusan Allah Ta’ala semata. Karena itu, para puqaha mentashihkan tidak wajib menyandarkan kepada Allah dalam semua ibadat.

l. Masalah penggabungan dalam ibadat.  
  Penggabungan niat ini ada beberapa katagori :
a). Meniatkan satu ibadah dengan disertai niat lain yang bukan ibadah dan kadang-kadang dapat membatalkan ibadat itu sendiri, seperti menyembelih hewan ditujukan untuk Allah dan lainnya. Ini bisa menyebabkan haramnya sembelihan tadi. Namun ada juga yang tidak membatalkan ibadah tadi, seperti berwudhu’ atau mandi dengan menyertakan niat mendinginkan badan. Alasannya karena mendinginkan badan tadi meskipun tanpa niat juga tercapai dengan wudlu atau mandi, maka tidak mengurangi keikhlasan. Contoh lain adalah qira-ah dalam shalat dengan niat qira-ah dan memberi tahu, Ini tidak batal shalatnya. Termasuk dalam masalah ini adalah puasa sunnah dengan tujuan pengobatan dan haji dengan tujuan berdagang. Ibnu Abdussalam mengatakan ibadah seperti itu tidak mendatangkan pahala, namun Imam Ghazali mengatakan dilihat dari mana niat yang lebih banyak, kalau yang lebih besar adalah niat karena Allah maka tetap dapat pahala.
b). Menggabung ibadah fardlu dengan sunnah. Ini ada yang sah keduanya dan ada yang sah fardhu saja atau sunnah saja dan ada juga yang tidak sah kedua-duanya .
- Contoh yang sah keduanya antara lain niat shalat fardlu sekaligus sebagai tahiyyatul masjid. Menurut pengarang syarah al-Muhazzab tidak ada khilaf dalam mazhab Syafii  bahwa  keduanya sah dan mendapatkan pahala. Begitu juga seseorang yang mandi junub hari jum'at, kemudian dia niat mandi wajib dan jum'at sekaligus.
- Contoh  yang sah fardhunya, seperti orang haji berniat fardlu dan sunnah, padahal dia belum pernah haji, maka yang sah fardhunya. Contoh lain qadha shalat pada malam Ramadhan disertai niat shalat Tarawih, maka menurut Ibnu Shilah sah qadha shalatnya, tidak sah tarawih
- Contoh sah sunnah saja, seperti seseorang memberi uang kepada fakir miskin dengan niat zakat dan sedekah, maka yang sah sedekahnya bukan zakatnya.


No comments: