Haqiqah & Majaz dan Sharih dan Kinayah
Haqiqah & Majaz dan Sharih dan Kinayah
Penulis : Yakin Soleh NIM 100 211 0333 (Mahasiswa Jurusan Syari’ah, Prodi Ahwal Asy-Syakhshiyyah, STAIN Palangka Raya, Dipresentasikan dalam diskusi kelas pada semester genap tahun 2012) dan Diedit kembali oleh Abdul Helim
Pendahuluan
Dalam pandangan Para ulama Ushul Fiqh mengklasifikasi lafaz (kata) dari segi pemakaiannya menjadi dua: hakikat (denotatif) dan majaz (konotatif). Mengenai kata dengan makna hakikat, tidak dipertentangkan lagi keberadaannya dalam Alquran. Kata yang seperti ini paling banyak ditemukan dalam Alquran. Adapun makna majāzi, keberadaannya dalam Alquran masih debatable di kalangan para ulama. Jumhur Ulama berpendapat kata dengan makna majaz terdapat dalam Alquran. Namun, segolongan ulama seperti mazhab Ẓahiriyyah, Ibnu Qāis dari Syafi’iyyah,
Ibnu Khuwaiz Mindad dari Malikiyyah, dan sebagainya tidak mengakui keberadaannya dalam Alquran. secara sederhana, hakikat dan sharih adalah kata yang menunjukkan makna asli/jelas, tidak ada indikator yang mendorong untuk menggunakan makna majaz, kināyah, atau tasybīh (yang tidah jelas). Kata tersebut mempunyai makna tegas tanpa dipengaruhi adanya pendahuluan (taqdīm) dan pengakhiran (ta’khīr) dalam susunannya.Dari penjelsan singkat di atas, penulis akan memaparkan pengertian hakikat dan majaz, pembagian majas, cara menentukan lafal hakikat/majaz, ketentuan yang berkaitan hakikiat/majas dan penyebab tidak berlakunya hakikat/majaz serta pengertian shari/kinayah.
A. Hakikat dan Majaz
1. Pengertian Hakikat
Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Ia bisa bermakna subjek (fā’il); sehingga memiliki arti ‘yang tetap’ atau objek (maf’ūl),yang,berarti‘ditetapkan’.[1]
Pengertian Hakikat adalah suatu lafas yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu. Umpamanya kata (kursi) menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki, tapi saat ini kata kursi dapat diartikan kekuasan, namun tujuan semula kata kursi bukan itu, tempat duduk.[2] Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu.[3] Menurut Amir Syarifuddin, semua penjelasan tersebut mengandung makna terminologis tentang haqiqah, yaitu suatu lafaz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu.
2. Pengertian Majaz
Pengertian Majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks, karena adanya persamaan atau keterkaitan baik antara makna yang tersurat di dalam teks maupun maksud yang terkandung di dalam teks tersebut.[4]
Penelitian lebih rinci lagi telah dilakukan oleh Amir Syarifuddin yang dimanifestasikan dalam bukunya Ushul Fiqh.[5]Di sana, ia mengemukakan beberapa definisi. Pertama, As-Sarkhisi mendefinisikannya sebagai nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan. Kedua, Ibnu Qudamah: lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan. Ketiga, Ibnu Subki berpendapat majaz adalah lafaz yang digunakan untuk pembentukan kata kedua karena adanya keterkaitan.
Dari ketiga definisi tersebut beliaumenyimpulkan rumusan definitif majaz, yaitu:
a. Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang di kehendaki suatu bahasa.
b. Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberikan arti kepada apa yang dimaksud.
c. Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dengan lafaz itu memang ada kaitannya.[6]
3. Macam-macam Majaz
Adapun Majaz Dari segi pembentukannya, bisa dibedakan menjadi 4 bagian antara lain sebagai berikut:
a. Adapun tambahan dari susunan kata menerut bentuk yang sebenarnya.
Cotahnya: menambahkan makna yang berarti ‘seperti’ dalam surat asy-syara ayar 11, tidak ada seperti semisal sesuatupun, tanpa kata itupun sebenarnya tidak mengurangi atrinya.[7]
b. Adanya kekurngan dalam suatu kata dari yang sebenarnya dan kebenaran dari lafas itu terletak pada yang kurang itu.
Contohnya: dalam surat yusuf ayat 82,’ tanyakan kampung itu’ secara makna kakikat adalah tanyalah penduduk kampung itu. Adanya kekurangan kata ‘penduduk’ dalam kata ‘kampung’ itu menjadikannya sebagai majaz.
c. Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian ,menukar kedudukan suatu kata.[8]
Contahnya: dalam surat an-nisa ayat 11. Sesudah mengeluarkan wasiatnya dan membayar hutangnya. Maksud sebenarnya’ sesudah mnbayar hutang dan mengeluarkan wasiatnya.
d. Meminjamkan kata atau isti’arah adalah menambahkan sesuatu dengan menggunakan (peminjamkan) kata lain
Contohnya membri nama si A penberani deng an singa.
4. Cara Mengetahui Lafas Hakikat dan Majaz
Pada dasarnya, dalam percakapan cenderung digunakan kata dengan makna hakikat, kecuali jika ada sesuatu hal yang memaksa pembicara untuk menggunakan makna majaz. Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan makna majaz atau hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya.[9] Dalam mengatahui majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan dua cara; normativitas teks atau istidlāl.
Melalui normativitas teks dapat diketahui secara lugas dari pembicara yang menjelaskan bahwa ini adalah majaz sedangkan ini hakikat atau dengan menyatakan ini kata dipakaikan pada tempatnya sementara ini dipakaikan pada selaintempatnya.
Dengan cara istidlāl, dapat diketahui melalui beberapa cara sebagai berikut:
a. Makna hakikat dapat difahami secara langsung oleh pendengar (tabādur al-ẓihni) sementara makna majaz tidak demikian.[10]
b. Suatu kata yang bermakna majāzi dapat menerima term negatif (nafi), sementara pada waktu dan kata yang sama, hakikat tidak menerimanya.
c. Diskontinuitas pada majaz, dalam artian jika suatu kata majaz telah dipakaikan pada suatu kondisi, maka tidak lagi bisa dipakaikan pada yang lain. Seperti kata nakhlah yang berarti pohon kurma dipinjam untuk menjelaskan arti ‘laki-laki yang tinggi’, maka tidak lagi dipakaikan pada objek yang lain.[11]
d. Hakikat berlaku pada makna global sementara majaz lebih parsial sebagaimana pada contoh “was’al al-qaryah” di atas.
e. Hakikat menerima derifasi kata, seperti kata “amara” yang bisa menjadi “ya’muru” dan sebagainya. Jika tidak dapat dipecah sebagaimana di atas, seperti kata “amru”, maka ia adalah majaz.[12]
f. Jika terdapat perbedaan antara term plural dengan singular, maka salahsatunya adalah majaz.[13]
g. Sebuah kata itu hakikat apabila ada ketergantungan makna kepada yang lain (ta’alluq). Sebagai contoh kata qudrah, apabila dimaksudkan dengannya ‘sifat kekuasaan’, maka ia mempunyai ketergantungan makna kepada objek yang dikuasai.[14] Namun, pada opsi kedua ia juga bisa berarti objek kekuasaan secara langsung, seperti tumbuhan atau ciptaan lainnya, sehingga ia tak lagi mempunyai ketergantungan makna (ta’alluq) kepada yang lainnya. Selain itu, pada dasarnya kata hakikat dapat diketahui secara simā’i dari orang yang berbahasa.[15] Ia tidak dapat diketahui dengan analogi (qiyās) sebagaimana biasa dilakukan dalam fiqh dan ushul fiqh. Sementara majaz dapat diketahui melalui usaha mengenal kebiasaan orang arab dalam penggunaan isti’ārah.
5. Ketentuan Yang Berkaitan Hakikat dan Majaz
Keterkaitan-keterkaitan yang menjadi syarat penggunaan Hakikat dan Majaz antara lain:
a. Adanya keserupaan, yakni pengumpulan sifat tertentu antara makna hakikat dan makna majaz dalam satu lafad, contohnya adalah pada saat nabi hijrah dari Makkah ke Madinah yang diiringi dengan shalawat badar.[16] Pada contoh tersebut menunjukan bahwa ada pengumpulan sifat tertentu yakni terangnya cahaya pada bulan bulan purnama dan wajah Nabi Muhammad SAW.
b. الكون artinya adalah menamakan atau memaknai suatu lafad sesuai dengan sifat yang melekat padanya, seperti pada ayat al-Qur’an:
“Dan berikanlah kepada anak yatim (yang sudah baliqh) harta mereka”
Ayat di atas didasarkan pada ayat al-Qur’an yang lain pada surat an-Nisa ayat 6.
(#qè=tGö/$#ur 4’yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ)(#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uäöNåk÷]ÏiB #Y‰ô©â‘ (#þqãèsù÷Š$$sùö Nçlm;ºuqøBr&
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka lebih cerdas, maka serahkanlah hartanya”. (QS.an-Nisa’:6).
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka lebih cerdas, maka serahkanlah hartanya”. (QS.an-Nisa’:6).
c. ألأول adalah menamakan sesuatu sesuai dengan takwil atau penjelasan yang akan terjadi pada masa yang akan datang, seperti pada contohnya mimpi Nabi Yusuf .as
إنّى أرَانِى أعْصِرٌ خَمْرًا
“Sesungguhnya aku mimpi, bahwa aku memeras anggur. (QS.Yusuf:36)
“Sesungguhnya aku mimpi, bahwa aku memeras anggur. (QS.Yusuf:36)
d. ألإستعداد adalah menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan kekuatan, hitungan-hitungan atau pertimbangan-pertimbangan. Yang mana hal tersebut untuk menjelaskan adanya pengaruh tertentu pada sesuatu tersebut. Contohnya adalah pada kalimat racun itu mematikan, maksudnya adalah racun itu sangat kuat sekali dalam menyebabkan kematian.[18]
e. ألحلول adalah menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya, seperti pada ayat al-Qur’an: واسألالقرية (يوسف:82) .
maksud dari ayat ini adalah bertanyalah kepada penduduk desa tersebut.
maksud dari ayat ini adalah bertanyalah kepada penduduk desa tersebut.
f. ألجزئية وعكسها adalah menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya dan menyebutkan keseluruhan untuk menjelaskan sebagiannya saja.[19]
Contohnya pada ayat تبت يدا أبى لهب maksud ayat di sini bukan hanya tangan Abu Lahab saja yang harus bertaubat, tetapi juga seluruh jiwa dan raganya.
g. ألسببية adalah menyebutkan sebab dari suatu hal, sedang yang dimaksud adalah musabbabnya ataupun sebaliknya.[20]
Contoh pertama adalah فلان أكل دم أخيه (sebab), maksud di sini adalah diat atau denda bagi seseorang yang telah membunuh saudaranya (musabab).
Contoh kedua adalah إعْتَدِي (kamu dalam masa `iddah) (musabab), maksud di sini adalah kamu saya talak, karena `iddah adalah musabab dari wanita yang ditalak (sebab).
Contoh kedua adalah إعْتَدِي (kamu dalam masa `iddah) (musabab), maksud di sini adalah kamu saya talak, karena `iddah adalah musabab dari wanita yang ditalak (sebab).
6. Penyebab Tidak Berlaku Hakikat dan Majaz
Sebagaimana disampaikan di atas, pada dasarnya, kata yang digunakan dalam percakapan adalah hakikat dan tidak boleh beralih kepada majaz kecuali bila ada qarinah.[21] Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata bermakna hakikat, dalam keadaan berikut:
a. Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi dalam penggunaan lafaz yang menghendaki meninggalkan makna hakikat, seumpama kata shalat yang berarti doa. Pada kenyataannya, secara ‘urfi kata tersebut tidak lagi digunakan sesuai dengan makna hakikatnya, sebagai doa, melainkan menjadi suatu bentuk ibadah tertentu.
b. Adanya petunjuk lafaz, seumpama kata daging yang pada hakikatnya mencakup seluruh daging. Namun, berikutnya kata daging dengan makna hakikat tersebut tidak lagi digunakan, ia mengecualikan daging ikan dan belalang, sehingga keduanya tidak lagi disebut daging.[22]
c. Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan, sehingga meskipun diucapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk hakikatnya, harus dikembalikan kepada aturan yang ada walaupun berada di luar hakikatnya. Seumpama firman Allah; surat al-Kahfi: 29
شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إناأعتدنا للظالمين نارا
شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إناأعتدنا للظالمين نارا
Secara hakikat, ayat di atas memberikan pilihan untuk beriman ataupun kafir. Namun, dengan adanya kalimat ancaman di belakangnya, maka kalimat ini tidak lagi difahami secara hakikat, melainkan dengan arti lain yaitu keharusan beriman kepada Allah.[23]
d. Adanya petunjuk dari sifat pembicara. Meskipun si pembicara mengungkapkan sesuatu sesuai haqiqah-nya, namun dari sifatnya dapat diketahui bahwa sebenarnya ia tidak menginginkan apa yang dibicarakannya tersebut.
e. Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan. Dalam beberapa kondisi, terdapat petunjuk tempat yang menghalangi pemahaman secara hakikat.[24] Umpanya firman Allah; al-Fāṭir: 19وما يستوي الأعمى والبصير Ketidaksamaan pada kalimat tersebut pada hakikatnya menyangkut semua hal, namun jika diperhatikan arah pembicaraan ayat di atas, maka ia hanya berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatan. Hal ini berarti pemahaman dengan haqiqah terhalangi.
B. Sharih dan Kinayah
1. Pengertian Sharih
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan.menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain.[25]
Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Adapun Contoh lafaz yang Sharih diantaranya:
a. Aku ceraikan kau dengan talak satu.
b. Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau.
c. Hari ini aku ceraikan kau
Jika suami melafazkan talak dengan mengunakan kalimah yang "Sharih" seumpama di atas ini, maka talak dikira jatuh walaupun tanpa niat. Hal ini, senada dengan pendapat imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan niat.[26]
Selan itu, Jumhur Ulama’ sepakat berpendapat bahwa Talak yang sharih ialah lafaz yang jelas dari segi maknanya dan kebiasaannya membawa arti talak. Contohnya, seorang suami berkata kepada isterinya, “Saya ceraikan engkau”.[27] Lafaz tersebut memberi kesan jatuh talak walaupun tanpa niat.
Sebagaimana pendapat para ulama diatas, bahwa yang dikatakan talak sharih didalam pengucapanya terdapat tiga perkataan seperti halnya yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri. Diantaranya adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya.[28]
Sebagaimana pendapat para ulama diatas, bahwa yang dikatakan talak sharih didalam pengucapanya terdapat tiga perkataan seperti halnya yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri. Diantaranya adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya.[28]
2. Pengertian Kinayah
Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. menurut Jumhur Ulama kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”.[29] Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada isterinya perkataan, sebagai contah kinayah sebagai berikut:
a. Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu.
b. Pergilah engkau dari sini, ke mana engkau suka.
c. Kita berdua sudah tidak ada hubungan lagi.
Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat hukumnya, diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami melafazkan kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak kinayah akan jatuh talaknya apabila dengan adanya niat.[30]
Talak dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di atas, kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya tidak berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh.[31]Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan.
Ibnu Taimiyah r.a berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia menghendakinya.[32] Beliau berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan adanya niat. Misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.[33] Contoh yang lain, seseorang melakukan sahur dan makan ketika maghrib, tetapi dia tidak niat untuk syiam (puasa), maka amal dia ini tidak dianggap sebagai amalan syiam. Orang duduk di masjid tanpa niat i'tikaf maka dia tidak bisa disebut melakukan ibadah i'tikaf.[34]
C. Kesimpulan
Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Berarti ditetapkan Pengertian Hakikat adalah suatu lafas yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu. Pengertian Majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks. Majaz Dari segi pembentukannya, bisa dibedakan menjadi 4 bagian: 1 Adapun tambahan dari susunan kata menerut bentuk yang sebenarnya. 2. Adanya kekurngan dalam suatu kata dari yang sebenarnya dan kebenaran dari lafas itu terletak pada yang kurang itu. 3. Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian ,menukar kedudukan suatu kata. 4. Meminjamkan kata atau isti’arah adalah menambahkan sesuatu dengan menggunakan (peminjamkan) kata lain.
Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan makna majaz atau hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya. Dalam mengatahui majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan dua cara; normativitas teks atau istidlāl.Keterkaitan-keterkaitan yang menjadi syarat penggunaan Hakikat dan Majaz seperti: Adanya keserupaan, menamakan atau memaknai suatu lafad sesuai, menamakan sesuatu sesuai dengan takwil, menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan kekuatan, menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya, dan menyebutkan sebab dari suatu hal. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata bermakna hakikat dan majaz dalam keadaanantarala lain: Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi dalam penggunaan lafaz, Adanya petunjuk lafaz, Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan, Adanya petunjuk dari sifat pembicara dan Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri Diantaranya lafal sharih adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya.Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya, seperti: Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu. Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan, misalnya seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.
DAFTAR PUSTAKA
Arufin Miftahul dan A. Faisal Haq. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam, Cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997.
Bakry, Sidi Nasa, Fiqh dan Ushul Fiqh, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Perseda, 2003.
Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Djazuli A dan 1 Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Effendi, Satria, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2008.
Karim, Syafi’i, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka Satia, 2001.
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqih, Jilit 2, Cet. V, Jakatra: Kencana, 2008.
[1]Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, Jilit 2, Cet. V, Jakatra: Kencana, 2008, h. 345.
[3]Miftahul Arufin dan A. Faisal Haq. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam, Cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997, h. 175.
[4]Ibid.
[6]Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003, h. 251.
[7]Ibid.
[9]Satria Effendi, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2008, h. 387.
[10]Ibid.
[13]Ibid.
[14] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka Satia, 2001, h. 177.
[15]Ibid.
[16] Miftahul Arufin dan A. Faisal Haq. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam........, h. 233.
[17]Ibid.
[20]Ibid.
[21] Miftahul Arufin dan A. Faisal Haq. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam....., h. 346.
[22] Ibid.
[26]Sidi Nasa Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Perseda, 2003, h. 115.
[28]Ibid.
[29]Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih......, h. 180.
[30] A Djazuli dan 1 Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000, h. 412.
[32] Sidi Nasa Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh......, h. 131.
[33] Ibid.
http://ushulfikih.blogspot.com/2012/05/haqiqah-majaz-dan-sharih-dan-kinayah.html
No comments:
Post a Comment