Inilah Jalan Sufi Headline Animator

Whatsap Saya

Pencerahan Bid'ah

Sunday, November 10, 2019

‘Am dan Khas

‘Am dan Khas 


A.    Pengertian ‘AM
Lafazh yang umum (‘am) ialah yang menunjukan pada jumlah yang banyak dan satuan yang termasuk dalam pengertiannya dalam satu makna yang berlaku[1][1]
Al-Am menurut istilah ushul fiqih adalah :[2][2]
الَّفْظُ اْلمُسْتَغْرِقُ لِجَمِيْعِ ماَيَصْلُوْحُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَةً
“Lafaz yang mencakup akan semua apa saja masuk padanya dengan satu ketetapan & sekaligus”
Contoh lafaz Am seperti lafaz “laki-laki”  ( الرِّجاَلُ )  dalam lafaz tersebut mencakup semua laki-laki. Atau lafaz “manusia” itu mencakaup semua manusia. Sementara golongan Hanafiah memberi definsi lain sebagai berikut:
“Lafaz Am ialah suatu lafaz yang mencakup arti secara keseluruhan”.
      B.     Pengertian yang ditunjukan oleh Lafazh ‘Am
Para ulama berbeda pendapat, apakah pengertian yang ditunjukan oleh lafazh ‘am itu bersifat gathi atau zhanny. Golongan Hanafiah berpendapat bahwa penunjukan lafazh ‘am itu terhadap satuan yang termasuk dalam pengertiannya itu tergolong gathi, Mereka menyebut contoh , firman Allah:
Artinya :
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan iateri-iateri (hendaklah para iateri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. (Q.S. Al-Baqarah:234)
Ayat tersebut meliputi seluruh perempuan yang ditinggal mati suaminya hendaklah beribadah dalam waktu yang telah ditentukan kecuali bila ada yang mengkhususkan,baik perempuan itu belum dicampuri suaminya atau sudah dicampuri.
Demikian pula firman Allah yang berbunyi :
Artinya :
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (Ath­-Tahalaq : 4 )
Dari ayat tersebut dipahami bahwa yang dimaksud Iddah diaana ialah meliputi seluruh iddahnya perempuan-perempuan yang tidak lagi haid baik berpiaahnya itu diaebabkan talak/ karena Faskh setelah dicampuri.
          C.    Pembagian ‘Am
      1.      Umum Syumuliy[3][3]
Yaitu semua lafazh yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi seluruh pribadi, seperti :
Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri,  (Qs. A n-Ni.ssa’: 1)
Dalam Ayat ini seluruh manusia dituntut untuk bertakwa tanpa kecuali, maka lafaz yang seperti ini dinamakan umun Syumuliy.
      2.      Umum Badaliy
Bagi suatu lafaz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku seperti Afrad (pribadi) seperti :
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu sertakwa, (Q.S. Al-Baqarah 183)
Lafaz umum dapat dibagi menjadi tiga macam :[4][4]
Ø  Lafaz umum yang tidak mungkin di Takhsiskan seperti dalam firman Allah :
Artinya :
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya”, (Qs. Huud.- 6)
Ayat diatas menerangkan sunnatullah yang berlaku bagi setiap mahkluk karena itu dialahnya qath’I yang tidak rneneriniaTakhsis
Ø  Lafaz umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya, seperti dalam firman Allah :
Artinya :
“…………mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, (Q.S Ali-Imran: 97)
Lafaz manusia dalam ayat adalah lafaz umum yang dimaksudkan adalah manusia yang mukallaf saja karena dengan perantara akal dapat dikeluarkan dari keumuman lafal anak kecil dan orang gila.
Ø  Lafaz umum yang khusus seperti lafaz umum yang tidak ditemui tanda yang menunjukan di Takhsis seperti dalam firman Allah :
وَاْلمُطَلَّقَتُ يَتَرَبَصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوُءٍ
Artinya :
“Wanita-wanita yang di talak hendaklah menahan (menunggu) tiga kali quru”
Kata-kata yang menunjukan makna umum seperti : [5][5]
a.       Kata kull (   ل6  /tiap) dan jami( حميع /semua).
Miaalnya, Qs. Ali-Imran ayat 185
Artinya :
“Tiap diri (jiwa) akan merasakan mati” (Q. S Ali-Imran 185 )
Artinya :
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di Bumi.” (Qs. Al-Bagarah : 29)
b.      Kata Kaffah
Artinya :
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya” (Q.S. Saba’: 28 )
    
D.    Keumuman al-Quran dan kekhususan Hadits[6][6]
Iman Svafi’I dan Imam Ahmad berpendapat. bahwa apabila Khabar dan ahad yang khusus, bertentangan dengan keumuman Al-Qur’an (yang di Takhsis dengan Khabar ahad) itu, maka keumuman Al-Qur’an itu tidak menunjukan pada semua satuan ynag mencakup dalam lafadz al-­Qur’an yang ‘Am itu, tetapi hanya menunjukkan pada sebagian saja.
Hal ini diaebabkan, adalah keumuman al-Qur’an itu bersifat Zhanny, sekalipun dari segi sanadnya Qath’i. Sebaliknya, adalah Khabar ahad itu bersifat Qath’i, Meskipun sanadnya Zanny.
Sedangkan menurut golongan hanafiah diaebabkan mereka itu menganggap bahwa yang ‘am itu memiliki dalalah Qath’I maka kabar­-kabar ahad tersebut tidak dapat menTakhsiskan keumuman AI-Qur’an, kecuali apabila sebelumnya memang sudah di Takhsis. Sebab mereka beralasan, yang Zhanny itu tidak dapat menTakhsis yang Qath’I, dan menurut mereka, Takhsis itu berfungsi sebagai penjelas (bayan), tetapi ia membatalkan terhadap fungsi ebagian dari ‘am. Mereka juga menegaskan, bahwa ‘am dengan pengertiannya yang umum itu berarti telah berfungsi sebagai penjelasan, jadi tidak lagi membutuhkan suatu penjelasan lain. Mereka mengambil contoh Firman Allah :
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, (Qs. Al- Maidah : 6 )
Berbeda halnya dengan pendapat golongan Syafi’I, Hanbali dan Maliki Dalam berwudhu mereka mengsyaratkan) gadanya tertib (urut-urutan) berdasarkan Hadist Nabi :
لاَيَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ امْرِى ءٍ حَتىَ يَضَعَ الطُّهُوْرَ مَواَضِعَهُ فَيَغْسِلُ وَجْهَهُ ثُمَّ يَدَهُ
Artinya :
“Allah tidak menerima shalatnya seseorang, Kecuali kalau die bersuci secara benar, yaitu membasuh mukanya, lalu tangannya dan seterusnya”
Hadist itu menunjukan keharusan adanya tertib dalam berwudhu. Akan tetapi golongan Hanafi mengambil dasar kewajiban berwudhu itu dari Nash ayat tersebut mereka menggap bahwa keharusan tertib yang dijelaskan dalam Hadist itu, hanya berfungsi sebagai penguat saja.
Tapi perlu diketahui, bahwa imam Maliki meskipun ia berpendapat bahwa dalalah keumuman Al-Qur’an itu bersifat Zhanny karena dilihat secara lahir, namun baginya tidak selalu keumuman AlI-Qur’an dapat ditakhsis dengan Khabar ahad. Namun terkadang, keumuman Al-Qur’an itu dapat di takhsis oleh Sunnah Ahad, sebagaimana firman Allah dalarn surat An-Nissa :
Artinya :
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian” (Q.S. An­-Niasa.-24)
Yang di takhsis dengan Sabda Nabi SAW.
لاَ تَنْكِحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا
Artinya :
“Seorang wanita tidak bisa dikawini bibi dari Ayahnya/bibi dari lbunya.
E.     MenTakhsis yang Umum (‘AM)[7][7]
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa mayoritas ulama telah sepakat bahwa lafazh yang ‘AM itu menunjukan kepada setiap satuan yang dicakupnya, sekalipun mereka berselisih dalam hal kekuatan penunjukan dalamnya terhadap setiap yang dicakup itu; apakah qath’i atau zanny, disamping telah diterangkan bentuk perselsihan.
Lafazh ‘am itu terbagi atas dua macam, yaitu ‘am yang dapat dimasuki takhshiah dan ‘am yang tidak dimasuki takhshiah. Karena itu harus ada dalil yang menunjukkan bahwa ia benar-benar ditaksis. golongan hanafi berpendapat bahwa yang bisa mentaksis ‘am adalah lafazh yang berdiri sendiri bersama dalam suatu zaman Serta mempunyai kekuatan yang sama dilihat dari segi qath’i / zhannynya. Sebagaimana contoh adalah firman Allah:
Artinya :
“dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina”. (Qs.An- Nisaa:24)
Lafadz ‘am ini telah ditakhshish dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
لاَ تَنْكِحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا  وَلاَ عَلىَ اِبْنَةَ اَخِيْهاَ وَلاَ اِبْنَةِ اُخْتِهاَ اِنَّكُمْ اِنْ فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ اَرْحاَ مَكُمْ
Artinya :
“Seorang wanita tidak bisa dikawini bibi dari Ayahnya/bibi dari lbunya.  Dan pula dengan keponakan dari saudaranya/keponakan dari saudaranya. Sebab jika kamu berbuat itu berarti kamu telah memutuskan familimu”.
Hadits ini tergolong hadits Masyhur , yang dalam konteks ini ia sebagai contoh yang mentakhsis keumuman Al- Quran yang qath’i.
Syarat-Syarat yang mentakhsis yang ‘am ada 3 yaitu :
a.       harus berdiri sendiri
b.      harus bersama dalam massa
c.       harus sama derajatnya dengan ‘am, apakah zanny atau qath’i
Adapun contoh ‘am yang ditakhsis dalam firman Allah tentang waris :
            يُوْصِكُمْ اللهُ فىِ اَوْلاَدِكُمْ لِذَكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ
Ayat ini memakal lafaz- lafazh ‘am, ditakhsis dengan dalil lafazh yang berdiri sendiri dan bersamaan dalam masa yaitu sabda Nabi SAW:
لاَمِيْرَا ث لِقاَتِلٍ
Artinya:
“si pembunuh itu lidak berhak mendapatkan harta warisan
Dan ditaksis lagi dengan sabda Nabi SAW :
لاَيُرِ ثُ اهلُ مِلَتَيْنِ
Artinya:
” orang yang berlainan agama tidak berhak sedikitpun memperoleh harta warisan”
Betapapun para ulama fiqih berbeda pendapat tentang banyaknya pentakhsis Serta kekuatanya, namun mereka sepakat dalam menetapakan bahwa takhsis bukan berarti mengeluarkan sebagian satuan yang ‘am (umum) setelah berada didalamnya dari segi hukum.
      2.      KHAS
      A.    Pengertian Khas[8][8]
Khas adalah “Isim Fail” yang berasal dari kata kerja :
حَصَصَ, يُخْصِّصُ, يُخَصِيصاً, خاَصِّ
Artinya :
“yang mengkususkan atau menentukan”
Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud dengan khas adalah :
مَالاَ يَتَناَوَلُ دَفْعَةً سَيْئَيْنِ فَصاَعَداً مِنْ غَيْرِ خَصٍ
Artinya :
“sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua/lebih tanpa batas.
Contoh
1.        رَجُل Artinya seorang laki- laki, dalam hal ini terbatas pada seorang saja.
2.       رُجُلاَن Artinya dua orang laki- laki dalam hal ini terbatas pada dua orang saja.
3.      Dan seterusnya
Adapun yang dimaksudkan dengan Takhsis dalam iatilah ushul fiqh adalah :
Artinya :
إِحْراَجُ بَعْضِ كاَنَ داَخِلاً تَحْتَ الْعُمُوْمِ عَلىَ تَقْدِيْرِ عَدَمِ المُخَصَّصِ.
“mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak terdapat mukhasis”
      B.     Pembagian Mukhasis
Mukhasis ada dua macam yaitu:
1.      Mukhasis Mutasil ( الغاية)
Mukhasil yang bersambung adalah apabila makna satu dalil yang mengkhususkan , berhubungan erat/bergantung pada kalimat umum sebelumnya.
Adapun beberapa macam Mukhasis muttasil antara lain :
1.      Pengecualian (AI- Iatina)
Contoh firman Allah Surat Al-Ashar ayat 2-3 :
Artinya :
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Al-Ashar: 2- 3)
Jadi yang dikhususkan pada ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman dun yang beramal Soleh. Pengkususan pada ayat tersebut adalah dengan jalan mengecualian, yakni dengan memakai huruf stana.
Artinya :
“………dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. “ (Qs Al- Baqarah228)
Ø  Syarat (الشرط)
Artinya :
“………dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. “ (Qs Al- Baqarah228)
Dalam ayat tersebut dikatakan, lebih berhak kembali pada istrinya. Maksudnya adalah dalam masa iddah, tetapi dengan syarat bila kembalinya itu dengan maksud ialah lafaz yang menujukakan pada ayat tersebut adalah “Jika”    ( ان )
Ø  Sifat   ( الصِّفَةُ )
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَاءً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةً مُؤْمِنَةٍ
(Qs. Al- Anisa : 42)
Sifat yang mengkhususkan dalam ayat tersebut adalah sifat muknim yakni yang diremehkan itu harus/dikhususkan pada hamba yang muknim.
Ø  Kesudahan            (الغاية)
Contoh firman Allah :
Artinya :
“….dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci … (Q.S Al- baqqrah 222)
Ø  Sebagai Ganti Keseluruhan ( بَدَلُ البَعْضِ مِنْ الكُلِّ)
Contoh firman Allah :
Artinya :
“…Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…”(Ali-Imiran: 97)
Lafazh (مِنْ) dan sesudahnya pada ayat tersebut , menghususkan keumuman sebelumnya, arti sebagian orang yang “mampu’ Mengganti, keumuman wajib nya manusia untuk haji.
2.      Mukhasis Munfasil[9][9]
Mukhasis munfasil adalah dalil umum / makna dalil yang sama dengan dalil atau makna dalil yang mengkhususkannya, masing- masing berdiri sendiri. Yakni tidak berkumpul tetapi terisah , Mukhasis munfasil ada beberapa macam :
Ø  Kitab di- taksis dengan kitab
Contohnya finnan Allah :
Artinya :
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (Q.S.A1-Baqarah : 228)
Ayat tersebut, umum : tercakup juga orang hamil makea datang ayat, lain yang mengkhususkan bagi wanita hamil yang berbunyi:
Arinya :
“ ……. dan begitu perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Q.S Al- Talaq: 4)
Ø  Kitab di- Takhsis dengan Sunnah Contoh firman Allah :
Artinya :
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (Q.S :An- Nisaa: 11)
Ayat tersebut bersifat umum, yakni mencakup anak yang kafir, kemudian dataing hadist yang mengkususkannya berbunyi:
لاَ يُرِثُ المُسْلِمُ الكاَفِرِ وَلاَ الكاَفِرِ المُسْلِمِ
Artinya :
“Tidak boleh mewarisi seseorang musulim puda seorang kafir, dan tidak boleh (juga) kafir pada muslim (HR. Bukhari)
Ø  Sunnah di-Takhsis dengan Kitab
Sebagai contoh adalah Hadits Nabi yang berbunyi :
لاتقبل الله صلا ة احدكم اذا احدث حتى يقوضأ
Artinya
“Allah tidak menerima shalat seorang diantara kamu bila masih berhadas hingga berwudhu ” (HR. Bukhari, Muslim)
Hadits tersebut adalah Umum, yakni termasuk dalam keadaan tidak dapat memperoleh air, kemudian dikhususkan oleh ayat yang berbunyi :
وا كنتم مرض او على سفر او جا ء احد منكم من الغا ئط او لمستم النساء فلم تجدوا ماء فيتمموا صعيدا طيبا
Artinya :
“Dan jika kamu sakit/sedang dalam musafir/datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air maka bertayamumlah kamu dengan tanah bersih …. ”
Ø  Sunnah di-Takhsis dengan Sunnah
Sebagai contoh adalah Hadits Nabi yang berbunyi :
فيا سقت السماء العشر (رواه بخارى و مسلم)
Artinya:
“Tanaman yang dengan siraman hujan, (zakatnya) adalah seper sepuluh (l0%)” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut di-Takhsis dengan hadits yang berbunyi :
ليس فيا دون خمسة اوسق صدقة
Artinya :
“Tidak wajib zakat (tanaman) yang kurang lima wasaq” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ø  Men- Takhis dengan Qiyas
لي الوجد يحل عرضه وعقوبته
Artinya :
“Menunda-nunda pembayaran bagi orang yang mampu, halal dilanggar kehormatannya dan boleh dihukum” (HR. Ahmad)
Hadist tersebut ialah umum, yakni siapa saja yang menunda-nunda pembayaran hutang, padahal ia mampu untuk membayar, termasuk ibu atau bapak. Kemudian dikhususkan, yakni bukan termasuk ibid dan bapak dengan jalan meng-Qiyas firman Allah yang berbunyi :
Artinya :
Janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (Qs Al-Isra:23)
Tidak boleh memukul melanggar kehormatan kedua orang tua adalah hasil Qiyas dari larangan mencakup “ah” terhadap-Nya. Karena memukul atau melanggar kehormatan, lebih tinggi kadar menyakitkannya dari pada mengucap “ah”. Qiyas yang demikian dinamakan Qiyas Qulawi. Sebagian ulama berpandangan bahwa yang demkian bukan dinamakan Qiyas Qulawi, tetapi diaebut Mafhum Muwafaqah.

No comments: