Inilah Jalan Sufi Headline Animator

Whatsap Saya

Pencerahan Bid'ah

Thursday, September 22, 2016

Ulama dalam alquran

ULAMA berasal dari bahasa Arab (‘ulama’), bentuk jamak dari ‘alim, artinya orang yang memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam atau dengan kata lain, orang yang memiliki ilmu yang berkualitas dalam berbagai bidang (Gibb dan Kramers (Eds.), 1961: 599). Ensiklopedi Nasional Indonesia (1996: 25) mendefinisikan ulama sebagai bentuk jamak dari kata ‘alim yang berarti orang yang berilmu.
Dalam pengertian asli yang dimaksud dengan ulama adalah para ilmuwan, baik di bidang agama, humaniora, sosial maupun kealaman. Dalam perkembangannya kemudian, pengertian ini menyempit dan dipergunakan untuk ahli agama saja. Di Indonesia ulama juga mempunyai sebutan yang berbeda di setiap daerah, seperti Kiyai (Jawa), Ajengan (Sunda), Teungku (Aceh), Syeikh (Sumatera Utara/Tapanuli), Buya (Minangkabau), Tuan Guru (Nusa Tenggara, Kalimantan).
Dalam al-Qur’an kata ulama disebutkan pada dua tempat, yaitu: surat al-Syu‘ara’ ayat 197 dan surat Fathir ayat 28. Surat al-Syu‘ara’ ayat 197 berbunyi:
أَوَلَمْ يَكُن لَّهُمْ ءَايَةً أَن يَعْلَمَهُ عُلَمَاؤُا بَنِي إِسْرَاءِيلَ
Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil
mengetahuinya?
Ulama yang dimaksudkan di situ adalah ulama Bani Israil. Di sini al-Qur’an mengkritik sikap kalangan Yahudi yang menolak wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW; padahal ulama mereka sendiri telah mengetahui hal tersebut secara jelas. Adapun surat Fathir, ayat 28 berbunyi:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَآبِّ وَاْلأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا إِنَّ اللهَ عَزِيزُ غَفُورٌ
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang2 melata dan binatang2 ternak ada yang bermacam2 warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba2Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Ulama yang dimaksudkan dalam ayat di atas bersifat general. Namun keterkaitannya dengan ayat-ayat di sekitarnya menunjukkan bahwa ulama adalah seorang yang senantiasa berpikir dan merenungi segala ihwal di sekitarnya dan bahkan alam semesta ini, lalu mengambil pelajaran darinya. Ulama adalah orang yang mampu melihat keagungan Allah di mana-mana dan merasa dirinya kecil, sehingga ia selalu memiliki komitmen yang tinggi terhadap segala titah Allah.
Dalam kedua ayat tersebut, ulama dikaitkan dengan sikap relegiusitas dan kepedulian keagamaan: takut kepada Tuhan dan peduli kepada makhluk Tuhan, serta bersikap kritis (bandingkan, al-Qurthubi/Juz XIII-XIV: 341-342).
Dalam ayat-ayat yang lain terdapat pernyataan yang menempatkan orang berilmu lebih tinggi kedudukannya daripada orang yang tidak berilmu; kata ulama tidak secara langsung disebutkan. Dalam surat al-Mujadilah ayat 11:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa Allah meninggikan posisi orang-orang beriman dan orang-orang berilmu. Allah juga membandingkan orang berilmu dan tidak berilmu seperti orang yang dapat melihat dan orang buta, misalnya dalam surat al-An‘am ayat 50:
قُل لآأَقُولُ لَكُمْ عِندِى خَزَآئِنُ اللهِ وَلآأَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلآأَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَايُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) Aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) Aku mengatakan kepadamu bahwa Aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?”
أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آَنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآَخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
(Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
“Apakah sama orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui”, atau terang dengan gelap seperti dalam surat al-Ra‘du ayat 16:
قُلْ مَن رَّبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ قُلِ اللهُ قُلْ أَفَاتَّخَذْتُم مِّن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ لاَيَمْلِكُونَ لأَنفُسِهِمْ نَفْعًا وَلاَضَرًّا قُلْ هَلْ يَسْتَوِي اْلأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ أَمْ جَعَلُوا للهِ شُرَكَآءَ خَلَقُوا كَخَلْقِهِ فَتَشَابَهَ الْخَلْقُ عَلَيْهِمْ قُلِ اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
Katakanlah: “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Jawabnya: “Allah”. Katakanlah: “Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?”. Katakanlah: “Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?” Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”.
Semua ayat tersebut menjelaskan bahwa ulama memang dipandang spesial oleh Allah dan mereka mencapai derajat tersebut karena ilmu. Semua ayat tersebut juga menerangkan bahwa alasan pentingnya ilmu adalah karena ilmulah yang dapat menyadarkan manusia akan Tuhan dan dirinya sendiri. Dengan demikian ilmu dan moralitas menyatu secara integral dalam pandangan al-Qur’an.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw yang terekenal ulama disebut sebagai waratsatul anbiya’, ahli warisnya para Nabi. Nabi saw. Memiliki empat sifat keutamaan: shiddiq: berkata benar, amanah: terpercaya, tabligh: menyampaikan kebenaran dan fathanah: cerdas. Empat sifat Nabi ini sepatutnya juga tercermin dalam tingkah laku dan kepribadian seorang ulama.
Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat kita dan juga masyarakat Muslim umumnya, ulama cenderung mengesankan orang-orang dengan ciri-ciri tradisional atau konvensional, tidak begitu peduli dengan segala urusan dunia, memiliki simbol-simbol khusus, seperti jenggot, peci, sorban dan kain sarung. Dengan memimpin sebuah pesantren atau mampu membaca kitab kuning seseorang akan dianggap jadi ulama. Demikian juga, dengan meninggalkan simbol-simbol khusus orang tidak lagi dinggap ulama.
Lulusan pesantren biasanya akan langsung dianggap sebagai ulama, sedangkan lulusan Perguruan Tinggi Islam, apalagi Perguruan Tinggi Umum, tidak dapat atau belum tentu dapat dianggap sebagai ulama. Ulama selalu dikaitkan dengan ilmu agama dan simbol-simbol yang unik. Bahkan peran yang dimainkan simbol-simbol tersebut kadang2 lebih menentukan daripada penguasaan ilmu itu sendiri.
Dalam al-Qur’an tidak demikian halnya. Tidak ada perbedaan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Semua ilmu adalah milik Allah. Yang menjadi tekanan al-Qur’an adalah apakah ilmu tersebut menyadarkan orang akan Tuhan sehingga melahirkan prilaku moral yang sesuai dengan ajaran Tuhan atau tidak. Jadi penghayatan terhadap ilmu itulah yang paling penting. Ilmu-ilmu umum, seperti astronomi, biologi, kedokteran, fisika dan lain-lain, juga dapat meningkatkan keimanan dan kesadaran moral seseorang jika dihayati secara benar dan mendalam. Begitu juga sebaliknya, ilmu-ilmu agama juga dapat diselewengkan oleh orang-orang tertentu untuk kepentingan duniawi dan pribadinya (lihat misalnya, surat al-A’raf ayat 175 dan Ali Imran ayat 187).
Alhasil, ulama adalah mereka yang memiliki atau menguasai ilmu apa pun secara mendalam dan ilmu tersebut telah menyebabkannya memiliki kesadaran Ketuhanan yang mendalam serta kesadaran moral yang tinggi.
Namun demikian ulama juga manusia, ia kadang-kadang juga bisa silap atau lupa. Tidak ada manusia yang ma’shum, yang bebas dari dosa, termasuk juga ulama. Dalam Al Quran ada diriwayatkan jenis ulama semacam ini pada zaman Nabi Musa as. yang telah diberikan kemampuan untuk “mengetahui ayat-ayat Tuhan” akan tetapi pengetahuannya diselewengkan untuk kepentingan duniawi. Kisah ini terdapat dalam Surat al-A’raf ayat 175-176:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِيْ ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِيْنَ {175} وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى اْلأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلُ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِئَايَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang Telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), Kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau kami menghendaki, Sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Kandungan ayat yang senada terdapat dalam Surat Ali Imran,187 tentang adanya orang-orang yang telah diberikan kemamapuan untuk memahami Ktab Allah namun rela “menyembunyikan kebenaran dan menjualnya dengan harga yang sedikit”:
وَإِذْأَخَذَ اللهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَتَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلاً فَبِئْسَ مَايَشْتَرُونَ
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang Telah diberi Kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu [al. tentang kedatangan Nabi Muhammad Saw ] ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.
Ulama sebagai Ahl al-Ijtihad
Dalam literatur klasik ulama dikenal pula dengan istilah ahl al-ijtihad, yaitu orang-orang yang memiliki kemampuan atau kapasitas untuk melakukan ijtihad, yakni upaya maksimal seorang faqih dalam mencari penyelesaian suatu masalah hukum syari’at yang bersifat zhanni.(Al-Syaukani,t.th: 250). Para ulama mendaftarkan beberapa persyaratan yang spesifik untuk ahl al-ijtihad, antara lain:
1. Menguasai al-Qur’an dan Hadits.
2. Mengetahui ijma’ sehingga ia tidak sampai mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijma’.
3. Menguasai bahasa Arab yang memungkinkannya menggali hukum dari al-Qur’an dan Sunnah secara baik dan benar.
4. Menguasai ilmu Ushul Fiqh, karena melalui ilmu inilah diketahui dasar-dasar dan cara-cara berijtihad.
5. Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan).
6. Mengetahui permasalahan sekitar qiyas, mencakup persyaratan- persyaratannya, illat-illat hukum dan metodologi istinbath-nya dari nash.
7. Mengetahui pemahaman tentang maqashid al-syar’iyyah dalam menetapkan hukum. Yang dimaksud dengan maqashid al-syar’iyyah ialah upaya untuk menjaga kemaslahatan manusia dengan jalan mengambil manfaat serta menolak mudharat bagi manusia (al-Zuhaili, 1986: 1044-49).
Selanjutnya, al-Ghazali, seperti dikutip al-Zuhaili, meringkas persyaratan-persyaratan tersebut menjadi dua:
1. Menguasai tujuan syari’at serta mampu menangkap arah maksud syari’at dengan mengerahkan kemampuan nalarnya dan dapat men-taqdim-kan atau men-ta’khir-kan sesuatu menurut seharusnya.
2. Bersifat adil dan jauh dari prilaku maksiat; sebab orang yang maksiat fatwanya tidak dapat dipegang.
Tiap persyaratan di atas tentu masih ada rincian dan klasifikasi dari yang lebih berat kepada yang lebih ringan. Misalnya, pengetahuan tentang al-Qur’an ada yang mencukupkan dengan pengetahuan terhadap ayat-ayat hukum saja. Demikian juga tentang hadits, ada yang menyebutkan cukup dengan penguasaan 500 hadits, tetapi Ahmad bin Hanbal, menurut sebuah riwayat, menghendaki penguasaan 500.000 hadits.
Berat atau ringannya persyaratan di atas tentu relatif, tetapi yang jelas ini merupakan persyaratan-persyaratan objektif yang terbuka untuk dicapai oleh siapa pun yang bekerja keras untuk menekuninya.
Kemajuan ilmu dan teknologi pada zaman modern ini, selain mempermudah beberapa pekerjaan ahl al-ijtihad sesungguhnya juga melahirkan tantangan baru yang tidak kalah besarnya pula. Akibatnya, persyaratan ijtihad tadi tidak memadai lagi sekarang. Selain persyaratan2 tersebut mujtahid sekarang harus memahami pula masalah2 kontemporer yang dihadapinya yang banyak di antaranya merupakan hasil dari revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini.
Salah satu jalan keluar untuk mengantisipasi hal ini sekarang adalah mendahulukan metode ijtihad kolektif (al-ijtihad al-jama’i) daripada ijtihad individual (al-ijtihad al-fardi) yang merupakan kecenderungan masa lalu (Rusli, 1999: 96). Melalui metode seperti ini tinjauan suatu permasalahan dapat dilakukan dengan lebih komprehensif dan peluang berbagai komponen dan keahlian dalam masyarakat untuk ikut serta dalam proses ijtihad ini menjadi lebih terbuka.
Ulama dalam Lintasan Sejarah
Pada masa awal Islam ulama tidak sulit diidentifikasikan dan peran mereka juga jelas dalam masyarakat. Mereka, seperti nabi sendiri, adalah panutan masyarakat, pemimpin dan tempat mengadukan hal dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memberikan tuntunan kepada masyarakat dan juga memutuskan perkara-perkara mereka secara adil. Sepanjang masa kekhalifahan awal (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) tidak ada pemisahan ulama dan umara/pemimpin. Umara adalah ulama itu sendiri dan ulama adalah tetap sebagai pemimpin masyarakat walaupun bukan sebagai pimpinan tertinggi.
Tetapi pasca kekhalifahan empat sahabat besar tersebut, perkembangan sejarah mulai menggeser kedudukan ulama ke posisi yang berorientasi keagamaan ritual semata. Para penguasa lebih menyibukkan diri dengan urusan kekuasaan dan kenegaraan, dan menyerahkan urusan agama kepada ulama. Namun demikian keadaan seperti ini ada sisi positifnya, apalagi mengingat bahwa kekuasaan Islam telah semakin luas dan persoalan kehidupan telah semakin kompleks sehingga memerlukan kepada pembagian kerja secara proporsional: ulama mengurus agama dan umara mengurus negara. Di sisi lain, ulama yang berdiri di luar kekuasaan dapat dengan leluasa memantau dan mengkritik penguasa apabila melakukan penyimpangan. Bahkan pada zaman tersebut kebanyakan ulama lebih cenderung menolak melibatkan diri dalam jaringan kekuasaan atau pemerintahan agar dapat mengemban amanat “keagamaan” dan ilmu pengetahuan secara lebih total dan lebih sempurna. Pada zaman itulah fiqh berkembang dengan pesat dan di luar campur tangan kekuasaan. Namun, bukan tidak ada ulama yang mengabdi untuk kekuasaan, menggunakan ilmunya untuk mendapatkan keuntungan duniawi dan kepentingan pribadi.
Tapi yang jelas bahwa kekuasaan politik telah terpisah dari agama sejak berakhirnya zaman Khulafa’ al-Rasyidun, dan ulama mulai memerankan dirinya secara lebih terbatas. Setelah terjadi penjajahan dunia Barat terhadap negara-negara Muslim, keadaan semakin menyedihkan sebab ulama benar-benar digeser dari percaturan politik untuk kepentingan penjajahan. Perkembangan keilmuan Islam hancur berantakan dan ulama justeru mulai diawasi oleh kekuasaan. Keadaan seperti inilah yang terus berlanjut sampai sekarang, bahkan di dunia Islam sekalipun: ulama diawasi, bukan lagi mengawasi.
Melihat sosok dan kepribadian Rasulullah SAW dari sisi pandang ulama yang memiliki aqidah, akhlak, dan syari’ah sehingga mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat, maka agak sulit bagi kita hari ini mencari sosok ulama yang seumpama itu. Namun karena pengertian lughawinya bermakna orang ‘alim atau orang yang berilmu pengetahuan, maka siapa saja yang memiliki salah satu bidang ilmu pengetahuan sudah memenuhi syarat untuk dipanggil sebagai ulama. Walaupun sifat dan status keulamaannya ada dalam kapasitas yang lebih terbatas.
Di Aceh hari ini banyak orang yang disebut ulama tanpa adanya satu ukuran kapasitas dan akreditasi. Yang bisa membahayakan ummat adalah ketika berhadapan dengan sesuatu persoalan hukum, ketika masyarakat bertanya kepada orang yang dipanggil ulama langsung dijawab dan diberikan fatwa. Perkara seperti ini bisa menimbulkan ekses negatif yang berkepanjangan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu jika penunjukan istilah ulama ini tidak memiliki acuan yang tepat, ia dapat menjadi sesuatu yang cenderung royal dan mengalami devaluasi.
Profil dan Peran Ulama Aceh
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menerangkan ada dua macam ulama yang berkiprah di dunia ini, yang pertama adalah ulama dunia dan yang kedua ulama akhirat. Yang dimaksud dengan ulama dunia adalah ulama’ al-su’ (ulama buruk) yaitu ulama-ulama yang bertujuan untuk menikmati kehidupan dunia semata-mata dengan mengejar pangkat, jabatan dan harta benda baik untuk dirinya maupun anggota keluarganya. Di sini al-Ghazali menurunkan setidaknya tujuh hadits dan sembilan atsar yang mengecam keras ulama semacam ini (Al-Ghazali, 1995: 58).
Dalam masyarakat Aceh sekarang ini, keadaannya belum begitu menggembirakan. Pada masa Orde Baru, ulama benar-benar diawasi oleh kekuasaan. Memang ada juga sebagian ulama yang secara diam-diam menentang kekuasaan, tetapi jika ketahuan, mereka tentu dibungkamkan. Gejala-gejala seperti itu sekarang pun agaknya juga masih tersisa, namun dengan cara yang lebih tersembunyi. Ulama belum dapat berbicara secara leluasa dan terbuka. Perbedaan pendapat masih sangat tabu dan dianggap sebagai sumber kekacauan. Persoalan yang paling mendasar di sini adalah adanya konflik politik yang belum dapat dengan tuntas diselesaikan. Sehingga setiap pihak hanya mengakui ulama yang sepakat dengan kelompoknya dan menolak pendapat sebaliknya. Sejarah telah berulang kembali: ulama telah dieksploitasi untuk kepentingan politik. Mereka dihargai, tetapi hanya sebatas kepentingan tertentu saja.
Jika demikian halnya, ulama tidak dapat memainkan peran yang signifikan di tengah-tengah masyarakat. Mereka bukan hanya khawatir soal keamanan tetapi juga soal pertikaian antara sesama ulama yang mungkin saja terjadi akibat tindakan adu domba dan fitnah.
Kalau kita kembali pada definisi ulama di atas, ulama seharusnya dapat memainkan perannya sebagai orang-orang yang dapat mengubah jalannya sejarah ke arah yang lebih baik dan tercerahkan. Tetapi sejarah sendiri, seperti kita lihat di atas, telah mengubah mentalitas ulama sehingga tidak lagi mampu melaksanakan perannya secara optimal.
Dalam sejarah Aceh, ulama sebenarnya memiliki peran sebagai penyebar ilmu dan dakwah Islam serta pendamping kekuasaan atau sultan. Ulama dan sultan adalah mitra sejajar yang bekerja untuk memimpin dan mendidik masyarakat serta menciptakan kehidupan yang adil dan makmur. Keadaan seperti ini sebenarnya tidak sulit dikembalikan, apalagi mengingat bahwa masyarakat Aceh dan juga para pemimpin di Aceh adalah orang-orang Muslim yang kita yakin masih memiliki kemauan dan komitmen keagamaan yang tinggi. Ini adalah tugas kita semua dari setiap lapisan masyarakat dan dari profesi apa pun yang kita tekuni. Dan hal ini yang pertama perlu kita lakukan adalah mengembalikan semangat masyarakat untuk mencintai ilmu dan menghargai serta menghormati ulama atau penguasa ilmu itu sendiri.
Fungsi dan peran ulama sebagai penyebar ilmu dan dakwah Islam barangkali tidaklah sulit dijalankan, baik melalui lembaga-lembaga pendidikan maupun berbagai media massa. Namun perannya sebagai pemantau kekuasaan ataupun sebagai mitra kekuasaan dalam rangka menentramkan dan memakmurkan kehidupan rakyat barangkali akan berhadapan dengan sejumlah tantangan, apalagi jika kekuasaan itu sendiri berada di tengah-tengah pertikaian atau konflik. Termasuk dalam tugas ini juga, penegakan amar makruf dan pencegahan terhadap yang munkar.
Persoalan Ulama Perempuan
Tidak ada larangan bagi perempuan untuk menjadi ulama. Syarat untuk menjadi ulama, dalam al-Qur’an seperti telah didiskusikan di atas, adalah beriman dan berilmu; kriteria ulama adalah takut kepada Allah. Nabi sendiri menyuruh menuntut ilmu kepada umatnya laki-laki dan perempuan. Jadi Islam sebenarnya sangat mendorong pemeluknya baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi ulama: manusia yang tunduk kepada Tuhan dan mempunyai komitmen keilmuan.
Namun, dalam kenyataannya sekarang sangat sedikit, atau barangkali hampir tidak ada, ulama perempuan atau perempuan yang dianggap ulama. Faktor utama yang menyebabkan hal ini barangkali atmosfir kebudayaan atau tradisi masyarakat kita yang tidak mendukung. Perempuan cenderung mengambil tempat atau ditempatkan pada posisi marginal. Dari sejak awal perempuan dianggap semacam kelompok pinggiran. Maka bagaimana mungkin sumber daya mereka dapat dihargai dengan selayaknya? Karena itu kesempatan mengecap pendidikan lebih tinggi kepada perempuan pun menjadi berkurang atau terbatas.
Beberapa orang barangkali merasakan ketidakadilan jender dalam beberapa hal, misalnya mengapa di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) tidak ada anggota ulama yang perempuan. Jawaban yang bisa disodorkan adalah karena memang tidak ada yang memenuhi syarat: tidak ada perempuan yang diakui sebagai ulama, atau tidak ada perempuan yang (berani?) mengaku dirinya ulama. Kita tidak perlu merasa sesak nafas dengan pertanyaan dan jawaban seperti itu. Kenyataan hari ini tidak lain adalah konsekuensi sejarah yang kita perankan dan peradaban yang kita bangun di masa silam. Sejarah masa lalu kita (masyarakat Muslim) adalah sejarah yang cenderung menutup mata terhadap potensi atau sumberdaya yang ada pada kaum perempuan. Peradaban masa lalu kita adalah peradaban yang telah bercampur aduk dengan berbagai mitos dan dogma yang merendahkan perempuan; sebagiannya berasal dari luar Islam dan sebagian lagi berasal dari kesalah-pahaman kaum Muslim sendiri terhadap nash-nash ajaran Islam.
Karena itu yang diperlukan masyarakat hari ini bukanlah saling menyalahkan tetapi saling memperbaiki, bukan hanya mengoreksi orang lain tetapi juga introspeksi terhadap diri sendiri. Memang masih banyak masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat sekitar eksistensi dan posisi perempuan, baik dalam peran mereka di sektor publik maupun pada sektor domestik. Namun sejarah menunjukkan bahwa perempuan mampu memainkan peran yang seimbang dengan, bahkan melebihi, kaum laki-laki. Peran Ratu negeri Saba yang disebutkan al-Qur’an adalah salah satu contoh. Al-Qur’an mengungkapkannya tanpa disertai cela sedikit pun, menunjukkan sebuah pengakuan akan keabsahannya. Khadijah dan ‘Aisyah adalah contoh langsung dalam sejarah Islam. ‘Aisyah adalah shahabat yang keulamaannya diakui oleh sahabat-sahabat besar lainnya. Soal perempuan jadi pemimpin/imam atau imam dalam shalat sekali pun, jika memang terdapat perempuan yang memiliki kharisma, ilmu dan kehormatan dan berbagai keutamaan yang melebihi laki-laki, maka tidak ada yang membuatnya tercela jadi pemimpin atau imam, bahkan imam shalat sekali pun. Nabi sendiri pernah mengangkat seorang wanita, Ummu Waraqah binti Naufal al-Anshary sebagai imam shalat untuk keluarganya di mana terdapat laki-laki dan perempuan sebagai makmum. Memang jumhur ulama, termasuk al-Syafi’i dan Abu Hanifah tidak membolehkan perempuan jadi imam bagi laki-laki, tetapi al-Muzni dan Abu Tsaur membolehkannya; Ibnu Jarir al-Thabari membolehkan imam perempuan untuk shalat tarawih jika tidak ada laki-laki penghafal al-Qur’an yang hadir (Al-Shan’ani/II: 28-35).
Berbicara tentang ulama perempuan di Aceh sangat sulit untuk diberikan satu contoh konkrit dalam kesempatan ini, karena di Aceh yang banyak terlukis dalam sejarah adalah pemimpin dan pejuang wanita tapi mereka tidak pernah diangkat sebagai ulama wanita asal Aceh. Walaupun kemampuan mereka barangkali memenuhi syarat untuk gelar seorang ulama bila dibandingkan dengan para ulama lelaki yang begitu banyaknya. Karenanya untuk memastikan seorang ulama wanita di Aceh yang pernah berkiprah sebagaimana ulama lelaki memang sangat sulit bagi kita, walaupun kita bisa mengatakan itu bukan berarti tidak ada.
Tidak adanya ulama perempuan hari ini adalah akibat dari sebuah kecelakaan sejarah semata. Kita perlu meluruskannya dan melakukan usaha maksimal untuk memberikan kesempatan yang seimbang kepada perempuan untuk meraih ilmu pengetahuan yang lebih tinggi. Perkawinan dan pengurusan anak-anak sebenarnya bukan alasan untuk menghambat mereka mengejar cita-cita keilmuannya. Tapi ini cukup banyak dijadikan alasan untuk mengurung perempuan di rumah dengan segala aktivitas rutin yang seakan-akan tugas perempuan semata.
Dalam masyarakat kita ulama memang memiliki kharisma yang tinggi dan suaranya didengar orang banyak, khususnya Ulama dengan U besar. Karena itu, tidak adanya ulama perempuan menyebabkan tidak terwakilinya suara-suara mereka untuk didengarkan secara publik dan dijadikan bahan pertimbangan dalam putusan-putusan penting. (****)
Penulis Prof. Dr. Rusjdi Ali Muhammad, SH, Sekjen PB Al Washliyah. Dosen Pascasarjana IAIN Ar Raniry. Jalan Ar Raniry, No. 1 Kopelma Darussalam-Banda Aceh, 23111. Email: sinyakdara@yahoo.com
- See more at: http://kabarwashliyah.com/2013/03/11/ulama-dalam-al-quran/#sthash.oQxWwXxn.dpuf

No comments: