Raut muka wanita itu berubah pucat. Dia, yang sebelumnya tergesa-gesa menemui seorang yang terkenal kealimannya demi menanyakan sebuah masalah, tiba-tiba merasa beban dikepalanya bertambah berat. Bagaimana tidak, sebelum sempat mengutarakan maksud kedatangannya,di depan orang alim itu, dia malah tak mampu menahan kentut. Bunyinya seakan menggema memenuhi ruangan. Dan malu yang tak tertahankan membuat tubuh wanita itu membeku diam-diam.
Hampir saja dia memutuskan untuk berlari pulang, sebelum suara orang alim itu menahannya, "coba engkau ulangi lagi pertanyaanmu, saudariku,"
Wanita itu tak segera menjawab. Dan ditengah keheranannya, orang alim itu menegaskan lagi, "Aku ini tuli. Apa yang kau katakan padaku di awal tadi, sama sekali tak ku mengerti. Ulangilah pertanyaanmu tadi,"
Maka legalah perasaan wanita itu seketika. Suara kentutnya yang menggema tadi, ternyata dianggap sebuah pertanyaan oleh orang alim yang tuli itu. Hari itu, wanita tersebut mendapat dua keburuntungan: masalah yang dia tanyakan mendapat solusi, dan hal yang membuatnya teramat malu--suara kentutnya, tak diketahui orang lain selain dirinya.
Dan sebab kejadian itu pula, orang yang alim itu kemudian dipanggil Hatim al Asham, Hatim yang tuli. Demi menjaga kehormatan dan perasaan wanita tersebut, beliau berpura-pura tuli selama 15 tahun sampai akhirnya wanita itu meninggal. Orang-orang kemudian lebih mengenalnya dengan Hatim Al Asham, daripada nama asli beliau Abdul Rahman Hatim bin Alwan, karena kasih sayang dan kepeduliannya yang begitu besar terhadap kehormatan orang lain. Beliau wafat di Baghdad, sekitar 237 Hijriyah. Beliau adalah seorang alim, waliyullah, yang kisahnya di atas mampu membuat kita merenung kembali sampai dimanakah akhlak dan kasih sayang kita terhadap kekurangan orang lain.
oleh Oenggoel Djanardana
No comments:
Post a Comment