MENJAWAB KEJAHATAN WAHHABI MENUKIL KITAB.
Kitab I’anatuth Thalibin (إعانة الطالبين) kitab Fiqh karangan al 'Allamah Asy syekh imam Abi Bakr Ibnu as Sayyid Muhammad Syatha Ad Dimyatiy Asy Syafi’i, yg merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in, Kitab ini sangat masyhur dikalangan masyarakat Indonesia,malaysia dan juga salah satu kitab yg menjadi rujukan pengikut mazhab Syafi’iyyah dalam ilmu Fiqh diseluruh dunia. Namun ada sebagain kecil kalangan yg tidak bermazhab Syafi’i (anti Mazhab), mengaku pengikut "SALAF" (entah salaf yg mana??) memotong isi kitab ini untuk mengharamkan Tahlilan yg merupakan amalan sudah masyhur dikalangan pengikut mazhab Syafi’i.
Bukannya berdakwah secara benar namun yg mereka lakukan, malah menunjukkan kedengkian hati mereka dan ketidak jujuran mereka dalam menukil perkataan ulama. dari nukilan tidak jujur.
Setidak-tidaknya ada 5 (dua dulu yg kita bahas) pernyataan yg di temukan, yg mereka seleweng dari kitab I’anah at Thalibin secara tidak jujur & memelintir maksud dari pernyataan tersebut untuk mengharamkan Tahlilan.
Ini banyak dicantumkan di SITUS² blog link mereka dan dikutip oleh sesama mereka secara serampangan pula.
Berikut dua hal yg mereka nukil secara tidak jujur.
1. Teks arabnya :
(نعم ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام, من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر).
“Ya, apa yg dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah, yg akan diberi pahala bagi orang yg mencegahnya, dengannya Allah akan kukuhlah kaidah² agama, dan dengannya dapat mendukung Islam dan muslimin” (I’anatuth Thalibin, 2, 165)
Nukilan diatas merupakan bentuk ketidakjujuran, dimana orang yg membacanya akan mengira bahwa berkumpul di tempat ahlu (keluarga) mayyit dan memakan makanan yg disediakan adalah termasuk bid’ah Munkarah, padahal bukan seperti itu yg dimaksud oleh kalimat tersebut. Mereka telah menggunting (menukil secara tidak jujur) kalimat tersebut sehingga makna (maksud) yg dkehendaki dari kalimat tersebut menjadi kabur. Padahal, yg benar, bahwa kalimat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan yg ditanyakan sebelumnya. Itu sebabnya, kalimat yg mereka nukil dimulai dengan kata “na’am (iya)”.
- Berikut teks lengkapnya;
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة, ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام , بما له من الرفق بالرعية, والشفقة على الاهالي , بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟.
“Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni pertanyaan yg ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah tentang apa yg dilakukan oleh Ahlu (keluarga) mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai keduanya pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitu mengenai (bagaimana) pendapat para Mufti, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa), tentang kebiasaan adat (urf) yg khusus di suatu negeri bahwa jika ada yg meninggal, kemudian para pentakziyah hadir dari yg mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri dengan beban yg sempurna dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yg banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yg dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada As Sunnah yang lurus, yg berasal dari manusia yg Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yg disebutkan (pelarangan itu) ?
أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور. (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام, من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر, ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
“Penjelasan sebagai jawaban terhadap apa yg telah di tanyakan,...
(الحمد لله وحده)
وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده,
Ya .. Allah aku memohon kepada-Mu supaya memberikan petunjuk kebenaran”.Iya.., apa yg dilakukan oleh manusia dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yg diberi pahala bagi yg mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah² agama dan mendorong Islam serta umat Islam”.
Betapa apa yg dikehendaki dari pernyataan diatas telah keluar konteks saat pertanyaannya dipotong sebagaimana nukilan mereka dan ini yg mereka gunakan untuk melarang Tahlilan.
Ketidak jujuran ini yg mereka dakwahkan untuk menipu umat Islam atas nama Kitab I’anatut Thalibin.
Dalam pertanyaan dan jawaban diatas, yg sebenarnya termasuk bagian dari bid’ah Munkarah adalah kebiasaan pentakziyah menunggu makanan di tempat ahlu (keluarga) yg terkena mushibah kematian, akal sehat pun akan menganggap bahwa kebiasaan itu tidak wajar dan memang patut untuk di hentikan. Maka, sangat wajar juga bahwa Mufti diatas menyatakan kebiasaan tersebut sebagai bid’ah Munkarah, dan penguasa yg menghentikan kebiasaan tersebut akan mendapat pahala. Namun, karena keluasan ilmu dari Mufti tersebut tidak berani untuk menetapkan hukum “Haram” kecuali jika memang ada dalil yg jelas dan sebab-sebabnya pun luas.
Tentu saja, Mufti tersebut kemungkinan akan berkata lain jika membahasnya pada sisi yg lebih umum (bukan tentang kasus yg ditanyakan), dimana pentakziyah datang untuk menghibur, menyabarkan ahlu (keluarga) mayyit bahkan membawa (memberi) bantuan berupa materi untuk pengurusan mayyit dan untuk menghormati pentakziyah yg datang.
Pada kegiatan Tahlilan orang tidak akan datang ke rumah ahlul mushibah dengan kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak tuan rumah.
Jika tuan rumah merasa berat tentu saja tidak perlu mengadakan tahlilan dan tidak perlu mengundang. Namun, siapa yang lebih mengerti dan paham tentang “memberatkan” atau “beban” terhadap keluarga mayyit sehingga menjadi alasan untuk melarang kegiatan tersebut, apakah orang lain atau ahlu (keluarga) mayyit itu sendiri ? tentu saja yang lebih tahu adalah ahlu (keluarga) mayyit. Keinginan ahlu (keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan dan mengundang tetangga atau orang lain untuk datang ke kediamannya merupakan pertanda ahlu (keluarga) mayyit memang menginginkannya dan tidak merasa keberatan, sementara para tetangga (hadirin) yg diundang sama sekali tidak memaksa ahlu (keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan.
Ahlu (keluarga) mayyit mengetahui akan dirinya sendiri bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudaranya yg meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka di undang dan memenuhi undangan ahlu (keluarga) mayyit.
Sungguh betapa sangat menyakitkan hati ahlu (keluarga) mayyit jika undangannya tidak dipenuhi dan bahkan makanan yg dihidangkan tidak dimakan atau tidak disentuh. Manakah yg lebih utama, melakukan amalan yang “dianggap makruh” dengan menghibur ahlu (keluarga) mayyit, membuat hati ahlu (keluarga) mayyit senang atau menghindari “yg dianggap makruh” dengan menyakiti hati ahlu (keluarga) mayyit ?
Tentu saja akalnya sehat pun akan menilai bahwa menyenangkan hati orang dengan hal² yg tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yg berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yg dapat berakibat dosa.
Disisi yang lain antara ahlu (keluarga) mayyit dan yg diundang, sama² mendapatkan kebaikan. Dimana ahlu (keluarga) mayyit telah melakukan amal shaleh dengan mengajak orang banyak mendo’akan anggota keluarga yg meninggal dunia, bersedekah atas nama mayyit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman. Pada sisi yg di undang pun sama² melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo’akan mayyit, berdzikir bersama, menemani dan menghibur ahlu (keluarga) mayyit. Manakah dari hal-hal baik tersebut yg diharamkan ?
Sungguh ulama yg mumpuni benar² bijaksana dalam menetapkan hukum “makruh” karena melihat dengan seksama adanya potensi “menambah kesedihan atau beban merepotkan”, meskipun jika seandainya hal itu tidak benar² ada.
Adanya sebagian kegiatan Tahlilan yg dilakukan oleh orang awam, yg sangat membebani dan menyusahkan, karena ketidak mengertiannya pada dalam masalah agama, secara umum tidak bisa dijadikan alasan untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Bagi mereka lebih pantas diberi tahu atau diajari bukan di hukumi.
Lanjut...
Point Kedua (2) : Juga bentuk ketidak jujuran dan mensalah pahami maksud dari kalimat tersebut. Kata yg seharusnya merupakan status hukum namun diterjemahkan sehingga maksud yg terkandung dari pernyataan tersebut menjadi berbeda.
Ungkapan² ulama seperti akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yg dianggap jelek), semua itu mereka pahami sebagai larangan yg berindikasi hukum haram mutlak. Padahal didalam kitab tersebut, berkali-kali dinyatakan hukum “makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah ahlu (keluarga) mayyit dan dihidangkan makanan,terlepas dari hukum² perkara lain seperti takziyah, hukum mendo’akan, bersedekah untuk mayyit, dimana semua itu dihukumi sunnah.
Terjemahan “mereka” :“Dan apa yg dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yg tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadis shahih yg diriwayatkan dari Jarir ra: "Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) yakni terlarang.
Berikut teksnya (yg benar),....
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه, بدعة مكروهة , كإجابتهم لذلك, لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
"Dan kebiasaaan dari ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk mengundang (mengajak) menusia kepadanya, ini bid’ah makruhah (bid’ah yg makruh), sebagaimana mereka memenuhi ajakan itu, sesuai dengan hadis shahih dari Jarir ra, “Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul ke ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan (untuk mereka) setelah dikuburnya (mayyit) adalah bagian dari meratap.
Mereka secara tidak jujur menterjemahkan status hukum “Makruh” pada kalimat diatas dan hal itu sudah menjadi tuntutan untuk tidak jujur bagi mereka sebab mereka telah menolak pembagian bid’ah. Karena penolakan tersebut, maka mau tidak mau mereka harus berusaha memesongkan maksud bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh) tersebut.
Padahal bid’ah juga dibagi menjadi lima (5) status hukum namun mereka tolak, sebagaimana yg tercantum dalam kitab Imam an-Nawawi yaitu Syarah Shahih Muslim :
أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam:
Bid’ah yg wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yg haram), makruhah (bid’ah yg makruh), dan mubahah (mubah)”
Bila ingin memahami perkataan Ulama mazhab Syafi’I, maka pahami juga istilah² yg ada dan digunakan didalam mazhab Syafi’i. Penolakan mereka terhadap pembagian bid’ah ini, mengandung konsekuensi yg besar bagi mereka sendiri saat dihadapkan dengan kitab² ulama Mazhab Syafi’iyyah, dan untuk menghidarinya, satu-satunya jalan adalah dengan jalan tidak jujur atau mengaburkan maksud yg terkandung dari sebuah kalimat.
Siapapun yg mengikuti pemahaman mereka maka sudah bisa dipastikan keliru.
Status hokum yang disebutkan pada kalimat diatas adalah “Makruh”. Makruh adalah makruh dan tetap makruh, bukan haram. Dimana pengertian makruh adalah “Yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi, yaitu mendapat pahala apabila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila di lakukan”.
Makruh yg disebutkan diatas, juga terlepas dari hukum takziyah itu sendiri.
Kemudian persoalan “an Niyahah (meratap)” yg pada hadis Shahih diatas, dimana hadis tersebut juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah :
“Kami (para sahabat) memandang berkumpul di ahlu (keluarga) mayyit dan membuat makanan termasuk bagian dari meratap”“An Niyahah” memang perbuatan yg dilarang dalam agama. Namun, bukan berarti sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat ada anggota keluarga yg meninggal dunia, sedangkan Rasulullah saja menangis mengeluarkan air mata saat cucu Beliau (Fatimah) wafat.
Disaat Beliau mencucurkan air mata, (sahabat) Sa’ad berkata kepada Rasulullah,..
فقال سعْد يا رسول الله ما هذا فقال هذه رحْمة جعلها اللله في قلوب عباده وإنما يرْحم الله منْ عباده الرحماء.
“..maka Sa’ad berkata ; Ya .. Rasulullah apakah ini ? “Ini (kesedihan ini) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, Allah hanya merahmati hamba²-Nya yg mengasisihi (ruhama’)” (Hr Bukhari).
Rasulullah juga menangis saat menjelang wafatnya putra Beliau yg bernama Ibrahim, sebagaimana yg diriwayatkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf ra :
“..maka Abdurrahmah bin ‘Auf berkata kepada Rasulullah, “dan anda wahai Rasulullah ?, Rasulullah berkata, “wahai Ibnu ‘Auf sesungguhnya (tangisan) itu rahmat, dalam sabda yg lain beliau kata, “sesungguhnya mata itu mencucurkan air mata, dan hati bersedih, dan kami tidak mengatakan kecuali apa yg menjadi keridhaan Allah, sesungguhnya aku adalah orang yg bersedih karena perpisahanku dengan Ibrahim”. (Hr Imam Bukhari).
Rasulullah juga menangis di makam ibunda beliau sehingga orang yg bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis² shahih.
Maka meratap yg sebenarnya dilarang (diharamkan) yg disebut sebagai “An Niyahah” adalah menangisi mayyit dengan suara keras hingga menggerung apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti memukul-mukul atau menampar pipi,
menarik-narik rambut, dan lain sebagainya.
Kembali kepada status hukum “Makruh” diatas, sebagaimana juga dijelaskan didalam Kitab al Mughni :
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية.
“Maka adapun bila ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk orang, maka itu Makruh, karena boleh menambah atas mushibah mereka, menambah kesibukan mereka (menyibukkan) dan meniru-niru perbuatan Jahiliyah”.
Makruh bukan haram, dan status hukum Makruh bisa berubah menjadi Mubah (Jaiz/boleh) jika keadaannya sebagaimana digambarkan dalam kitab yg sama :
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه.
“Dan jika melakukannya karena ada (sebab) hajat, maka itu diperbolehkan (Jaiz), karena barangkali diantara yg datang ada yg berasal dari pedesaan, dan tempat² yg jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tidak bisa (tidak mungkin) kecuali mereka mesti di jamu (diberi hidangan)” .Wallahu a'lam.
SS Dibawah adalah fitnah belaka.