Cara Mudah Membantah Ajaran Sesat Wahhabi (Pelajari Dan Sebarkan)
Anda katakan kepada mereka: “Ajaran agama kamu itu baru, dirintis oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab. Buktinya, tidak ada seorang muslim-pun sebelum Muhammad Ibn Abdul Wahhab yang mengharamkan perkataan: ”Yaa Muhammad (Wahai Muhammad)...”. Bahkan orang yang oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab disebutnya sebagai “Syaikh al-Islam”; yaitu Ahmad ibn Taimiyah telah membolehkan mengucapkan “Ya Muhammad…” bagi orang yang sedang kesusahan kerana tertimpa semacam lumpuh pada kakinya .
Ibn Taimiyah mengatakan bahwa dianjurkan bagi orang yang tertimpa semacam kelumpuhan pada kaki yang tidak dapat digerakan untuk mengucapkan “Yaa Muhammad…”. Yang dimaksud pada kaki di sini bukan artinya “kesemutan”, juga bukan lumpuh yang permanen, tapi yang dimaksud adalah lumpuh sementara kerana terlalu lama duduk atau semacamnya.
Ibn Taimiyah mengatakan bahwa dianjurkan bagi orang yang tertimpa semacam kelumpuhan pada kaki yang tidak dapat digerakan untuk mengucapkan “Yaa Muhammad…”. Yang dimaksud pada kaki di sini bukan artinya “kesemutan”, juga bukan lumpuh yang permanen, tapi yang dimaksud adalah lumpuh sementara kerana terlalu lama duduk atau semacamnya.
Rekomendasi Ibn Taimiyah ini ia dasarkan kepada apa yang telah dilakukan oleh sahabat Abdullah ibn Umar, bahwa suatu ketika sahabat yang mulia ini tertimpa pada kakinya, lalu ada orang yang berkata kepadanya: “Sebutkan orang yang paling engkau cintai!!”, kemudian Abdullah ibn Umar berkata: “Yaa Muhammad…”.
Anda katakan kepada kaum Wahhabi: “Ibn Taimiyah yang kamu sebut sebagai “syaikh al-Islam” membolehkan perkara di atas, sementara kamu menamakan itu sebagai kekufuran. Dalam hal ini, bahkan Ibn Taimiyah sendiri terbebas dan tidak sejalan dengan apa yang kamu yakini. Dengan dasar apa kamu mengaku sebagai bagian dari orang-orang Islam?! Kamu bukan orang-orang Islam, kerana kamu mengkafirkan seluruh umat Islam yang mengucapkan ”Ya Muhammad...”, padahal tidak ada seorangpun yang mengharamkan perkataan ”Ya Muhammad...” kecuali kamu sendiri yang pertamakali mengharamkannya.
Dan sesungguhnya barangsiapa mengkafirkan umat Islam maka dia sendiri yang kafir, kerana umat ini akan senantiasa akan berada dalam agama Islam hingga hari kiamat. Imam al Bukhari dalam kitab Shahih meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
لَنْ يَزَال أمْرُ هذِه الأمّةِ مُسْتَقِيْمًا حَتّى تَقُوْمَ السّاعَةُ أوْ حَتّى يَأتِيَ أمْرُ اللهِ (روَاه البُخَاري)
”Senantiasa urusan umat ini akan selalu dalam kebenaran hingga datang kiamat, atau hingga datang urusan Allah” (HR. al Bukhari)
Jika mereka berkata: ”Ibn Taimiyah tidak berkata demikian!!”, maka anda katakan kepada mereka: ”Ada buktinya, itu ditulis oleh Ibn Taimiyah dalam bukunya berjudul ”al Kalim ath Thayyib”. Para ulama yang menuliskan biografi Ibn Taimiyah mengatakan bahwa ”al Kalim ath Thayyib” benar-benar sebagai salah satu dari karya-karyanya, di antaranya disebutkan oleh Shalahuddin ash-Shafadi; salah seorang yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri dan banyak mengambil darinya.
”Senantiasa urusan umat ini akan selalu dalam kebenaran hingga datang kiamat, atau hingga datang urusan Allah” (HR. al Bukhari)
Jika mereka berkata: ”Ibn Taimiyah tidak berkata demikian!!”, maka anda katakan kepada mereka: ”Ada buktinya, itu ditulis oleh Ibn Taimiyah dalam bukunya berjudul ”al Kalim ath Thayyib”. Para ulama yang menuliskan biografi Ibn Taimiyah mengatakan bahwa ”al Kalim ath Thayyib” benar-benar sebagai salah satu dari karya-karyanya, di antaranya disebutkan oleh Shalahuddin ash-Shafadi; salah seorang yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri dan banyak mengambil darinya.
Kemudian salah seorang pemuka kaum Wahhabi; al Albani, juga mengakui bahwa al Kalim ath Thayyib adalah salah satu karya Ibn Taimiyah, dan bahkan ia membuat catatan tambahan (ta’liq) terhadap kitab tersebut, walaupun ia berkata bahwa sanad tentang perkataan sahabat Abdullah ibn Umar tersebut adalah dla’if.
Namunbegitu, walaupun al-Albani menilai sanad tentang perkataan Ibn Umar tersebut dla’if tetapi penilaiannya itu sama sekali tidak memberikan pengaruh apapun, oleh kerana Ibn Taimiyah telah mengutip riwayat itu dalam kitabnya tersebut dengan menamakannya ”Fasal: Tentang kaki apa bila terkena ”, lalu ia menamakan kitabnya tersebut dengan ”al-Kalim ath-Thayyib”, artinya ”Perkataan yang baik” (Lihat kitab, h. 73).
Bahkan, seandainya benar sanad riwayat tersebut berkualiti dla’if (seperti yang sangka al Albani); tetapi Ibn Taimiyah telah jelas-jelas membolehkan hal itu yang kerananya ia mengutip dalam kitabnya tersebut, dan ia namakan dengan ”al Kalim ath Thayyib”. Dari sini anda katakan kepada mereka: ”Dengan demikian siapa sebenarnya yang telah kafir, apakah Ibn Taimiyah yang kamu sebut sebagai ”Syaikh al-Islam” atau kamu sendiri ?!
Secara tersirat sebenarnya orang-orang wahhabi tersebut telah mengkafirkan Ibn Taimiyah; baik mereka sendiri sadar atau tidak. Sampai di sini tentu mereka tidak berani untuk mengatakan Ibn Taimiyah kafir, juga mereka tidak akan mengatakan bahwa mereka sendiri sebagai orang-orang kafir. Mereka tidak akan memiliki jawaban untuk ini.
Dari sini kita katakan kepada mereka: ”Jika demikian, maka benar bahwa ajaran agama kamu itu adalah ajaran yang baru. Kerana dengan pendapat kamu yang mengharamkan perkataan ”Ya Muhammad...” berarti kamu telah mengkafirkan seluruh umat Islam dari semenjak masa Rasulullah hingga masa kita sekarang ini. Dan bahkan baik disadari oelh kamu atau tidak; kamu telah mengkafirkan ”imam utama” kamu, yaitu Ibn Taimiyah yang jelas-jelas telah membolehkan perkataan ”Ya Muhammad...” saat kaki terkena ”. Mereka akan terdiam seribu bahasa tidak memiliki argumen.
Terlebih dari pada itu semua, tentang penilaian al-Albani yang mengklaim sanad riwayat perkataan Ibn Umar tersebut sebagai sanad yang dla’if, penilaiannya sama sekali tidak dapat dijadikan landasan, kerana dia seorang yang tidak memiliki otoritas untuk melakukan penilaian hadis; dla’if atau shahih. Dia bukan seorang hafizh al-hadis, bahkan ia akui sendiri bahwa ia tidak hafal walaupun hanya sepuluh buah hadis saja dengan sanad-sanadnya. Ia hanya mengaku-aku bagi dirinya sendiri bahwa dia adalah ”muhaddits kitab” bukan ”muhaddits hifzh”.
Kemudian jika orang-orang Wahhabi berkata: ”Ibn Taimiyah meriwayatkan perkataan Ibn Umar tersebut dari seorang perawi yang masih diperselisihkan (Mukhtalaf fih)”, maka anda katakan kepada mereka: ”Ibn Taimiyah jelas-jelas meriwayatkannya dalam kitabnya tersebut, itu artinya sebagai bukti bahwa ia menganggap baik perkataan ”Ya Muhammad...”, baik riwayat tersebut shahih atau tidak shahih. Kerana seorang yang meriwayatkan sesuatu yang batil sementara ia tidak mengingkarinya itu artinya ia menganggap baik sesuatu tersebut dan menyeru kepadanya.
Kisah tentang perkataan sahabat Abdullah ibn Umar di atas diriwayatkan oleh al Hafizh Ibn as Sunny (Lihat ’Amal al Yaum Wa al Laylah, h. 72-73), juga oleh al Bukhari dalam kitab al Adab al Mufrad (Lihat h. 324) dengan jalur sanad selain sanad Ibn as Sunny.
Demikian pula telah diriwayatkan oleh al Hafizh al Kabir Imam Ibrahim al Harbi; seorang yang dalam ilmu dan sikap wara’-nya serupa dengan Imam Ahmad ibn Hanbal, dalam kitab Gharib al Hadis, yang juga dengan jalur sanad selain sanad Ibn as-Sunny (Lihat Gharib al Hadis, j. 2, h. 673-674).
Diriwayatkan pula oleh al Hafizh an Nawawi (Lihat al Adzkar, h. 321), oleh al Hafizh Ibn al Jazari dalam kitab al Hishn al Hashin dan dalam kitab ’Iddah al Hishn al Hashin (Lihat h. 105), dan oleh asy Syaukani; seorang yang dalam beberapa masalah sejalan pemahaman Wahabi. Lihat -wahai orang-orang Wahabi-, asy Syaukani meriwayatkannya dalam Tuhfah adz-Dzakirin (Lihat, h. 267), sementara kamu menganggap perkataan ”Ya Muhammad...” sebagai kekufuran ?!
Wahai kaum Wahhabi hendak lari kemana kamu?! Jelas tersingkap ”kedok sesat ” ajaran kamu. Lihat pula, Ibn Taimiyah sebagai imam kamu, dan sebagai imam utama dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang banyak mengambil faham sesatnya telah meriwayatkannya dalam karyanya sendiri yang ia namakan dengan ”al-Kalim ath-Thayyib”.
Jika orang-orang Wahhabi berkata: ”Kita yang benar, sementara Ibn Taimiyah tidak benar, ia telah menghalalkan perbuatan syirik dan kufur”, kita katakan kepada mereka: ”Itu berarti kamu telah mengkafirkan imam terkemuka kamu sendiri yang merupakan referensi utama bagi kamu dalam akidah tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya) dan dalam banyak kesesatannya. Dan itu berarti merupakan pengakuan dari diri kamu sendiri bahwa kamu mengikuti seorang yang kamu anggap sebagai orang kafir, padahal dia adalah rujukan utama kamu dalam berbagai permasalahan akidah yang kamu yakini.
Lihat, kamu telah mengikuti Ibn Taimiyah dalam penyataan kufurnya bahwa Kalam Allah dan Kehendak-Nya adalah baharu dari segi materi (al-Afrad) dan qadim dari segi jenis (al-Jins/an-Nau’). Kamu juga mengikutinya dalam keyakinannya bahwa jenis alam ini azaly (tidak bermula) ada bersama Allah bukan sebagai makhluk. Lihat, dengan kekufurnya ini kamu telah menjadikan dia sebagai ikutan dan sandaran dalam segala keyakinan kamu yang nyata-nyata hal itu menyalahai kebenaran, sementara kamu menyalahi dia pada perkara di mana ia telah sesuai dengan kebenaran di dalamnya; yaitu dalam kebolehan mengucapkan kata ”Yaa Muhammad...” ketika dalam keadaan sulit atau saat tertimpa musibah.
Kemudian kita katakan pula kepada mereka; ”Pengakuan bahwa kamu sebagai kelompok salafi adalah bohong besar. Siapakah di antara ulama Salaf yang melarang mengatakan kata ”Yaa Muhammad...” saat dalam kesulitan? Kerana itu haram bagi kamu mengaku sebagai kaum Salafi, kerana penamaan ini menipu banyak orang awam, padahal kamu sedikirpun tidak berada di atas keyakinan Ulama Salaf, juga tidak di atas keyakinan Ulama Khalaf, tetapi kamu datang dengan membawa agama dan ajaran yang baru. Sesungguhnya mengucapkan kata ”Yaa Muhammad...” untuk tujuan meminta tolong (istigatsah) adalah perkara yang telah disepakati kebolehannya oleh para ulama Salaf dan ulama Khalaf; baik di masa Rasulullah masih hidup atau setelah beliau wafat.
Adapun yang dilarang dalam syari’at adalah mengucapkan kata ”Yaa Muhammad...” di hadapan wajah Rasulullah di masa hidupnya untuk tujuan memanggilnya, yaitu setelah turun firman Allah: لاَتَجْعَلُوا دُعَآءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَآءِ بَعْضَكُم بَعْضًا (النور: 63) ”Janganlah kamu menjadikan panggilan terhadap Rasulullah di antara kamu seperti sebagian kamu memanggil sebagian yang lainnya” (QS. An-Nur: 63).
Sebab diharamkan perkara tersebut adalah kerana ada suatu kaum yang bersifat kasar memanggil Rasulullah dari laur rumahnya dengan mengatakan ”Wahai Muhammad (Ya Muhammad) keluarlah engkau kepada kami...!!”. Dari sebab ini kemudian Allah mengharamkan perkara ini kerana untuk memuliakan Rasulullah. Adapun tentang seorang sahabat yang buta yang bertawassul dengan Rasulullah supaya ia mendapatkan kesembuhan dari butanya; yang kemudian Rasulullah mengajari sahabat buta tersebut beberapa kalimat doa untuk ia bacakan; maka bacaannya tersebut tidak dibacakan hadapan Rasulullah.
Doa tersebut yaitu:
اللّهُمّ إنّي أسْألُكَ وَأتَوَجَّهُ إلَيكَ بِنَبِيّنَا مُحَمّدٍ نَبيّ الرّحْمَة يَا مُحَمّدُ إنّي أتَوَجّهُ بِكَ إلَى رَبّي عَزّ وَجَلّ فِي حَاجَتِيْ
”Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu; Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad sesungguhnya saya denganmu menghadap kepada Tuhan saya dalam kebutuhanku ini”.
”Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu; Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad sesungguhnya saya denganmu menghadap kepada Tuhan saya dalam kebutuhanku ini”.
Dalam riwayat hadis ini Rasulullah berkata kepada sahabat buta tersebut: ”Pergilah ke tempat wudu', berwudu'-lah, lalu kerjakan shalat dua raka’at, kemudian berdoalah dengan membaca doa-doa itu” (HR. Ath Thabarani, lihat al Mu’jam al Kabir, j. 9, h. 17-18 dan al Mu’jam ash Shagir, h. 201-202). Sahabat buta tersebut kemudian keluar dari majelis Rasulullah, beliau berwudu', lalu shalat dua raka’at, dan membacakan doa yang berisi tawassul dengan Rasulullah tersebut.
Setelah beliau menyelesaikan itu semua maka beliau datang kembali menghadap Rasulullah dalam keadaan sudah dapat melihat. Dengan demikian doa yang dibacakan oleh sahabat buta tersebut tidak dihadapan Rasulullah pada masa hidup beliau saat itu. Dari sini kita katakan kepada kaum Wahabi; ”Kamu telah mengambil pendapat Ibn Taimiyah dalam karyanya berjudul at Tawassul Wa al Wasilah bahwa tawassul hanya boleh dilakukan dengan orang yang hadir di hadapan dan dalam keadaan masih hidup, namun terhadap tawassul atau istighatsah dengan yang sudah meninggal; yang padahal itu oleh Ibn Taimiyah sendiri juga dikatakan sebagai perkara baik, seperti bertawassul dengan Rasulullah setelah wafatnya; kamu menyalahinya, bahkan kamu mengklaim bahwa perkara tersebut adalah syirik dan kufur?! Alangkah naifnya kamu, betul-betul jauh dari kebenaran”.
Kemudian dari pada itu, kita katakan pula kepada mereka untuk membantah pendapat mereka yang telah mengatakan bahwa Allah berada di arah atas; atau berada di arsy; ”Seseorang yang dalam posisi berdiri, apakah dari segi jarak posisi kepalanya lebih dekat kepada arsy dibanding seorang yang sedang dalam posisi sujud?” Mereka pasti menjawab bahwa yang dalam posisi berdiri lebih dekat kepada arsy. Lalu kita katakan kepada mereka: ”Kamu telah menjadikan arsy sebagai tempat bagi Allah, padahal ada hadis Rasulullah yang menolak pemahaman sesat kamu ini;
adalah riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah bersabda: أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ العَبْدُ مِنْ رَبّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فأكْثِرُوا الدّعَاء (رَوَاه مُسْلِمٌ)
”Seorang hamba yang paling ”dekat” kepada Allah adalah saat dia dalam posisi sujud, maka hendaklah kamu memperbanyak doa (pada posisi tersebut)” (HR. Muslim).
Kamu mengatakan bahwa metode takwil sama dengan ta’thil; artinya menurut kamu memberlakukan takwil sama saja dengan mengingkari wujud Allah dan mengingkari sifat-sifat-Nya; atau dalam istilah kamu ”at-ta’wil ta’thil”. Ini artinya ketika kamu menolak takwil maka berarti sama saja kamu mengakui bahwa keyakinan kamu adalah keyakinan batil, kerana keyakinan kamu berseberangan dengan pemahaman zahir (literal) hadis tersebut”.
Adapun kami kaum Ahlussunnah memahami firman Allah: الرّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5) dan seluruh ayat-ayat atau hadis-hadis Nabi yang secara zahir (literal) seakan bahwa Allah memiliki tempat dan arah, atau seakan bahwa Allah memiliki anggota badan, atau seakan bahwa Allah memiliki bentuk (batasan), atau bergerak, dan pindah, atau sifat-sifat apapun yang seakan bahwa Allah serupa dengan makhuk-Nya; ini semua kita pahami dengan metode takwil, baik dengan metode takwil Ijmali atau takwil tafshili, sebagaimana hal itu telah dicontohkan oleh beberapa orang dari ulama Salaf, yang kemudian diikuti oleh para ulama Khalaf. Kita katakan; ”Makna teks-teks semacam itu semua bukan dalam makna zahirnya, tetapi itu semua memiliki makna-makna yang sesuai bagi keagungan Allah yang sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Inilah yang dimaksud dari perkataan sebagian ulama Salaf ”Bila Kayf Wa La Tasybih”.
Ulama Ahlussunnah mengatakan bahwa makna ”Bila Kayf” yang dimasud adalah bahwa ayat-ayat dan hadis-hadis mutasyabihat semacam yang telah disebutkan di atas tidak dipahami dalam pengertian benda atau sifat-sifat benda. Inilah pemahaman yang benar dari maksud perkataan ulama Salaf dan ulama Khalaf ”Bila Kayif”, tidak seperti yang dipahami oleh orang-orang Wahabi; dalam mulutnya mereka mengatakan ”Bila Kayf”, tapi dalam hati mereka meyakini adanya kayf (sifat benda).
Sesungguhnya metode takwil tafshili telah berlakukan oleh para ulama Salaf sekalipun tidak oleh semua mereka. Imam Ahmad ibn Hanbal misalkan, telah mentakwil firman Allah: ”Wa Ja’a Rabbuka” (QS. Al-Fajr: 22) dengan mengatakan bahwa yang dimaksud ”ja’a” dalam ayat tersebut adalah ”datangnya” pahala dari Allah, dalam riwayat lainnya beliau mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ”datangnya perintah Allah” (Lihat al Bidayah Wa an Nihayah, j. 10, h. 327. Imam al Baihaqi mengatakan sanad riwayat ini tidak memiliki cacat sedikitpun). Sementara kamu wahai kaum Wahabi mengatakan dalam mamahami ayat tersebut bahwa Allah turun secara indrawi.
Dalam keyakinan kamu bahwa Allah pindah dari arsy ke bumi sebagaimana para Mala’ikat turun secara indrawi; yaitu turun dengan pindah dari arah atas ke arah bumi pada hari kiamat kelak. Seandainya Imam Ahmad berkeyakinan seperti keyakinan kamu maka tentu beliau tidak akan mentakwil ayat di atas; tentu beliau akan memahami ayat tersebut sesuai zahirnya seperti yang kamu pahami, tapi terbukti beliau telah melakukan takwil. Perkataan Imam Ahmad ini telah diriwayatkan oleh Imam al-Bayhaqi dan disahehkannya dalam kitab Manaqib al-Imam Ahmad.
Demikian pula firman Allah ”Yauma Yuksyafu ’An Saq” (QS. Al-Qalam: 42) oleh sebagian ulama Salaf telah ditakwil secara tafshili; mereka mengatakan yang dimaksud kata “as-Saq” dalam ayat ini adalah “huru-hara (kesulitan) yang teramat dahsyat”, (artinya bahwa Allah akan mengangkat huru-hara tersebut di hari kiamat kelak dari orang-orang mukmin) (Lihat Fath al Bari, j. 13, h. 428, al Asma Wa as Shifat, h. 345). Sementara kamu wahai orang-orang Wahabi memaknai makna “saq” pada ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah memiliki betis sebagaimana manusia memiliki betis yang merupakan salah satu anggota badannya. Bagaimana kamu mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya dengan keyakinan kamu yang rusak ini?! Dengan demikian menjadi jelas bahwa pengakuan kamu sebagai para pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal adalah bohong besar.
Sementara itu Imam al Bukhari telah menyebutkan takwil bagi dua ayat dari al Qur’an.
Pertama; beliau mentakwil firman Allah: كُلُّ شَىءٍ هَالِكٌ إلاّ وَجْهَه (القصص: 88) Imam al Bukhari mengatakan bahwa makna “al Wajh” dalam ayat tersebut adalah “al Mulk”; artinya kerajaan atau kekuasaan (lihat Shahih al Bukhari, tafsir Surat al Qasas). Takwil ayat ini demikian juga telah disebutkan oleh Imam Sufyan ats Tsauri dalam kitab Tafsir-nya (Lihat Tafsir al Qur’an al Karim, h. 194).
Kedua; Imam al Bukhari mentakwil firman Allah: هُوَ ءَاخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا (هود: 56) Ayat ini ditakwil oleh beliau dalam makna “al mulk wa as sulthan” artinya “kerajaan dan kekuasaan” (Lihat Shahih al Bukhari, Tafsir Surat Hud). Imam al Bukhari tidak pernah mentakwil ayat ini seperti yang kamu yakini dalam pengertian bahwa Allah bersentuhan. Benar, makna literal dari ayat tersebut seakan Allah menyentuh setiap ubun-ubun dari segala binatang, tapi memaknainya seperti demikian ini jelas merupakan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), kerana Allah tidak disifati dengan menyentuh, dan atau disentuh; sebab menyentuh maupun disentuh adalah dari tanda-tanda makhluk.
Adapun takwil hadis riwayat Imam Muslim yang telah kita sebutkan di atas adalah bahwa makna “al Qurb” di sini bukan dalam pengertian dekat dari segi jarak. Demikian pula dengan hadis hadis yang seakan Allah berada atau bertempat di arah atas; itu semua tidak boleh dipahami secara literal (harfiah), tetapi harus dipahami dengan metode takwil. Dengan demikian bagaimana kamu mengatakan bahwa metode takwil sama saja dengan ta’thil (menafikan atau mengingkari sifat-sifat Allah)?!
Juga dengan dasar apa kamu mengatakan bahwa metode takwil adalah kufur ?!
Anda katakan kepada mereka: “Jika kamu tidak memahami hadis riwayat Imam Muslim ini dengan makna zahirnya (harfiah) maka berarti kamu telah melakukan takwil, dan bila demikian maka berarti kamu telah menyalahi diri kamu sendiri yang anti terhadap takwil. Kaian mengatakan: “Takwil adalah ta’thil”, sementara kamu sendiri memperlakukan takwil.
No comments:
Post a Comment