Dalam fatwa itu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alahi Wassalam merupakan “Sayyid” (tuan) bagi seluruh makhluk adalah ijma’ umat Islam. Bahkan beliau sendiri telah bersabda,”Aku adalah sayyid (tuan) anak Adam”, dan diriwayat lain disebutkan,”Aku sayyid (tuan) manusia”, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Sedangkan Allah sendiri juga memerintahkan manusia untuk memuliakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, yang artinya, ”Sesungguhnya Kami telah mengutusmu sebagai saksi dan pemberi kabar gembira serta pemberi peringatan agar kalian beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Dan menolong-Nya, mengagungkan-Nya serta bertasbih kepada-Nya di pagi hari dan petang.” (Al Fath: 8-9)
Sebagian ulama menilai bahwa perintah mengagungkan, kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Imam Qatadah dan As Suddi, mengagungkan Rasulullah termasuk mensayyidkan beliau.
Sahabat Sebut Nabi dengan “Sayyid”
Dari Sahl bin Hunaif Radhiyallahu anhu, beliau mengatakan, ”Kami melalui tempat air mengalir, maka aku turun dan mandi dengannya, setelah itu aku keluar dalam keadaan demam. Maka hal itu dikabarkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Alihi Wasallam. Maka beliau bersabda, ”Perintahkan Aba Tsabit untuk meminta perlindungan.” Saya mengatakan,”Wahai Sayyidku (tuanku) apakah ruqyah berfungsi?” Beliau bersabda,”Tidak ada ruqyah kecuali karena nafs (ain), demam atau bisa.” (Al Hakim, beliau menyatakan isnadnya shahih)
Shalawat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar gunakan “Sayyid”
Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar juga menyebut “Sayyid” untuk Rasulullah dalam shalawat beliau berdua. Ibnu Mas’ud pernah mengajarkan,”Jika kalian bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, maka baguskanlah shalawat untuk beliau, sesungguhnya kalian tidak tahu bahwa shalawat itu ditunjukkan kepada beliau. Maka, mereka mengatakan kapada Abdullah bin Mas’ud,’Ajarilah kami.’ Ibnu Mas;ud menjawab,’Ucapkanlah, Ya Allah jadikanlah shalat-Mu dan rahmat-Mu dan berkah-Mu untuk Sayyid Al Mursalin (tuan para rasul), Imam Al Muttaqin (imam orang-orang yang bertaqwa), Khatam An Nabiyyin (penutup para nabi), Muhammad hamba-Mu dan rasul-Mu, Imam Al Khair (imam kebaikan), Qaid Al Khair (pemimpin kebaikan) dan Rasul Ar Rahmah (utusan pembawa rahmat).’” (Riwayat Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Hafidz Al Mundziri)
Atsar serupa juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al Musnad, dengan sanad hasan pula.
Walhasil, menyebut Rasulullah dengan gelar “Sayyid” adalah perkara yang disyariatkan.*
***********************
Menambah kata “Sayyid” sebelum menyebut nama Nabi Muhammad adalah perkara yang dibolehkan di dalam syari’at. Karena pada kenyataannya Rasulullah adalah seorang Sayyid, bahkan beliau adalah Sayyid al-‘Alamin, penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Salah seorang ulama bahasa terkemuka, ar-Raghib al-Ashbahani dalam kitab Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan bahwa di antara makna “Sayyid” adalah seorang pemimpin, seorang yang membawahi perkumpulan satu kaum yang dihormati dan dimuliakan (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 254).
Dalam al-Qur’an, Allah menyebut Nabi Yahya dengan kata “Sayyid”:
وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (ءال عمران: 39)
“… menjadi pemimpin dan ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”. (QS. Ali ‘Imran: 39)
Nabi Muhammad jauh lebih mulia dari pada Nabi Yahya, karena beliau adalah pimpinan seluruh para nabi dan rasul. Dengan demikian mengatakan “Sayyid” bagi Nabi Muhammad tidak hanya boleh, tapi sudah selayaknya, karena beliau lebih berhak untuk itu. Bahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang “Sayyid”. Beliau bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ ءَادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ (رواه الترمذي)
“Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat”. (HR. at-Tirmidzi)
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ وَأَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَمُشَفَّعٍ بِيَدِيْ لِوَاءُ الْحَمْدِ تَحْتِيْ آدَمُ فَمَنْ دُوْنَهُ”
الراوي: أبو هريرة المحدث: ابن حبان – المصدر: صحيح ابن حبان – الصفحة أو الرقم: 1766
خلاصة حكم المحدث: أخرجه في صحيحه
Artinya : “Aku adalah Sayyid anak Adam pada hari kiamat kelak, -bukan kebanggaan-, dan kuburku adalah yang pertama terbuka, dan orang yang pertama yang akan memberi syafa’at dan yang diberi syafa’at, di tanganku bendera kepujian, dan di bawah benderaku adalah Nabi Adam dan seterusnya” (HR : Ibnu Hibban)
Dalam riwayat lain :
“أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ، وَبِيَدِيْ لِوَاءُ الْحَمْدِ وَلاَ فَخْرَ، وَمَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمَ فَمَنْ سِوَاهُ إِلَّا تَحْتَ لِوَائِيْ، وَأَناَ أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ وَلاَ فَخْرَ”
الراوي: أبو سعيد الخدري المحدث: الألباني – المصدر: صحيح الترمذي – الصفحة أو الرقم: 3615
خلاصة حكم المحدث: صحيح
Artinya: “Aku adalah Sayyid anak Adam pada hari kiamat kelak, -bukan kebanggaan-, dan di tanganku bendera kepujian –bukan kebanggaan- tidak ada Nabi pada hari itu Adam dan yang lainnya, melainkan mereka semua dibawah benderaku, dan kuburku adalah yang pertama terbelah (terbuka untuk dibangkitkan)–bukan kebanggaan- (HR : Imam At-Tirmizi)
Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma’tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma’tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur.
Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Namun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
Dalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
Tambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha…”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud)
Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa’ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’ beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah…”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara. Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma’tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma’tsur. Dua; Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya. Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya.
Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:
وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ”لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ” ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ
“Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dla’if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.
Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta’addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab).
Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad.
Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:
الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ
“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156).
Lafadzh Sayyidina Muhammad saw dalam kitab Sayyidina Muhammad Dalam Kitab Syaikh Albani”
(حديث ابن عمر: ” أنه كان إذا دعى ليزوج قال: الحمد لله وصلى الله على سيدنا محمد , إن فلانا يخطب إليكم فإن أنكحتموه فالحمد لله وإن رددتموه فسبحان الله ” (2/145) .
* صحيح.
أخرجه البيهقى (7/181)
Hadis Ibnu Umar bahwa jika beliau diundang untuk menikahkan, beliau berkata: “Segala puji milik Allah. Rahmat Allah semoga dihaturkan pada JUNJUNGAN kita Muhammad. Sungguh fulan melamar pada kalian. Jika kalian menikahkam maka alhamdulillah. Jika kalian menolak maka subhanallah” (Dikeluarkan oleh al-Baihaqi)
Syaikh Albani: “SAHIH” (Irwa’ al-Ghalil fi Takhrij Manar as-Sabil, 6/221)
***
Jika anda berkunjung ke masjidil Haram dan mendengarkan khutbah Jum’at para Imam Mekkah, maka anda akan mendengar mereka menyebutkan kata “sayyidina” sebelum menyebut nama Rasulullah saw, seperti Imam As sudais, dll.
Baligho saat masuk kota Suci Madinah, سيدنا رسول الله،نشتاق لرؤيته ..
Tuanku rasulullah..kami rindu memandangmu…
Lafaz Sayyidinan di jalan Tol Makkah – Madinah foto by: masjid al-irsyad Satya
https://generasisalaf.wordpress.com/2013/01/26/hukum-menyebut-rasulullah-dengan-sayyidina/
**********************************************
Hukum Membaca Sayyidina
HUKUM MEMBACA SAYYIDINA
Oleh: Buhari Muslim
(Mahasiswa Tafsir Hadis Khusus)
Para ulama terdahulu telah berbeda pendapat mengenai hukum membaca Sayyidina ketika bersalawat kepada Nabi saw. Padahal dari segi kedalaman ilmu, tidak ada lagi sosok seperti mereka. Kalau pun kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang mengikuti pendapat itu sekarang ini. Sebab mereka hanya mengikuti fatwa para ulama yang mereka yakini kebenarannya. Dan selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama mazhab, kita tidak mungkin menghinanya begitu saja.
Adab yang baik adalah kita menghargai dan mengormati hasil ijtihad mereka. Dan tentunya juga menghargai orang yang mengikuti fatwa mereka, di masa sekarang ini. Lagi pula, perbedaan ini bukan perbedaan dari segi aqidah yang merusak iman, melainkan hanya masalah kecil, atau hanya berupa cabang-cabang agama. Tidak perlu kita sampai meneriakkan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita sebagai tukang bid’ah.
Adapun shalawat yang diajarkan oleh Nabi saw. ketika sahabat menanyakan cara bershalawat kepada beliau. Sebagaimana digambarkan dalam hadis riwayat Muslim berikut;
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ فِى مَجْلِسِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَقَالَ لَهُ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ أَمَرَنَا اللَّهُ تَعَالَى أَنْ نُصَلِّىَ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى تَمَنَّيْنَا أَنَّهُ لَمْ يَسْأَلْهُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
Artinya: Dari Abu Mas’ud al- Anshari ia berkata; Rasulullah saw. mendatangi kami sedang kami di majlis Sa’ad bin Ubadah, maka Basyir bin Sa’ad berkata; Allah swt. Memerintahkan kami agar bershalawat kepadamu wahai Rasulullah, maka bagaimana kami bershalawat kepamu?. Abu Mas’ud al- Anshari berkata; Rasulullah saw. diam sehingga….kemudian Rasulullah saw. bersabda; Bacalah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
Shalawat tersebut adalah jawaban atas pertanyaan sahabat, jadi wajarlah jika beliau tidak menyebutkan gelar atau nama penghormatan disaat menyebut namanya, yang sebenarnya sangat pantas bagi beliau. Sama halnya dengan seseorang ketika ditanya, siapa namamu? atau bagaimana cara kami menyebut namamu?. Bagi orang yang memiliki rasa rendah hati tidak mungki akan menjawab dengan disertakan gelar yang dimilikinya.
A. Dasar Hukum Dari Al- Qur’an
Dalam al- Qur’an Allah swt. melarang memanggil Rasul saw. dengan panggilan sama dengan yang lainnya,
لَا تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُم بَعْضاً قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمْ لِوَاذاً فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ .
Artinya: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. al- Nur: 63).
Kata kamu dalam ayat di atas adalah ditunjukkan kepada sahabat Nabi Muhammad saw., ayat tersebut dapat kita tafsirkan bahwa jangan kamu memanggilkan Nabi Muhammad saw. sama dengan kamu memanggil temanmu.
Mujahid dan Sai’d bin Jubair selaku ulama tafsir dari kalangan tabi’in menafsirkan ayat tersebut dengan “jangan kamu memanggil Rasullah saw. dengan panggilan sama dengan yang lainnya”. Misalnya, kamu memanggil ya Muhammad, tapi penggillah ya Rasulallah.
Dalam surah yang lain Allah swt. menyebut Nabi Yahya denganSayyid (menjadi ikutan), firman Allah;
فَنَادَتْهُ الْمَلآئِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَـى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللّهِ وَسَيِّداً وَحَصُوراً وَنَبِيّاً مِّنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariyah, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di Mihrab; (katanya), “sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat[1] (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi yang termasuk keturunan orang-orang shaleh”. (QS. Ali Imran: 39).
Allah swt. menyebut Nabi Yahya as. sebagai seorang Sayyid (seorang pemimpin dan ikutan). Kalau Nabi Yahya as. dikatakan seperti itu maka Nabi Muhammad saw. juga sangat pantas mendapat gelar itu karena beliau adalah pemimpin bagi anak cucu Adam as. di hari kiamat bahkan beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Karenanya warga An Nahdlah menggunakan kata Sayyidina dalam shalawatnya, baik dalam shalat maupun di luar shalat.
B. Dasar Hukum Dari Hadis
1. Hadis Dari Rifa’ah bin Rafi’
Salah seorang sahabat yang bernama Rifa’ah bin Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata; Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah saw. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’ beliau membaca: Sami’allahu Liman Hamidah, tiba-tiba salah seorang makmum berkata;
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: Siapakah yang mengatakan kalimat-kalimat itu tadi?. Orang yang yang dimaksud menjawab: Saya Wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah saw. bersabda:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ .
Artinya: Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya. (HR. Bukhari, Abu Daud, Al- Nasa’i, Ahmad, dan Imam Malik) .
Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah bin Rafi ini beliau katakan: Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara.
a. Menunjukkan kebolehan menyusun zikir yang tidak ma’tsur (yang tidak berasal dari Nabi saw.) di dalam shalat selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi saw).
b. Boleh mengeraskan suara zikir selama tidak mengganggu orang yang ada di dekatnya.
c. Orang yang bersin dalam shalat diperbolehkan mengucapkan al- hamdulillah tanpa dihukumi makruh.[2]
Dengan demikian tidak ada masalah dan boleh hukumnya menambahkan kata Sayyidina dalam shalawat baik dalam shalat maupun diluar shalat. Karena tambahan kata Sayyidina sesuai dengan dasar syari’at dan tidak bertentangan sama sekali. Dalam hadis shahih Nabi saw. bersabda;
انَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ القِيَامَةِ .
Artinya: Saya adalah pemimpinnya manusia pada hari kiamat. (HR. Bukhari, Muslim dan al- Tirmidzi).
2. Penambahan Lafaz Talbiyah
Umar bin al- Khaththab ra. menambahkan lafaz talbiyah yang diajarkan oleh Nabi saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim. Adapun talbiyah yang diajarkan oleh Nabi saw. adalah;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ
Namun, Umar ra. menambahkan, sebagai berikut;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِى يَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.
Dalam riwayat al- Nasai bahwa Ibn Umar menambahkan sebagaimana lafaz yang tertera di atas.
3. Penambahan Lafaz Tahiyat
Abdulah bin Umar ra. menambahkan lafaz tahiyat dalam shalatnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya.
Adapun lafaz tahiyat yang diajarkan oleh Rasulullah saw. adalah;
...أشْهَدُ أنْ لّا إلهَ إلّا الله قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ [ فِيْهَا ] وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ….
…Asyhadu an la Ilaha Illallah, Ibn Umar berkata; saya menambahkanWahdahu la syarikalah…(HR. Abu Daud).
Hadis kedua dan ketiga di atas menunjukkan kebolehan munyusun zikir atau bacaan tertentu selama tidak bertentangan dengan syari’at.
C. Dasar Hukum Dari Dalil Aqli
Kata Sayyidina asalnya adalah Sayyid yang berarti seorang pemimpin, yang kata kerjanya adalah Saada-Yusudu (ساد- يسود) jikaDimuta’addikan,[3] menjadi Sawwada – Yusawwidu (سوّد – يسوّد) yang berarti yang dimuliakan, yang membawahi suatu kaum, dan mengangkat jadi pemimpin. Dengan demikian jika mengawali shalawat kepada Nabi saw. maka itu sama halnya dengan; memuliakan, menghormati dan mengangkat Nabi sebagai pemimpinnya. Apakah pantas hal itu dikatakan suatu kesalahan?. Semua umat Islam mungkin akan menjawab bahwa hal itu sangat pantas untuk dilakukan yaitu mengawali nama Rasulullah saw. dengan kata Sayyid.
Adapun dengan hadis yang mengatakan bahwa,
لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ .
Artinya: Janganlah mensayyidkan aku dalam shalat.
Hadis tersebut akan anda temukan dalam kitab-kitab fiqhi di antaranya dalam kitab al- Fatawa al- Fiqhiyyah al- Kubra (الفتاوى الفقهية الكبرى) , bab, Shifatu al- Shalah (صفة الصلاة). Tapi, Ulama telah mengomentari bahwa hadis tersebut tidak ada asalnya. Bahkan Maudhu’ atau palsu. Salah satu alasanya adalah karena hadis tersebut mengandung Lahn,[4] lafazLatusayyiduni (لا تسيدونى), menyalahi kaidah yang telah dikenal karena seharusnya berbunyi Latusawwiduni (لا تسودونى). Sedangkan Nabi saw. sebagai seorang Rasul tidak mungkin mengucapkan lafaz yang salah (mengandung lahn).
Kitab al- Duru al- Mukhtar menyebutkan bahwa menambahkan kata Sayyidina sebelum nama Nabi saw. adalah lebih mulia daripada tidak membacanya, karena itu merupakan adab kesosopanan terhadap Rasulullah saw. bahkan ini adalah pendapat yang telah diakui dan dipercayai.
Dalam adab kita sendiri rasanya sangat jauh dari tata kesopanan jika memanggil orang-orang yang terhormat dengan panggilan tanpa diikut sertakan dengan gelarnya atau panggilan penghormatan menurut adat setempat. Misalnya, Daeng menurut adat Makassar, Puang menurut adat Bugis, kiai bagi ulama menurut adat Jawa dan lain-lain.
Wallahu A’alam
****************************************************
Fuqaha' Syafi'iyah berpendapat sunat menyebut sayyidina ketika berselawat atas alasan penghormatan dan adab.Imam Asnawi di dalam kitab Al-Muhimmaat mengemukakan ucapan Syeikh Izzud-din bin Abdus-salam, dia berkata : “Pada prinsipnya pembacaan selawat di dalam tasyahhud itu hendaklah ditambah dengan lafaz “sayyidina”, demi mengikuti adab dan menjalankan perintah. Atas yang pertama hukumnya mustahab (sunat).
Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur.
Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَNamun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُDalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُTambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud)
Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?". Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara. Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua; Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya. Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya.
Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:
وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ “Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dha'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.
Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab).
Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad.
Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:
الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156).
Allah humma Solli Wa sollim 'ala Sayyidina Muhammad, Wa 'ala ali Sayyidina Muhammad
No comments:
Post a Comment