Inilah Jalan Sufi Headline Animator

Whatsap Saya

Pencerahan Bid'ah

Monday, May 23, 2016

Mengharamkan yang Halal Lebih Berat Dosanya Dibandingkan Menghalalkan yang Haram !

Mengharamkan yang Halal Lebih Berat Dosanya Dibandingkan Menghalalkan yang Haram !

A’uudzu billaahi minasysyaithaanir rajiim,

Bismillahirrahmaniraahim...

Meskipun mengharamkan yang halaldan menghalalkan yang haram adalah sama dari sisi kelancangan terhadap hukumAllah,

 Namun mengharamkan yang halal lebih parah danlebih berat hukumnya, karena hal itu menyempitkan dan memberatkan kehidupanmanusia, serta bertentangan dengan prinsip umum syariah yang memberi kemudahandan menghilangkan kesulitan (haraj).


Mengharamkan yang Halal Lebih Berat Dosanya Dibandingkan Menghalalkan yang Haram!


“Hati-hati, jangan menghalalkan apa yang diharamkan Allah,” kata seorang ustadz kepada saya. Maka saya jawab, “Begitu pula sebaliknya, hati-hati, jangan sampai mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah.” Demikianlah kira-kira cuplikan sebagian dialog yang sempat terjadi antara saya dengan seorang ustadz yang mulia ketika berdiskusi mengenai suatu masalah yang berujung pada ketidaksepakatan dan perbedaan pendapat.

Terkadang kita jumpai sebagian orang yang terlalu bermudah-mudah dalam melarang dan mengharamkan sesuatu. Demikian pula sebaliknya, juga kita jumpai sebagian lain hidup dalam permissivisme (ibāhiyyah) yang membolehkan dan menghalalkan segala sesuatu. Celakanya adalah apabila masing-masing dari kedua golongan tersebut memutuskan tanpa ilmu.

Menghalalkan yang haram merupakan tindak kelancangan terhadap hukum Allah, sebagaimana halnya mengharamkan yang halal pun demikian. Allah berfirman:

قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَاماً وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ تَفْتَرُونَ، وَمَا ظَنُّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَشْكُرُونَ

“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’ Katakanlah: ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan (kedustaan) terhadap Allah?’ Apakah dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari kiamat? Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak bersyukur.” (QS. Yūnus [10]: 59-60)

وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung.” (QS. An-Nahl [16]: 116)

Pada umumnya, perbuatan menghalalkan yang haram lahir dari mereka yang cenderung selalu mengikuti nafsu syahwatnya, sedangkan tindakan mengharamkan yang halal muncul dari orang-orang yang tampak keshalihan pada mereka namun mereka bersikap kaku karena kecemburuan (ghīrah) mereka yang sangat terhadap agama.

Kedua sikap tersebut tentu bukan merupakan sikap yang benar. Bahkan keduanya termasuk dalam hal menuruti hawa nafsu. Hanya saja, yang pertama terkait dengan nafsu syahwat, sedangkan yang kedua terkait dengan nafsu berlebih-lebihan dalam agama. Yang benar adalah sikap pertengahan, yakni menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram serta melapangkan apa yang telah Allah lapangkan bagi manusia. Namun sayangnya, sungguh sedikit orang yang bersikap demikian.

Meskipun mengharamkan yang halaldan menghalalkan yang haram adalah sama dari sisi kelancangan terhadap hukumAllah,

 Namun mengharamkan yang halal lebih parah danlebih berat hukumnya, karena hal itu menyempitkan dan memberatkan kehidupanmanusia, serta bertentangan dengan prinsip umum syariah yang memberi kemudahandan menghilangkan kesulitan (haraj).

Allah berfirman:

يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَوَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
َ
“Allah menghendaki kemudahanbagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
اللّٰـهُ    لِيَجْعَلَ    عَلَيْكُم   مِّنْ   حَرَجٍ   وَلٰكِن    يُرِيدُ   لِيُطَهِّرَكُمْ   وَلِيُتِمَّ   نِعْمَتَهُۥ    عَلَيْكُمْ    لَعَلَّكُمْ    تَشْكُرُونَ

“Allah tidak ingin menyulitkankamu, tetapi Dia ingin membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 6)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِيالدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
ِ
“Dia sekali-kali tidak menjadikanuntuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj [22]: 78)

قُلْ   مَنْ    حَرَّمَ   زِينَةَ    اللّٰـهِ   الَّتِىٓ   أَخْرَجَ    لِعِبَادِهِۦ   وَالطَّيِّبٰتِ    مِنَ    الرِّزْقِ   ۚ   قُلْ    هِىَ   لِلَّذِينَ    ءَامَنُوا۟   فِى    الْحَيَوٰةِ   الدُّنْيَا    خَالِصَةً    يَوْمَ   الْقِيٰمَةِ   ۗ   كَذٰلِكَ   نُفَصِّلُ    الْاٰيٰتِ   لِقَوْمٍ    يَعْلَمُونَ   

Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkanperhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan(siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah:"Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupandunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat". Demikianlah Kamimenjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.’”(QS. Al-A`rāf [7]: 32)

Dari Sa`d Ibn Abī Waqqāsh dengansanad yang valid, Nabi—shallaLlāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْنجُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْألتِهِ

“Sesungguhnya yang paling besardosa dan kejahatannya dari kaum muslimin adalah orang yang bertanya tentang halyang tidak diharamkan, lantas hal tersebut menjadi diharamkan karenapertanyaannya tadi.” (Riwayat al-Bukhāri: VI/2658/6859.)

Dan dalam riwayat lain disebutkan,

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْن فِيالْمُسْلِمِيْن جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ أَمْرٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ عَلَىالنَّاسِ مِنْ أَجْلِ مَسْألتِهِ

“Sesungguhnya kaum muslimin yang palingbesar dosa dan kejahatannya terhadap (sesama) kaum muslimin adalah yangbertanya tentang perkara yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut menjadidiharamkan kepada manusia karena pertanyaannya tadi.” (Riwayat Muslim:IV/1831/2358; Ahmad: I/179/1545; Abū Dāwūd: II/612/4610; dan lain-lain.)

Di samping itu, sebagaimanadisebutkan oleh Syaikh Ibn ‘Utsaimīn, mengharamkan yang halal berseberangandengan kaidah yang berbunyi:

الأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءُ الحِلّ

“Hukum asal segala sesuatu adalahhalal (sampai ada dalil yang mengharamkannya).”

Syaikh Ibn ‘Utsaimīn—rahimahuLlāh—berkata,“Mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah tidak kurang derajatnya dalam dosadibandingkan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Engkau dapati banyakdari orang-orang yang memiliki kecemburuan terhadap agama (ghīrah)lebih cenderung kepada tindakan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allahdibandingkan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah.

Sebaliknya dengan mereka menyepelekanajaran agama (mutahāwinūn). Kedua golongan tersebut salah.

Meski demikian, menghalalkan yangharam terhadap apa-apa yang hukum asalnya halal adalah lebih ringan statusnyadibandingkan mengharamkan yang halal.

Sebab, menghalalkan yang haram,apabila belum tampak jelas sisi pengharamannya, dibangun di atas hukum asal,yaitu kehalalan, di samping bahwa rahmat Allah—subhānahu—mendahuluimurka-Nya.

Karena itu, tidak memungkinkan bagiuntuk kita mengharamkan kecuali apa yang telah jelas pengharamannya. Sebab,pengharaman itu lebih menyempitkan dan memberatkan (dibanding penghalalan).

Dan, pada asalnya, seluruh perkaraitu tetap berada di atas kehalalan dan kelapangan sampai jelas datangnyapengharaman.

Adapun dalam urusan-urusan ibadah,maka diperkeras (berkebalikan dengan penjelasan sebelumnya).

Sebab, hukum asal ibadah adalahterlarang dan diharamkan sampai dijelaskan oleh syariah. Hal ini sebagaimanadisebutkan,

وَالْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ حِلٌّوَامْنَعِ
عِبَــادَةً إِلاَّ بِإِذْنِالشَّــــــارِعِ

Hukum asal dalam segala sesuatuadalah halal

dan cegahlah suatu ibadahkecuali dengan izin Pembuat Syariah

Demikianlah perkataan al-‘AllāmahIbn `Utsaimīn. (Lihat: al-Qaulu’l Mufīd ‘alā Kitābi’t Tauhīd,bab Man Athā`a’l `Ulamā’ wa’l Umarā’ fī Tahrīm Ma Ahalla’Llāhuau Tahlīl MaHarramahu fa Qad Ittakhadzahum Arbāba, vol. II,hal. 311. Lihat pula: al-Qawā`id al-Fiqhiyyah, karya Syaikh Ibn`Utsaimīn)


Sebenarnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kaidah: ‘Hukum asal segala sesuatu adalah halal’, setidaknya terdapat empat pendapat:

Pendapat pertama:

Hukum asal segala sesuatu adalah terlarang atau haram. Ada yang menisbatkan pendapat ini kepada jumhūr (mayoritas ulama). Penulis al-Asybāh wa’n Nazhā’ir menisbatkan pendapat ini kepada Imam Abū Hanīfah. Ia berkata, “Menurut Abū Hanīfah, hukum asal dari segala sesuatu adalah haram, sampai ada dalil yang menunjukkan kehalalannya.” Namun, jika yang dimaksud dengan ‘segala sesuatu’ itu bersifat umum dan universal maka pendapat ini sangat lemah (marjūh) dan berseberangan dengan dalil dan argumen yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Pendapat kedua: 

Hukum asal segala sesuatu adalah dibolehkan sampai ada dalil yang mengharamkannya. Ini adalah pendapat asy-Syāfi’iyyah dan Muhammad Ibn ‘Abdi’Llāh Ibn al-Hakam. Sebagian ulama kontemporer menisbatkan pendapat ini kepada jumhūr (mayoritas ulama).

Pendapat ketiga:

Hukum asal segala sesuatu adalah tawaqquf (abstain), tidak dapat dikatakan halal maupun haram. Ini adalah pendapat al-Asy’ari, Abū Bakr ash-Shairafi dan sebagian asy-Syāfi’iyyah.

Pendapat keempat: 

Dirinci antara mudharat dan manfa’at; yakni hukum asal dalam hal-hal yang bermanfaat adalah halal, sedangkan hukum asal dalam hal-hal yang menimbulkan mudharat adalah haram. 

Ini adalah pendapat al-Fakhr ar-Rāzi, sekaligus menjadi pendapat yang dipilih oleh banyak ulama, seperti al-Qādhī al-Baidhāwi. Inilah pendapat yang paling tepat—in syā-aLlāh. Ibn as-Subki dan al-Jalāl al-Mahalli telah menegaskan bahwa perincian ini adalah benar. Pendapat ini juga dipegang oleh al-QarāfiWaLlāhu a’lam bish shawāb. (Lihat: Mazhāhir at-Taisīr fi at-Tasyrī` al-Islāmi, hal. 34-35)

Penting untuk dipahami, bahwa pendapat ulama yang merupakan hasil ijtihād tidak dapat dikatakan bahwa pendapat tersebut mengharamkan apa yang Allah halalkan atau menghalalkan apa yang Allah haramkan. 

Bahkan, pemilik pendapat tersebut akan mendapatkan ganjaran berdasarkan benar atau salahnya pendapat itu, sebagaimana disebutkan dalam hadits muttafaq ‘alaih: “Jika seorang hakim ber-ijtihād lalu dia benar, maka dia mendapatkan dua pahala, dan jika dia salah, maka mendapatkan satu pahala.” Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Husain al-’Awāyisyah dalam Kaifa Tuhakkim Nafsaka….


Allah berfirman, “Tidak mengadaadakan dusta itu melainkan orang orang yang tidak beriman kepada ayat ayatAllah, dan merekalah orang orang yang berdusta “(An Nahl  105)

Di antara bohong yang paling besaradalah menghalalkan apa  yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yangdihalalkan oleh Allah.

Allah berfirman, “Dan janganlahkamu mengucapkan dusta yang disebutkan oleh lidah lidah kamu, ini halal dan iniharam, untuk kamu ada adakan dusta atas nama Allah; sesungguhnya orang orangyang mengada adakan dusta atas nama Allah tidak akan beruntung. Itu hanyalahkesenangan yang sedikit, tetapi bagi mereka ada azab yang pedih (A Nahl116-117)

“Sesungguhnya memundurkan bulanbulan haram itu tidak lain melainkan menambah kekufuran yang dengannya tersesatorang orang kafir, yaitu mereka halalkan dia dalam satu tahun dan merekaharamkan dia dalam satu tahun yang lain, agar mereka bisa genapkan bilanganbulan bulan yang diharamkan Allah SWT, lalu mereka halalkan apa yang Allahharamkan. Di hiasi bagi mereka amal amal mereka yang buruk, dan Allah tidakmemimpin kaum yang kafir ( At Taubah 37)

Mengharamkan apa yang dihalalkanoleh Allah adalah termasuk perbuatan kufur, juga sebaliknya. Mudah  dan sebaliknya, 

Orang Islam tidak boleh mengatasihukum Allah dan mendahului RasulNya dengan semata mata fikiran. Karena sebagaiseorang muslim harus bersikap seperti dalam ayat berikut :

“ Hai orang orang yang beriman!Janganlah kamu mendahului Allah dan rasulNya, tetapi hendaklah kamu bertakwakepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui…(Al Hujurat 1)

Mengharamkan yang Halal danMenghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik

KALAU Islam mencela sikaporang-orang yang suka menentukan haram dan halal itu semua, maka dia juga telahmemberikan suatu kekhususan kepada mereka yang suka mengharamkan itu dengansuatu beban yang sangat berat, karena memandang, bahwa hal ini akan merupakansuatu pengungkungan dan penyempitan bagi manusia terhadap sesuatu yang sebenarnyaoleh Allah diberi keleluasaan. Di samping hal tersebut memang karena adabeberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh sementara ahli agama yang berlebihan.

Nabi Muhammad sendiri telah berusahauntuk memberantas perasaan berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin.Di antaranya ialah dengan mencela dan melaknat orang-orang yang sukaberlebih-lebihan tersebut, yaitu sebagaimana sabdanya:

"Ingatlah! Mudah-mudahanbinasalah orang-orang yang berlebih-lebihan itu." (3 kali). (RiwayatMuslim dan lain-lain)

Dan tentang sifat risalahnya itubeliau tegaskan: "Saya diutus dengan membawa suatu agama yangtoleran." (Riwayat Ahmad)

Yakni suatu agama yang teguh dalamberaqidah dan tauhid, serta toleran (lapang) dalam hal pekerjaan danperundang-undangan. Lawan daripada dua sifat ini ialah syirik dan mengharamkanyang halal. Kedua sifat yang akhir ini oleh Rasulullah s.a.w. dalam HadisQudsinya dikatakan,

firman Allah: "Aku ciptakanhamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitankepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, danmengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, sertamempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidakturunkan keterangan padanya." (Riwayat Muslim)

Oleh karena itu, mengharamkansesuatu yang halal dapat dipersamakan dengan syirik. Dan justeru itu pulaal-Quran menentang keras terhadap sikap orang-orang musyrik Arab terhadapsekutu-sekutu dan berhala mereka, dan tentang sikap mereka yang berani mengharamkanatas diri mereka terhadap makanan dan binatang yang baik-baik, padahal Allahtidak mengizinkannya.

 Diantaranya mereka telah mengharamkan bahirah(unta betina yang sudah melahirkan anak kelima), saibah (unta betina yangdinazarkan untuk berhala), washilah (kambing yang telah beranak tujuh) dan ham(Unta yang sudah membuntingi sepuluh kali; untuk ini dikhususkan buat berhala).

Orang-orang Arab di zaman Jahiliahberanggapan, kalau seekor unta betina beranak sudah lima kali sedang anak yangkelima itu jantan, maka unta tersebut kemudian telinganya dibelah dan tidakboleh dinaiki. Mereka peruntukkan buat berhalanya. Karena itu tidak dipotong,tidak dibebani muatan dan tidak dipakai untuk menarik air. Mereka namakan untatersebut al-Bahirah yakni unta yang dibelah telinganya.

Dan kalau ada seseorang datang daribepergian, atau sembuh dari sakit dan sebagainya dia juga memberikan tandakepada seekor untanya persis seperti apa yang diperbuat terhadap bahirah itu.Unta tersebut mereka namakan saibah.

Kemudian kalau ada seekor kambingmelahirkan anak betina, maka anaknya itu untuk yang mempunyai; tetapi kalauanaknya itu jantan, diperuntukkan buat berhalanya. Dan jika melahirkan anakjantan dan betina, maka mereka katakan: Dia telah sampai kepada saudaranya; olehkarena itu yang jantan tidak disembelih karena diperuntukkan buat berhalanya.Kambing seperti ini disebut washilah.

Dan jika seekor binatang telahmembuntingi anak-anaknya, maka mereka katakan: Dia sudah dapat melindungipunggungnya. Yakni binatang tersebut tidak dinaiki, tidak dibebani muatan dansebagainya. Binatang seperti ini disebut al-Haami.

Penafsiran dan penjelasan terhadapkeempat macam binatang ini banyak sekali, juga berkisar dalam masalah tersebut

Al-Quran bersikap keras terhadapsikap pengharaman ini, dan tidak menganggap sebagai suatu alasan karena taqlidkepada nenek-moyangnya dalam kesesatan ini. Firman Allah:

"Allah tidak menjadikan(mengharamkan) bahirah, saibah, washilah dan ham, tetapi orang-orang kafirlahyang berbuat dusta atas (nama) Allah, dan kebanyakan mereka itu tidak mauberfikir.

Dan apabila dikatakan kepada mereka:Mari kepada apa yang telah diturunkan Allah dan kepada Rasul, maka merekamenjawab: Kami cukup menirukan apa yang kami jumpai pada nenek-nenek moyangkami; apakah (mereka tetap akan mengikutinya) sekalipun nenek-nenek moyangnyaitu tidak berpengetahuan sedikitpun dan tidak terpimpin?" (al-Maidah :103-104)

Dalam surah al-An'am ada semacammunaqasyah (diskusi) mendetail terhadap prasangka mereka yang telah mengharamkanbeberapa binatang, seperti: unta, sapi, kambing biri-biri dan kambing kacangan.

Al-Quran membawakan diskusi tersebutdengan suatu gaya bahasa yang cukup dapat mematikan, akan tetapi dapatmembangkitkan juga.

Kata al-Quran:

"Ada delapan macam binatang; darikambing biri-biri ada dua, dan dari kambing kacangan ada dua pula; katakanlah(Muhammad): Apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, ataukedua-duanya yang betina ataukah semua yang dikandung dalam kandungan yangbetina kedua-duanya? (Cobalah) beri penjelasan aku dengan suatu dalil, jikakamu orang-orang yang benar! Begitu juga dari unta ada dua macam,- dan darisapi ada dua macam juga; katakanlah (Muhammad!) apakah kedua-duanya yang jantanitu yang diharamkan, ataukah kedua-duanya yang betina?" (al-An'am:143-144)

Di surah al-A'raf pun ada jugamunaqasyah tersebut dengan suatu penegasan keingkaran Allah terhadaporang-orang yang suka mengharamkan dengan semaunya sendiri itu; di sampingAllah menjelaskan juga beberapa pokok binatang yang diharamkan untuk selamanya.Ayat itu berbunyi sebagai berikut:

"Katakanlah! Siapakah yangberani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNyadan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkanhal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dandosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatuyang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama)Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui." (al-A'raf: 32-33)

Seluruh munaqasyah ini terdapat padasurah-surah Makiyyah yang diturunkan demi mengkukuhkan aqidah dan tauhid sertaketentuan di akhirat kelak. Ini membuktikan, bahwa persoalan tersebut, dalampandangan al-Quran, bukan termasuk dalam kategori cabang atau bagian, tetapitermasuk masalah-masalah pokok dan kulli.

Di Madinah timbul di kalanganpribadi-pribadi kaum muslimin ada orang-orang yang cenderung untuk berbuatketerlaluan, melebih-lebihkan dan mengharamkan dirinya dalam hal-hal yang baik.Untuk itulah maka Allah menurunkan ayat-ayat muhkamah (hukum) untuk menegakkanmereka dalam batas-batas ketentuan Allah dan mengernbalikan mereka ke jalanyang lempang.

Di antara ayat-ayat itu berbunyisebagai berikut:

"Hai orang-orang yang beriman:Janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik (dari) apa yang Allah telah halalkan buat kamu, dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak sukakepada orang-orang yang suka melewati batas. Dan makanlah sebagian rezeki yangAllah berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan takutlah kamu kepada Allahzat yang kamu beriman dengannya." (al-Maidah: 87-88)


Tidak sedikit ulama yang berkelebihan  , memberikan fatwa berkaitan dengan hal tsb diatas (halal dan haram , Syah atau tidak Syah)  , meskipun berdampak lebih banyak mudharat nya dari pada kebaikannya , bukan memberikan kemudahan sebagaimana yang  disyariatkan Islam) dan yang  contohkan rasulullah SAW malah menyulitkan.

Demikian, semoga ada manfaatnya. Semoga kita menjadi orang yang berhati-hati dalam menghukumi sesuatu. 

WaLlāhu a’lam bish shawāb.

https://www.facebook.com/notes/iman-wahyudi/mengharamkan-yang-halal-lebih-berat-dosanya-dibandingkan-menghalalkan-yang-haram/10151695741778420/

lihat juga :
http://asysyariah.com/akidah-hanya-allah-yang-berhak-menghalalkan-dan-mengharamkan/

https://almanhaj.or.id/3346-jangan-mudah-memutuskan-ini-halal-dan-itu-haram.html

No comments: